Friday 18 February 2011

AIB PERUT BANGSA LAPAR

MANUSIA Indonesia gemar mempersonifikasi bagian tubuhnya. Bagian tubuh diimajinasikan memiliki otoritas atas diri, gerak-gerik, dan kehendaknya. Seperti manusia yang berakal, bagian tubuh menciptakan cita-cita, kehendak, dan mengukir sejarahnya sendiri. Karena itulah mereka juga dimintai pertanggungjawaban jika sekali waktu melakukan kesalahan.

Salah - Perut, sistem organ yang kerap dkambnghtamkan sebagai pusat kerakusan. (Foto: dennysantoso.com)


Istilah “keseleo lidah”, salah satu dari banyak contoh, digunakan untuk menggambarkan kesalahan seseorang berucap. Kesalahan ucapan ditimpakan kepada lidah. Artikulator paling aktif ini dianggap perlu bertanggungjawab atas bentuk, rupa, bahkan isi tuturan. Padahal lidah hanya salah satu bagian dari proses panjang produksi tuturan. Ide diproduksi otak, udara disuplai paru-paru, sedangkan volume ditentukan lebarnya bukaan larink. Mengatakan kekeliruan ucapan sebagai “keseleo lidah” adalah simplifikasi yang berakibat pada pengambinghitaman.

Demikian pula perut memainkan perannya. Dalam tradisi tutur manusia Indonesia perut hadir dalam berbagai konteks. Namun umumnya perut hadir dalam perbincangan yang berkonotasi buruk. Urusan yang melibatkannya seolah-olah urusan yang kurang baik atau berpotensi ke arah itu. Perut adalah mula sebuah kehidupan sekaligus sumber bencana. Dari sanalah bibit-bibit keburukan dianggap berembrio.

“Urusan perut” adalah urusan keduniaan. Urusan perut menunjukkan kebanalan kebutuhan hidup. Urusan perut disederhanakan sebagai urusan jasmani yang lepas sama sekali dari urusan rukhani. Memprioritaskan perut dipersepsi sebagai pilihan kurang bijak karena mengabaikan urusan lain yang lebih substansial. Urusan perut mendekatkan seseorang pada laku culas, curang, dan licik. Atas nama perut manusia menghalalkan kekejian untuk menyambung hidup.

Polisi, jaksa, dan hakim yang menerima suap (pada kasus Gayus misalnya) adalah polisi, jaksa, dan hakim yang gagal mengendalikan perutnya. Mereka membiarkan perut berkuasa terlalu besar sehingga dominan dalam proses pengambilan keputusan. Integritas mereka sebagai abdi negara dikorbankan karena tuntutan perut. Mereka rela mengorbankan kehormatan, sesuatu yang sangat esensial bagi para penegak hukum, agar hasrat perut terpenuhi secara paripurna.

"Integritas mereka sebagai abdi negara dikorbankan karena tuntutan perut."

Perut bisa jadi hanya analogi. Perut dikorbankan untuk menggambarkan segala bentuk keculasan. Namun tentu saja keputusan memilih perut sebagai kambing hitam didahului oleh sejumlah pertimbangan.

Kemungkinan pertama, perut dipersonifikasi sebagai tokoh antagonis karena kesadaran historis bahwa rasa lapar (yang dirasakan perut) telah membangkitkan energi besar yang destruktif. Sejarah mencatat perut pernah menggerakan manusia untuk melakukan berbagai rupa kekejian.

Keributan pada pembagian zakat hanyalah contoh kecil dari rangkaian cerita tentang kuasa perut. Perut membangkitkan energi, kenekatan, dan irasionalitas sehingga seseorang rela mempertaruhkan nyawanya demi uang dua puluh ribu rupiah. Pada kasus lain, perut telah memantik kebengisan yang tidak pernah dibayangkan bisa dilakukan manusia. Seorang ibu menjual anak kandungnya, suami “menyewakan” istrinya, bahkan anggota parlemen menelantarkan rakyat yang diwakilinya.

Bagi manusia yang selalau lapar perut mengambil peran sentral. Perut membolak-balikan logika dan meniadakan etika. Tidak sedikit persekongkolan besar yang bermula dari diplomasi perut. Berbagai kejahatan yang berujung pada aksi pembunuhan terjadi karena pelaku ingin memanjakan perutnya. Termasuk, tentu saja, koruptor yang rela mengorbankan rakyat agar perutnya dapat terus terisi makanan lezat.

Perang besar yang tercatat dan diingat sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar sebenarnya juga bermula dari perut. Bahwa teks sejarah menuturkannya sebagai aksi memperjuangkan kehormatan tentu karena telah dipersepsikan kembali. Nyatanya, lapar dan penderitaan berkepenjanganlah yang bisa memantik kemarahan dan keberanian orang untuk mengangkat senjata. Bayangan sumber makanan melimpah menggerakan bangsa kolonial menjelajahi samudera agar bisa merampasnya dari bangsa lain dan adalah tugas pribumi untuk menjaganya.
Ingatan historis di atas berpadu dengan realitas bahwa perut masih menjadi sumber energi modal segala aktivitas manusia. Perut bertanggungjawab atas aktivitas seluruh bagian tubuh, termasuk lidah dan (maaf) kelamin. Jika lidah keliru, perut dianggap andil. Terlebih jika kelamin “berperilaku” menyimpang, tentu perut ikut bertanggungjawab. Perut kerap disangka sebagai sebab munculnya keburukan kedua organ ini. Perut yang kenyang membuat seseorang malas sedangkan perut lapar membangkitkan kenekatan dan perilaku agresif yang irasional.

Pemaknaan demikian telah membuat perut terstigma sebagai aib. Ia dianggap sebagai sebab berbagai bencana kemanusiaan. Padahal, sebagai bagian dari sistem organ manusia perut hany pelaksana teknis yang jujur dan apa adanya. Ia menyampaikan lapar dan kenyang tanpa tendensi. Dan jauh lebih penting, ia melakukan tugas secara secara proporsiona. Manusialah yang membuat perut dipersepsi sebagai sumber ketamakan. Ya, manusia rakus yang selalu “lapar” baik dalam kenyang maupun benar-benar lapar.

No comments:

Post a Comment