Tuesday, 10 May 2011

Bahaya, Otomatisasi Akademik

KEGEMARAN perguran tinggi (PT) mengelola data akademik digital punya dua sisi kontraproduktif. Selain efisiensi kerja, otomatisasi data akademik berpotensi menggiring sivitas akademika pada pola interaksi mekanis.

Dosen dan mahasiswa, misalnya, kini tak perlu saling kunjung untuk membahas program akademik. Konsultasi bisa dilakukan secara digital. Pembayaran pun melalui transfer.

Selama pola hubungan itu diimbangi kesadaran bahwa komputerisasi hanya alternatif untuk memudahkan, akibatnya tentu tak besar. Bahkan manfaatnya cukup besar karena membabat alur birokrasi yang panjang dan berbelit. Peluang korup dalam pengelolaan data akademik pun mengecil.

Namun jika pengguna taklid pada cara kerja komputer, komputerisasi justru membuahkan bencana baru yang amat besar. Itulah kolonialisasi nilai-nilai kemanusiaan.

Betapapun canggih, robot dan komputer adalah alat bantu. Begitu pula peranti lunak otomatisasi akademis yang kini digunakan hampir seluruh PT di negeri ini. Sebagai alat bantu, robot hanya pelaksana teknis yang bekerja atas kehendak majikan. Ia tak punya otoritas menentukan keputusan karena tak mampu menempuh proses berpikir logis, etis, dan instingtif.

Sedemikian Digdaya
Namun kenyataan hampir menunjukkan sebaliknya. Di beberapa PT, otomatisasi akademik jadi sedemikian digdaya. Sistem pengelolaan data akademik bahkan mulai mendikte majikan; dosen dan mahasiswa. Pola interaksi mereka menjadi mekanis; kaku dan saklek, seperti pola kerja komputer.

Di Unnes, misalnya, ada sistem akademik terpadu (sikadu) yang sejak lahir langsung memonopoli transaksi akademik. Sejak sikadu muncul tahun 2007, kerja manual perlahan menghilang. Karena memperoleh legitimasi politik, sikadu jadi satu-satunya tempat “transaksi data akademis”.

Efek kerja mekanis komputer terasa sekarang. Sikadu mengubah pola interaksi warga universitas jadi sedemikian mekanis. Mahasiswa, dosen, karyawan, bahkan pejabat universitas taklid pada cara kerja yang telanjur dianggap efektif, sederhana, dan paling tepat itu. Ia berkembang jadi penentu karena tak dapat diajak adu argumentasi. Seluruh perdebatan tentang persoalan akademik dikembalikan ke sana. Argumen tak berlaku karena sikadu “makhluk” tunarungu.

Blunder Kebudayaan
Kepasrahan pada sistem akademik yang dikelola komputer adalah blunder kebudayaan. Setidaknya karena tiga alasan. Pertama, setiap manusia, bahkan organisme, diciptakan berbeda. Ia menempuh cara unik untuk bertahan hidup, beradaptasi, dan mengembangkan diri (Johnson, 2010). Kondisi itu tak pernah dipahami komputer karena diprogram dengan standar tunggal.

Kedua, otomatisasi tak pernah memutuskan berdasar konteks. Ia bekerja saklek sesuai dengan pemrograman. Karena itu, sistem yang terotomatisasi tak membuat pengecualian dan pemakluman. Kekeliruan ditanggapi sebagai kesalahan dan argumen tak pernah berlaku. Setiap persoalan ditempatkan secara biner, kualitatif, dan mekanis.

Ketiga, jika hegemoni sistem otomatisasi akademis dibiarkan akan menggusur kultur didaktis dosen dan mahasiswa. Asah, asih, asuh yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara sebagai nilai utama pendidikan akan terabaikan. Tak ada empati, tak ada kasih sayang, tak ada belas kasih. Relasi pedagogis dosen dan mahasiswa direduksi jadi ritus ceramah dan diskusi di kelas. Relasi kultural dosen dan mahasiswa berubah jadi transaksi akademis yang berakhir dengan nilai angka.

Kecenderungan itu tak hanya dialami lembaga pendidikan. Namun juga kecenderungan global. Teknologi mengambil porsi besar dalam mengendalikan perilaku manusia.

Namun di lembaga pendidikan, hegemoni teknologi patut jadi keprihatinan karena kontraproduktif dengan semangat pedagogis. Ironis, lembaga rahim kebudayaan bervisi besar memanusiakan manusia justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.

Pola interaksi mekanis di lembaga pendidikan akan berdampak besar terhadap kehidupan sosial yang lebih luas. Mahasiswa, karena telanjur taklid pada pola kerja mekanis komputer, berpotensi meresepsi pola itu sebagai pola paling tepat. Model itu kemudian direduplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Bisa jadi, data akademik digital adalah cara. Digitalisasi data adalah jawaban atas tuntutan kerja akademis yang efektif. Namun ketika cara jadi hegemonik, tentu akan mentransformasi diri menjadi keharusan. Data akademik digital berubah jadi pertaruhan. Terlebih, kata Profesor McLuhan, saat ini informasi tak lagi jadi instrumen untuk memproduksi barang perdagangan, tetapi telah menjelma jadi komoditas, bahkan industri berat.

Karena itu, perlu lebih dari sekadar kesadaran manajerial supaya data akademik tetap pada fungsinya. Komputer, robot, aplikasi, atau sejenisnya hanya alat bantu. Di PT, data akademik hadir untuk membantu proses belajar.
Rasanya amat tidak tepat dijadikan referensi tunggal lembaga untuk mengelola manusia, betapapun canggih

Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara, reporter Tabloid Nuansa BP2M Unnes
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/05/07/145718/Bahaya-Otomatisasi-Akademik

No comments:

Post a Comment