Monday 24 January 2011

KEBOHONGAN PEMERINTAH, KEBOHONGAN SEKOLAH

Barangkali tidak berlebih jika saya meramal, lembaga pendidikan akan segera mengalami kebangkrutan moral. Legitimasinya sebagai pusat peradaban pudar dan akhirnya gagal menjadi lembaga terpercaya. Sebabya satu; tidak jujur. Kebohongan membuat lembaga pendidikan tertelanjangi oleh itikad buruknya.

Dalam arti luas, lembaga pendidikan adalah berbagai lembaga, negeri dan swasta. Pranata negara, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan dinas pendidikan, juga termasuk lembaga pendidikan. Demikian hierarkisnya, sampai lapisan paling bawah yakni sekolah.

Lembaga pendidikan kehilangan kepercayaan karena mereka berbohong, atau setidaknya enggan terbuka. Mereka mengajrkan prinsip kejujuran pada satu saat, dan mengingkarinya di saat yang lain. Lembaga pendidikan terbawa arus politik sehingga memback up diri dari akses publik. Mereka berbohong untuk melindungi diri.

Di tingkat pusat, Kementerian Pendidikan Nasional menjadi lembaga yang kuat diduga tidak jujur. Kementerian paling basah ini diperingati Badan Pemerika Keuangan (BPK) baru-baru ini lantaran memiliki dana liar Rp 2,3 triliun. Bisa jadi, akibat besarnya dana yang dikelola, pengawasannnya lemah. Kebocoran terjadi namun tidak dapat segera diketahui.

Sejauh diketahui, dana Rp 2,3 triliun berkaitan dengan pengadaan tanah untuk sekolah di Kinibalu, Sabah, Malaysia, serta pengadaan alat-alat kesehatan di Universitas Airlangga dan Universitas Mataram (Media Indonesia, 15/1). Namun di luar itu, ketidakjujuran lain masih disimpan kementerian. Terbatasnya akses publik terhadap pengelolaan uang negara yang disalurkan melalui kementerian pendidikan membuat kita sulit mengetahui ketidakjujuran lain.

Ketidakjujuran kementerian pendidikan, bisa jadi terkait erat dengan kebohongan pemerintah. Sebab, kementerian adalah lembaga pemerintah yang sendiko dhawuh pada perintah. Karena itu, ketika pemerintah memiliki agenda politik, kementerian mengikutinya. Kementerian menyumbang kebohongan untuk menyukseskan citra pemerintah yang sukses dan berprestasi meski nyatanya tidak demikian.

Itikad Kemendiknas untuk mengikuti agenda politik pemerintah membuat pendidikan terkontaminasi berbagai kepentingan politik praktis. Terlebih, kepentingan pendidikan berkait erat dengan kepentingan jutaan rakyat. Selain dosen, guru, siswa, dan mahasiswa, pendidikan menyangkut kepentingan seluruh anak bangsa. Karena itu, posisinya sangat strategis untuk membangun citra. Pendidikan kemudian menjadi komoditas spolitik yang populis.

Agenda sekolah gratis misalnya, mulai terdengar sejak 2009 menjelang pemilu. Agenda tersebut berusaha memberi lips pada pemeirntah bahwa keputusan yang diambilnya selalu prorakyat, prokaum miskin, dan prokemajuan. Padahal, kemudian diketahui, pendidikan gratis bukanlah mekanisme pembiayaan pendidikan yang paling tepat. Selain negara dipastikan tidak akan sanggup men-cover biaya pendidikan, peran serta masyarakat dalam pembiayaan akan dinafikan.

Sekolah
Sifat Kemendiknas demikian membuat lembaga-lembaga di bawahnya bersikap kurang lebih sama. Dinas pendidikan hingga sekolah menunjukan ketakziman kepada pemerintah sehingga terjebak pada kebijakan yang mengutamakan popularitas dan efek politik. Sementara kejujuran, yang oleh Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai salah satu nilai dasar penyelenggaraan pendidikan, kerap tidak mendapat proporsi yang layak. Padahal, pendidikan punya relevansi dengan kesejahteraan.

Sanberg dan Bostrom (2006) dalam Pakpahan (2011) menunjukkan bahwa IQ punya pengaruh terhadap pendapatan perkapita sebuah negara. Peningkatan faktor IQ 1 persen akan meningkatkan pendapatan 2,1 persen pada laki-laki dan 3,6 persen pada perempuan. Karena itu, investasi pendidikan sangat segnifikan terhadap kemajuan ekonomi masyarakat.

Kedua indikator tersebut hanya akan saling mempengaruhi jika lembaga pendidikan memiliki kejujuran. Tidak ada rekayasa yang ditujukan untuk membangun citra. Kegemaran untuk ngapik-apike harus mulai dijauhi agar relevansi kecerdasan dan kesejahteraan terjaga secara alami.

Ada dua kendala yang akan mempengaruhi hal ini. Pertama, sekolah dan lembaga pendidikan kerap terjebak target kuantitatif yang direkayasa. Untuk sekadar dianggap berprestasi misalnya, sekolah merekayasa nilai. Bahkan, sejak UN digelar puluhan sekolah yang dikatehui merekayasa jawaban siswa. Kecerdasan sebagai faktor internal justru dimanipulasi oleh indikator kuantitatif. Akibatnya, nilai yang diperoleh tidak mampu menggambarkan kecerdasan siswa yang sebenaranya.

Kedua, kegemaran masyarakat menyertakan gelar akademik pada namanya juga merupakan bentuk kebohongan. Gelar dimanipulasi sebagai perangkat sosial untuk menaikkan taraf hidup, kenaikan jabatan, atau mobilitas sebagai kaum terpelajar. Gelar akhirnya kehilangan legitimasi intelektual karena gagal merepresentasikan kecerdasan orang bersangkutan.

Kekhawatiran tentang munculnya lembaga pendidikan yang tidak jujur menguat menjelang pelaksanaan Ujian Nasional April 2011 mendatang. Untuk mencegah kebohongan sekolah, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bahkan merasa perlu melakuka uji petik sebelum UN dilaksanakan. BSNP mengambil sampel secara randum dari berbagai sekolah untuk memetakan kemampuan alami siswa sehingga bisa membandingkannya dengan hasil UN mendatang. Tujuannya, akan adiketahui sekolah atau daerah mana yang curang dan melakukan rekayasa untuk mendongkrak hasil UN.

Menjaga kesjujuran lembaga pendidikn memang diperlukan kesadaran internal. Pengawasan dan mekanisme birokrasi terbukti gagal. Alih-alih menjaga kemurnian sebuah aturan, pengawasan justru melahirkan kongkalikong yang lebih besar. Karena itu, satu-satunya hal yang masih bisa diharapkan adalah ajaran moral; kesadaran diri.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara


Ilustrasi: www.moistworks.com

2 comments: