Hubungan guru dengan siswa kerap kali dibatasi olah garis imajiner formalistik. Guru membatasi peran sebagai pengajar dan menempatkan siswa sebagai peserta didik. Keduanya seperti tersekat oleh persepsi masing-masing. Padahal, relasi guru dan siswa adalah relasi kemanusiaan yang lekat dengan nilai-nilai kultural.
Relasi guru dan siswa bisa dilihat sebagai hubungan personal, antara manusia dewasa dengan anak-anak. Mereka tidak semata-mata dipertemukan oleh lembaga bernama sekolah, tetapi persinggungan yang alami sebagai keniscayaan sosial. Keduanya menduduki peran yang berbeda dengan tuntutan dan tanggungjawab yang juga berbeda.
Memandang guru sebagai manusia dewasa, bukan sekadar pengajar, dan menempatkan siswa sebagai anak-anak, buka sekadar peserta didik, akan membuat hubungan lebih humanis. Pada saatnya, cara pandang demikian akan membuat kelas lebih kondusif. Sebab, relasi kultral keduanya tidak melulu dikohesikan oleh lembaga sekolah, melainkan kesadaran bahwa manusia satu dengan lainnya saling membutuhkan.
Guru sebagai manusia dewasa memiliki kewajiban moral mengajarkan pengalaman hidup yang dimilikinya. Demikian sebaliknya, anak-anak perlu menimba pengalaman sebagai ikhtiar mempersiapkan masa depan. Keduanya terhubung oleh sebuah kesadaran eksistensial bahwa manusia yang paling bermakna adalah yang mampu memberi manfaat bagi manusia lain.
Cara pandang bahwa guru dan siswa adalah individu yang sama-sama memiliki kewajiban sosial saling melengkapi bisa menjadi solusi di tengah keringnya hubungan siswa dan guru. Sebab, belakangan muncul indikasi hubungan keduanya menjadi kering akibat berbagai aturan yang melingkupinya. Tumpukan perintah dan larangan yang kadang disertai sanksi membuat guru tidak mampu menjadi manusia dewasa, tetapi hanya pengajar. Ucapan dan tindakan mereka seringkali hanya manifestasi dari kehendak sekolah.
Kondisi demikian akan menjadi berbahaya karena juga dialami siswa. Peran sebagai siswa, bukan anak-anak, kerap membuat mereka harus bertindak sesuai kehendak sekolah. Mereka dituntut berpikir, berucap, dan bertindak sebagaimana sekolah kehendaki. Padahal, sebagai lembaga, perspektif sekolah terhadap siswa tidak selalu tepat. Nalar birokratis terkadang membuat sekolah lebih memprioritaskan kepentingan lembaga daripada aspek psikologis siswa.
Idealnya, sekolah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proses belajar anak-anak. Mekanisme belajar di sekolah tidak boleh berlawanan arah dengan mekanisme belajar universal yang telah, sedang, dan akan dilalui siswa. Sebab, jika sampai sedikit saja bertentangan, orientasi belajar siswa sebgai manusia muda akan terganggu.
Aspek Spiritual
Selama ini masih banyak sekolah yang belum mampu mentransformasi diri menjadi miniatur kehidupan. Kelas menjadi kotak yang justru mengasingkan siswa dengan dinamika di sekitarnya. Guru pun kerap gagal menjembatani siswa pada realitas hidup karena terjebak dengan pakem-pakem formal sekolah. Karena itulah, aktivitas di kelas perlu disikapi dari perspektif yang lebih bijak, agar tidak selalu berlalu sebagai aktivitas formal.
Pertemuan di sebuah kelas adalah pertemuan beragam pribadi. Setiap anak memiliki karakterisitik yang unik. Demikian pula guru, dipastikan memiliki sifat, gaya, dan metode mengajar masing-masing. Karena itulah, ketika terjadi interaksi siswa dan guru sesungguhnya sedang menempuh pengalaman spiritual.
Kemampuan siswa menyesuaikan diri dengan gaya bergaul guru dan sesama siswa bisa jadi adalah proses yang rumit. Misalnya, dalam proses itu siswa diminta memahami orang lain lantas berusaha menyesuaikan diri. Ada proses saling kenal yang berjalan secara natural.
Paradigma lama pendidikan kita, yang menempatkan siswa sebagai objek, dinilai tidak relevan lagi karena tidak mampu membangun pengalaman yang bermakna. Karena itulah pedagog ramai-ramai menggagas pendidikan konstruktivistik sebagai ikhtiar membangun pengalaman siswa. Siswa memiliki kesempatan mencoba, merasakan, dan bahkan melakukan kesalahan sehingga mampu memaknainya. Akhirnya siswa menjadi pribadi yang bijak dalam menentukan sikap.
Proses memaknai pengalaman belajar sesungguhnya proses yang terkait erat dengan kematangan spiritual. Jika proses ini terus berlangsung, siswa tidak hanya menjadi cerdas tetapi juga memiliki kebijaksanaan (wishdom) menentukan sesuatu. Mereka terlatih bertanggungjawab dengan pilihan, keputusan, juga kehidupannya.
Selama ini kegiatan keruhanian siswa di sekolah banyak yang dilembagakan dalam kegiatan rutin. Sekolah mewajibkan siswanya tadzarus sebelum kegiatan belajar dimulai. Bahkan di beberapa sekolah, siswa harus mengisi daftar hadir setelah menunaikan shalat.
Meski dilakukan dengan itikad mendisplinkan siswa, aturan yang bersifat mengikat seringkali berlalu sebagai rutinitas. Siswa, bisa jadi, melakukan aktivitas tersebut sekadar memenuhi kewajiban sekolah. Padahal, pengalaman spiritual sejati hanya bisa ditempuh dengan ikhlas. Ia menjadi ekpresi kemanusiaan yang muncul dari hati, bukan keengganan atau justru keresahan menghindari sanksi.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Saturday, 16 October 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment