Saturday, 16 October 2010

Wajah (Kota) Kita = Wajah Pasar?

Muncul kebanggaan mengetahui sejumlah kota di Jawa Tengah menerima anugerah adipura. Sebab, meski diakui telah terjadi distorsi, hingga saat ini adipura masih menjadi legitimasi bagi daerah yang dianggap konsisten menjaga lingkungannya.

Namun, muncul pula perasaan miris ketika mengamati sejumlah kota di Jawa Tengah, termasuk kota penerima adipura, kini kehilangan identitasnya. Kota berkembang ke arah yang sama. Mereka sama-sama berlomba menjadi episentrum transaksi. Atas nama kemajuan, kota didesain menjadi pusat perdagangan dan industri. Nalar yang diutamakan adalah nalar ekonomi yang mengutamakan perolehan materi.

Fenomena demikian dapat diamati pada gencarnya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan di sejumlah kota. Bangunan-bangunan gigantis yang dibangun dengan tujuan komersil menjadi subjek utama aktivitas kota. Mal dan retail menjadi monumen yang diagungkan sekaligus berusaha menjadi nafas warga. Akibatnya, aktivitas sosial masyarakat di sekitarnya terkatrol pada aktivitas yang memuja keberhasilan transaksi.

Dulu, kota didesain dengan memisahkan tiga pilar kehidupan komunal, antara lain aktivitas sosial, ritus keagamaan, dan ekonomi. Ketiganya dijaga agar tetap menjaga jarak karena merupakan aktivitas yang berbeda. Kebutuhan sosial masyarakat terwakili oleh alun-alun sebagai pusat interaksi. Ritus keagamaan disimbolkan oleh tempat ibadah, biasanya berdiri tidak jauh dari alun-alun. Sedangkan pasar sebagai representasi segala kepentingan ekonomi biasanya dibangun terpisah.

Pasar Raksasa

Pemilahan tempat-tempat tersebut didasari pertimbangan bahwa aktivitas sosial-budaya, keagamaan, dan ekonomi adalah tiga hal yang berbeda. Ketiganya sama-sama penting namun tidak boleh saling membaur.

Prinsip ekonomi yang menjadi dasar nalar aktivitas ekonomi tidak bisa digunakan pada ritus keagamaan maupun aktivitas sosial. Demikian pula aktivitas sosial dan keagamaan. Keduanya berbeda dimensi karena yang satu mengutamkan tata hidup komunal sedangkan lainnya adalah urusan yang sangat personal menyangkut hubungan vertikan seseorang kepada Gusti Sang Murbeing Dumadi.

Jarak ketiga hal ini belakangan semakin tipis. Pemujaan terhadap uang membuat aktivitas ekonomi berekspansi menggeser aktivitas lainnya. Kegiatan ekonomi yang dulu dilokalisir di pasar kini merambah di areal sosial bahkan keagamaan. Kota menjadi pasar raksasa tempat segala transaksi dilangsungkan. Alun-alun kota misalnya, saat ini justru dipenuhi pedagang, tidak ada bedanya dengan pasar. Ritus kebudayaan tersingkirkan karena hanya menjadi anualitas, baik dalam tradisi kirab maupun pasowanan.

Pemujaan terhadap uang membuat wajah kota tidak ubahnya pasar. Kota menjadi etalase tempat memajang berbagai komoditas barang dan jasa. Kota, sebagaimna pasar, mengabaikan penghargaan terhadap nilai kebersamaan karena mengutamakan keuntungan.

Tanpa bermaksud mengambinghitamkan, pemerintah daerah punya andil ‘dosa’ besar menciptakan kondisi tersebut. Sebab, pemerintah justru mendorong tumbuhnya pusat-pusat ekonomi. Pemerintah menyelenggarakan transaksi massal di tempat yang terkadang kurang tepat. Atas nama kesejahteraan pemerintah membiarkan ruang sosial budaya dijajah pasar. Pemerintah seolah-olah mengerucutkan tugasnya hanya sebagai penyelenggara transaksi ekonomi. Visi sosial dan kebudayaan yang diembannya ditanggalkan atau bahkan runtuh karena terlalu memprioritaskan uang.

Identitas Kota
Kondisi tersebut ternyata telah nyata menghapus identitas sebuah kota. Wajah-wajah kota di Jawa Tengah menjadi serupa. Stereotip kota yang mestinya menjadi identitas telah lama punah. Nilai jual kota satu dengan kota lainnya nyaris tanpa beda. Bahkan ketika pemerintah daerah merasa perlu memunculkannya kembali, mereka harus membangun monumen sekadar membedakan pembeda dengan monumen lain yang pernah ada.

Beberapa kota telah memiliki identitas berupa bangunan. Namun bangunan hanyalah tetenger, bukan identitas yang sebenarnya. Karena kota adalah ruang berkebudayaan, identitas kota akan muncul melalui laku masyarakatnya. Identitas kota digambarkan oleh aktivitas massal di ruang sosial, bukan di ruang privat yang telah diklaim sebagai aset pribadi. Sebab, hanya di ruang sosial interaksi antarmanusia dibangun. Di ruang sosial pula ekspresi sebagai masyarakat ditumpahkan.

Agar pasar tidak terus menerus mengekspansi ruang, barangkali pemerintah perlu kembali menjaga jarak aktivitas sosial, agama, dan ekonomi. Ketiga aktivitas tersebut adalah aktivitas yang berbeda meski sama-sama diperlukan. Membiarkan ruang kota menjadi pasar sama saja menghalangi masyarakat memperolah dua kebutuhan esensialnya, yakni bersosialisasi dan beragama.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment