Thursday, 20 January 2011

MASUK PENA KENCANA, PERNAH CINLOK DENGAN GURU BACA PUISI

Nana Eres, Penyair Tegal yang Beken di Semarang

Meski lahir dan besar di Tegal, nama Nana Eres cukup terkenal dalam jagad perpuisian di Semarang. Ia kerap membacakan puisi di Taman Budaya Raden Saleh. Kompetisi lokal hingga nasional pernah ia cicipi. Seperti apa?

RAHMAT PETUGURAN

Perawakannya kecil mungil. Ia senang membiarkan rambutnya terurai. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan gadis lain seumurannya. Ia lebih sering terlihat melenggang dengan jins daripada menggunakan rok. Tapi prestasi kepenyairannya boleh dibilang jempolan. Nana Eres yang bernama asli Nana Riskhi Susanti, bahkan lebih lihai membaca puisi daripada dosen-dosen yang mengajarinya.

Nana mengaku mulai menulis puisi sejak SMP. Awalnya, dia hanya senang membaca. Tapi lama kelamaan ia tergelitik menulis. “Pembaca puisi hanya hidup saat di panggung, tapi penulis puisi karyanya abadi,” katanya. Sejak saat itulah ia rajin menulis. Hingga saat ini, ratusan puisi telah ia cipta. Sebagian sudah dipublikasikan, sebagian lainnya ia biarkan di folder.

Kepenyairan Nana memang dimulai di panggung. Kompetisi paca puisi lokal hingga nasional pernah ia jajal. “Panggung pertama yang saya jajal adalah saat Porseni SD se kabupaten Tegal,” Terakhir ia menyabet medali emas dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) 2010 di Pontianak. Ia mengalhkan delegasi lain dari berbagai propinsi. Suara serak yang khas dipadu penghayatan yang total berhasil memukau Afrizal Malna dan Ahmadun Yosi Herfanda, juri kompetisi itu.

Mahasiswa Bahasa dan Satra Indonesia Unnes ini dikaruniai suara khas. Serak namun lantang. Ia mampu menyajikan kesedihan mendalam saat membaca puisi I can write the sadest line karya Pablo Neruda namun bisa berapi-api saat membaca puisi-puisi Rendra. Kemahirannya beralih ekspresi itu pula yang kerap ia tampilkan membacakan puisi Soetardji Colzum Bachri.

Sudah sejak lama Nana mengakui kekagumannya pada Sutardji. Puluhan karya presiden penyair itu, yang terangkum dalam O Amuk Kapak hmpir seluruhnya pernah ia bawakan. Bahkan, sejumlah kritikus pernah mengkritiknya karena puisi Nana hampir selalu mirip puisi Sutardji. “Padahal aku sudah bekerja keras menemukan karakterku sendiri, tapi persepsi orang siapa yang tahu,” ungkapnya.

Meski telah menjelajahi banyak panggung, Nana tidak canggung membaca puisi di tempat-tempat kecil. Ia kerap diminta rekan-rekannya sesama penikmat puisi berdeklamasi dalam berbagai forum diskusi. Bahkan, di tempat kecilpun ia dianggap bisa total. Ia membacakan puisi di forum-forum itu layaknya membaca puisi di panggung besar.

Salah satu catatan karir yang menurut Nana menarik adalah ketika puisinya masuk dalam antologi puisi Pena Kencana. “itu kumpulan 60 puisi terbaik tahun 2008 versi Yayasan Pena Kencana,” katanya. Ia mengaku bangga karena puisinya disejajarkan dengan puisi karya penyair senior lain. Itu setelah salah satu puisinya berjudul Puisi Pasir dimuat sebuah surat kabar nasional.

“Pena Kencana menyeleksi puisi-puisi yang terbit di berbagai surat kabar pada tahun itu. Juri memilih 60 dari ratusan puisi yang setiap minggu dimuat,” katanya.

Sebenarnya, Nana tidak lahir dari lingkungan penyair. “Bapakku kan guru olahraga,” tuturnya. Ia merasa beruntung karena menemukan teman dan mentor di sebuah sekolah teater di tegal. Di sanalah ia menempuh proses kreatif dari belajar menulis puisi hingga membacakannya. Bahkan, aku Nana, ia sempat cinta lokasi dengan salah satu tutornya.

“Salah satu yang menarik dalam catatan karir kepenyairan saya adalah kisah cintaku yang melingkar-lingkar dengan guru puisiku,” katanya.

Bagi Nana, menulis dan membaca puisi adalah cara melakoni garis nasib. “Ini karunia atau malah kutukan yang saya terima dari Tuhan,” katanya. Karena itu, ia berencana akan terus menulis dan membaca puisi. “Saya akan terus membaca sampai para penikmat puisi saya meminta saya berhenti,” lanjutnya.

“Saya punya cita-cita mengadakan panggung baca puisi tunggal bertajuk biografi baca puisi Nana Eres. Di situ ingin kutampilkan perjalanan puisi-puisiku dari awal hingga kini.”

No comments:

Post a Comment