Wednesday 23 February 2011

SERANGAN "VIRUS" INTERNASIONAL

LABEL internasional telah menjadi dewa baru bagi sekolah dan perguruan tinggi di negeri ini. Atas nama pengakuan global, internasional menjadi alat ukur tunggal. Nyaris tanpa perdebatan, fatwa internasional diterima begitu saja. Sekolah taklid, kampus pun tak menggugat.

Label - Label universitas internasional berisiko membuat perguruan tinggi justru tercerabut dari masyaratkatnya. (Sumber foto: gallery.migas-indonesia.com)



Sikap taklid itu, bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, sekolah dan perguruan tinggi tidak bisa menawarkan alat ukur lain. Sebagai institusi ia tidak mampu memunculkan brand value yang bisa digunakan mengukur keberhasilan kerjanya. Akhirnya, institusi pendidikan itu memilih menggunakan indikator yang ditawarkan lembaga internasional yang telah ada sekalipun relevansinya rendah atau bahkan tidak ada.

Kesulitan perguruan tinggi merumuskan jati dirinya, membuatnya linglung. Ia, sebagai lembaga otonom, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bisa jadi itu disebabkan karena ia tidak memiliki kesadaran eksistensialis mengapa dan untuk apa lembaga itu ada. Akhirnya, sebagai jalan pintas untuk mengukur esksistensinya, ia memilih menggunakan indikator yang diciptakan lembaga lain. Padahal, besar kemungkinan, indikator itu justru mengarahkannya pada fungsi lain yang menjauhi peran sebenarnya.

Pemeringkatan Webometric misalanya, beberapa tahun terakhir begitu populer bagi perguruan tinggi di Indonesia. Universitas dengan peringkat tertentu terlihat sangat membanggakannya sehingga merasa perlu mempublikasikannya dengan cara. Pergurun tinggi seperti tidak mencermati elemen-elemen bahan penilaiannya karena dianggap menguntungkan.

Webometric menggunakan empat elemen sebagai bahan penilaian, yakni jumlah indeks yang terbaca search engine, jumlah unique external links, file yang diindikasi sebagai publikasi ilmiah, serta jumlah paper dan sitasi. Keempatnya diukur secara kuenatitatif. Karena itu relevansinya dengan nilai-nilai pendidikan lemah. Indikator yang lebih relevan dan “manusiawi”, misalnya testimoni mahasiswa dan masyarakat tidak terakomodasi.

Sertifikasi internasional entah dari lembaga mana pun, patut disikapi seperti kritis. Sebab, lembaga tidak pernah lepas bebas dari tendensi, baik ekonomi, politik, maupun ideologi. Selalu ada motif lain yang harus dipertanyakan sebelum diterima. Kecuali perguruan tinggi memang “memasrahkan leher” untuk dibohongi.

Sikap monggo kerso yang ditunjukan perguruan tinggi juga dipengaruhi kecenderungan pimpinan perguruan tinggi terhadap nilai-nilai mondial. Mereka berpikir di dunia postmodern negara tidak bisa hidup tanpa negara lain. Ada keterakitan resiprokal yang menuntut setiap bangsa yang satu bekerja sama dengan bangsa lain.

Logika ini barangkali ada benarnya. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia harus punya peran dalam membangun peradaban dunia. Namun, itu tidak mengharuskan perguruan tinggi taklid pada tawaran nilai dunia internasional. Harus ada nilai yang dipertahankan sebagai keunikan. Terlebih, setiap perguruan tinggi lahir dengan ekspektasi berbeda.

Lantas, mengapa hasrat menjadi lembaga internasional tampaknya sulit sekali diredam? Tampaknya ada semacam ketidakpercayaan diri yang membuat mereka takut nilai-nilai unik yang diimilikinya justru tidak mendapat pengakuan. Akhirnya, segala macam ratifikasi disetujui. Kita kemudian memasrahkan segala penilaian pada publik internasional, sekalipun keunikan lokal justru akan diabaikan. Tidak ada perdebatan, tidak ada dialektika, tidak ada pula perlawanan untuk mengatakan “tidak.”

Kita bisa amati, hampir seluruh perguruan tinggi kita mencantumkan ‘internasional” sebagai visi mereka. Namun, karena keterbatasannya, perguruan tinggi justru terjebak untuk sekedar memenuhi indikatornya. Untuk dianggap baik tidak perlu betul-betul baik, tapi tampak baik. Akibatnya, bukan substansi yang menjadi prioritas, namun kesan, citra, dan keseakan-akanan.

Ambisi besar perguruan tinggi menginternasional membuatnya semakin jauh dari koenteks kekinian masyarakatnya. Aspirasi masyarakat bawah (lokal) tidak diakomodasi karena dianggap tidak reevan dengan visi internasional itu. Padahal sebuah instansi, apapun bentuknya, patut dibentuk dan dipertahankan jika mampu menampung aspirasi konstituennya. Rakyat jika itu sebuah negara, masyarakat jika itu sebuah lembaga publik.

Pedagogik kritis berpandangan, segala bentuk kegiatan pendidikan tidak bisa terlepas dari konteks sosial masyarakatnya, melainkan menjadi bagiannya. Karena itu alat ukur paling esksistensi lembaga pendidikan yang paling sederhana adalah responnya terhadap berbagai gejolak dala masyarakat. Keinternasional hanya akan membuat lembaga itu menjadi jauh dan tidak membumi.

Para pemangku kebijakan barangkali berharap, lembaga yang dipimpinnya enjadi pusat perhatian dunia. Lembaga menjadi peain dominan yang mngontrol peradaban. Namun, jika tujuan itu gagal risikonya justru berlipat ganda. Ia tercerabut dari masyarakatn namun hanya enjadi penggembira di pentas dunia.

Mestinya, setiap perguruan tinggi memiliki indikator sendiri-sendiri untuk mengukur keberhasilannya. Rumusan indikator ini, bahkan mestinya rigis dan unik. Sebab, setiap perguruan tinggi lahir dengan tujuan berbeda. Ia lahir denga tanggung jawab dan beban ekspekatasi yang berbepda pula. Sangat aneh jika ribuan lembaga itu berkembang ke satu arah hanya karena berhasrat memperoleh pengakuan. []

No comments:

Post a Comment