Friday 21 January 2011

JANGAN MATIKAN SEKOLAH SWASTA


Ilustrasi: http://rilisindonesia.com/?p=2044

Rencana pemerintah menarik guru PNS dari sekolah-sekolah swasta melahirkan kecemasan. Rencana ini akan menjadi badai baru yang mengancam stabilitas sekolah pelat hitam. Padahal sebelumnya, sejumlah sekolah swasta sudah kembang-kempis ditinggalkan calon siswa akibat disparitas biaya pendidikan dengan sekolah negeri. Benarkan dana melimpah telah membuat pemerintah merasa mampu menyelanggarakan pendidikan sendiri sehingga perlu mereduksi peran masyarakat?

Bagi beberapa sekolah swasta, tentu saja tidak semua, peran guru PNS sangat diperlukan. Tidak sedikit guru PNS yang memegang peran sentral menjadi kepala sekolah. Menarik mereka dengan serta merta bisa membuat sekolah limbung dan kewalahan. Terlebih pada sekolah-sekolah swasta yang jumlah gurunya pas-pasan, tentu akan sangat merepotkan. Akhirnya, siswa pula yang akan menjadi korban karena tidak mendapat pelayanan pendidikan prima.

Kebijakan ini membentangkan kentalnya relasi pendidikan dengan kepentingan politik pemerintah sebagai penguasa. Pemerintah, melalui kewenangannya, mengandalkan nalar birokratisnya untuk memupuk kekuasaan bidang pendidikan. Kali ini pemerintah melakukan blunder karena mengabaikan kepentingan peserta didik. Padahal mestinya, orientasi utama kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik adalah peserta didik (Tilaar, 2006: 26). Tendensi politis yang terlalu kuat membuktikan pemerintah tidak memiliki dasar filosofis yang kuat sebagai penyelenggaran pendidikan.

Alasan untuk menertibkan guru PNS serta menjamin kesejahteraannya rasanya masih agak sulit diterima. Pertama, penertiban PNS dalam upaya reformasi birokrasi dapat ditempuh denga jalan lain. Guru PNS dapat dipantau optimal jika Kamenterian Pendidikan Nasional melalui kantor dinas pendidikan di seluruh Indonesia memiliki data yang valid. Berbagai upaya pembinaan dan pendampingan dapat dilakukan dinas pendidikan karena memiliki jangkauan hingga tingkat kecamatan, yakni Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) pendidikan.

Kedua, kesejahteraan guru semakin terjamin dengan semakin meningkatnya kuota sertifikasi. Sekalipun kebijakan ini belum terbukti segnifikan meningkatkan kualitas guru, profesi guru telah menjadi primadona baru bagi ribuan anak muda di Indonesia. Asal pemerintah mampu memanajemen kuota sertifikasi, guru negeri yang mengajar di sekolah swasta sesungguhnya dapat memperoleh hak yang sama. Mestinya pemerintah tidak perlu menghabiskan energi mengatur kembali di mana mereka akan ditugaskan mengajar, tetapi bagaimana membangun infrastruktur operasional yang memadai agar guru dapat bekerja optimal. Ikhtiar itu rasanya lebih substansial.

Jika pemerintah tetap nekat menarik guru swasta, dampak sosial-psikologis yang ditimbulkannya sungguh sangat besar. Tidak hanya bagi sekolah, tetapi juga bagi guru, dan terutama siswa. Guncangan birokratis yang akan muncul karena pemerintah harus mengatur kembali penugasan guru-guru negeri pada sekolah-sekolah baru juga diprediksi tidak kecil.

Sekolah swasta yang ditinggalkan bisa jadi akan limbung. Kita mafhum, ada ribuan sekolah swasta yang saat ini merasa sangat bergantung kepada guru negeri. Kemampuan yayasan merekrut dan menggaji guru sangat terbatas. Jika seluruh guru negeri ditarik sekolah swasta akan kesulitan merekrut guru baru. Sekolah yang sudah berat karena harus menanggung biaya operasional harus menanggung beban tambahan menggaji guru baru. Anggaran sekolah yang mustinya digunakan untuk melengkapi fasilitas dan operasional barangkali akan terkurangi untuk menggaji guru baru.

Bagi guru kebijakan ini juga akan menimbulkan benturan. Guru yang mengajar di sekolah swasta harus memulai proses adaptasi di sekolah yang baru dari awal. Ini jelas akan menimbulkan dampak psikologis. Terlebih jika lingkungan di sekolah baru benar-benar asing karena setiap sekolah memiliki visi dan strategi pencapain yang berbeda-beda. Bahkan, bisa jadi, mengingat ada jam mengajar minimal bagi guru-guru yang telah tersertifikasi, guru baru akan berebut dengan guru lama.

Namun demikian, tentu siswa yang akan menerima dampak paling kecut. Siswa pada sekolah swasta pinggiran terancam tidak memperoleh layanan pendidikan yang cukup karena salah satu atau beberpa gurunya pindah tugas sementara yayasan belum merekrut guru baru. Siswa mendapati realitas bahwa dirinya menjadi warga kelas dua lantaran telanjur menjadi siswa sekolah swasta. Hak mereka memperoleh pendidikan layaknya siswa di sekolah negeri terampas oleh ambisi pemerintah mengangkangi penyelenggaraan pendidikan.

Mitra
Melalui kebijakan ini pemerintah agaknya berkehendak memisahkan betul-betul pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dengan pendidikan yang diselenggarakan swasta. Pemerintah berusaha menyerahkan secara penuh berbagai lembaga pendidikan swasta kepada masyarakat dan akan fokus ngopeni sekolah negeri. Bisa jadi ini dilakukan untuk mengembalikan otoritas negara atas berbagai lembaga pendidikan yang ada dengan memutus sama sekali relasi partnership dengan masyarakat.

Sejarah mencatat, upaya pencerdaan bangsa melalui pendidikan tidak pernah terpisah oleh masyarakat. Jauh hari sebelum sekolah-sekolah negeri berdiri, bahkan jauh hari sebelum negara ini berdiri, masyarakat telah memulai peran sebagai penyelenggara pendidikan. Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara misalnya, tidak hanya berjasa ngopeni anak-anak Indonesia supaya menjadi manusia terpelajar, tetapi juga meletakan dasar-dasar penyelenggaraan pendidikan sesuai nilai dan kearifan masyarakat. Hasrat pemerintah mengusai sekolah, kalau hipotesis saya tidak meleset, adalah manifestasi kehendak penguasa untuk mengatur sendi kehidupan masyarakat secara leluasa.

Negara, melalaui berbagai narasi produk hukum, sebenarnya mengakui penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Masyarakat berposisi sebagai mitra yang setara. Relasi keduanya tidak terjalin dalam hierarki birokratis tetapi kesadaran personal dan kultural menecerdaskan anak bangsa. Sebab, masyarakat memiliki kepentingan (dan karenanya memiliki tanggung jawab) menjadikan anak cucu mereka cerdas sebagaimana negara berkepentingan mencerdaskan bangsa untuk memperkuat ketahanan negara.

Relasi yang setara selalu menyajikan dialog, bukan doktrin, perintah, apalagi paksaan. Dialog dibangun melalui kesadaran etis untuk memosisikan diri sesuai kapasitasnya. Maka, rencana penarikan guru PNS dari sekolah swasta sebenarnya menyalahi pinsip tersebut karena tidak dilakukan melalui dialog. Studi yang mendasari kebijakan tersebut sebelumnya juga belum dipublikasikan sehingga memunculkan tafsiran yang beragam.

Menyadari peran yang setara, pemerintah harus melakukan kajian lebih komprehensif sebelum menarik guru PNS dari sekolah swasta. Dialog harus dibangun karena tidak semua sekolah swasta siap. Pilihan untuk menerima atau menolak kebijakan itu harus dikembalikan kepada masing-masing sekolah dengan mempertimbangkan kondisi sosiologis-psikologis sekolah, guru, dan siswa. Pemerintah, meskipun secara yuridis memiliki kewenangan, tidak bisa serta merta menarik guru PNS jika diprediksi dapat merugikan siswa. Sekali lagi, karena siswa adalah prioritas pertama.

Surahmat
Peneliti Budaya Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dari Halaman Opini Harian Joglosemar
http://harianjoglosemar.com/berita/jangan-matikan-sekolah-swasta-31496.html

No comments:

Post a Comment