Tuesday 15 February 2011

Peringati Maulid Nabi Warga Banaran Arak-arakan

Properti Hasil Patungan, Ada Sejak Awal Kemerdekaan

Warga Kampung Banaran Kelurahan Sekaran Gunungpati punya tradisi unik untuk memperingati maulid Nabi Muhammad. Mereka pawai berkeliling kampung. Seperti sebuah karnaval, warga berduyun-duyun ke jalan membawa berbagai properti yang atraktif. Seperti apa?



SELASA Selasa sore di kampung Banaran suasana agak lengang. Warung dan toko banyak yang tutup. Laundry, jenis usaha yang marak di daerah itu, juga tutup. Jalanan kampung Banaran di dekat kampus Unnes pun tak seramai biasanya. Mahasiswa yang kos di sana belum kembali karena masih liburan panjang.

Suasana berubah ba’da Maghrib. Terdengar lantunan shalawat nariyah dari mushola-mushola. Mushola satu dan lainnya bersahut-sahutan. Terdengar keras karena menggunakan Toa. Tiba-tiba, ledakan kembang api terdengar. Pyar! Pecahan api menghiasai langit, membentuk pola lingkaran. Warga, dengan berombongan, keluar dari mushola masing-masing menuju jalan raya.

Awalnya warga gang Kalimasada. Mereka berjalan di sambut rombongan lain di Gang Margasatwa. Ratusan santri ponpes Aswaja telah menunggu di sana. Mereka membawa manggaran, replika unta dari kardus, juga gunungan yang sama tinggi dengan tubuh mereka. Tampaknya, properti itu terbuat dari sterofoam. Beduk mengiringi lantunan shalawat. “Sholalloh ‘ala Muhamad, sholallah alai wasalim...,” seru mereka, kompak.

Ketika mencapai depan masjid Ijo, masyarakat tumpah ruas. Jumlah mereka ditaksir mencapai 4000 orang. Ada yang berdiri di atas kap Espass, berkendara pick up, juga berboncengan sepeda motor. Bocah umur sepuluh tahun berdiri membonceng ayahnya. Ibunya memegangi dari belakang. Bocah lainnya, yang berumur belasan tahun, beratraksi dari atas mobil. Ada yang mengenakan topeng gorila meniru polah primata itu. Rombongan remaja lain nyaris terjerembab mendorong replika mobil dari kardus karena jalanan terlalu padat.

Shalawat berkumandang dari pengeras suara. Suaranya bercampur dengan klakson sepeda motor dan knalpot motor dua tak. Bedug rombongan yang satu dijawab rebana rombongan lain. Suasana menjadi ingar bingar. Aksi mereka menjadi pusat perhatian. Pengendara yang terhenti karena macet memilih menepikan kendaraan. Memilih untuk menonton terlebih dulu. Mereka baru melanjutkan perjalanan saat iring-iringan sudah lewat.

Meski tidak pernah ricuh, Polsek Gunungpati menerjunkan 20 personel untuk berjaga-jaga. Mengenakan seragam lengkap, mereka berjaga di setiap persimpangan jalan. “Ini kan sudah jadi tradisi, harus kita dukung. Kami akan berjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diingnkan,” ucap Kanit Bimas Polsek Gunungpati Ipda Bambang.
Kriswanto, 40, warga Banaran mengatakan, tradisi arak-arakan telah dimulai sejak puluhan tahun silam. Saat masih bocah, ia mengaku setiap tahun mengkutinya. Namun dulu suasana tak seingar bingar sekarang. “Dulu bawanya obor aja. Muter-muter jalan kaki. Kalau sekarang kan sudah pake genset, banyak speaker, jadi ramai,” ucapnya.

Karena sudah menjadi tradisi, warga berinisiatif sendiri. Tidak ada nstruksi dari kelurahan atau tokoh agama. “Pokoknya, setap tanggal 12 Robiulawal. Warga di sini sudah tahu semnuanya,” lanjut karyawan Fakultas Teknik Unnes ini. “Tidak ada yang perintah, tidak ada yang ngumandani.”

Tugiman, 67, warga Banaran lain, menyebut acara ini digagas untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Acara itu sebagai bentuk penghoramatan karena nabi punya jasa besar bagi mereka. “Saya juga tidak tahu dimulai sejak kapan. Waktu saya masih anak-anak, sudah ada. Dulu, karena jalanan masih tanah dan sempit, ya saya blusu’an di sini,” katanya.

Tugiman ingat, karena dulu belum ada speaker, ia dan kawan-kawan membuat bledugan dari bambu. Batang bambu diisi karbit kemudian di bakar sehingga menghasilkan bunyi ledakan. Ia juga gemar bermain api, dalam arti yang sebenarnya. Ia menyemburkan minyak tanah dengan mulut sehingga api menggelembung menyerupai efek cendawan dalam sebuah ledakan.

Mainan bledugan, menurut laki-laki kelahiran 1945 ini, terinspirasi tentara Belanda pada masa perang mempertahankan kemerdekaan. Saat agresi militer Belanda, kampung Banaran dilintasi tentara Belanda yang memburu pejuang. “Mereka lewat sini, bawa kanon,” katanya. Tentara londo bertahan di Banaran sekitar 3 bulan. Warga terpaksa mengungsi. “Waktu itu orang sini ngungsi ke selatan, daerah Gunungpati,” lanjutnya.
Namun, Tugiman menolak tradisi ini arak-arak ini sebagai susur jejak pejuang. “Ini niatnya cuma memperingati maulid nabi,” katanya.

Warga Banaran lain, Mustafik mengatakan, arak-arakan adalah puncak kegiatan peringatan. Selama sebelas hari sebelumnya warga menggelar diba’an. “Diba’an itu membaca kitab yang berisi cerita nabi, dari lahir sampai beliau wafat,” kata Mustafik. “Itu dimulai tanggal satu sampai sepuluh, setiap jam 7 sampai jam 8 malam. Nah, kemarin kami khataman. Mestinya arak-arakan ini diadakan kemarin juga, tapi karena Pak Kyai yang akan mengisi pengajian bisanya malam ini, akhirnya ditunda,” lanjutnya.

Peringatan besar-besar ini sempat memantik perdebatan karena dinilai bid’ah. Di Al-Quran dan hadits tidak pernah dianjurkan peringatan maulid nabi. Namun Mustafik punya pertimbangan lain. “Memang tidak ada di Quran dan hadits, tapi karena kami nilai banyak manfaatnya, akan terus kami pertahankan,” kata Mustafik.

Sebagai media da’wah misalnya, Mustafik menyebut acara ini dimaksudkan untuk mengajak warga ke pengajian. “Menyemangat warga yang dulu malas ngibadah,” lanjutnya. Dari aspek sosial, acara itu dinilai mampu membangun keguyuban warga. “Warga di sini jadi ketemu, jadi saling kenal.”

No comments:

Post a Comment