Kehidupan Tan Malak nyaris selalui dilalui dalam masa-masa getir. Ia terbuang secara politis. Belasan tahun melakoni hidup sebagai buron. Dan, tidak mendapat apresiasi yang cukup pantas atas gagasan dan kerja intelekuatlnya. Toh, sejarah mencatat ia sebagai pejuang yang tegar. Ia tidak menyerah sehingga hidupnya harus berakhir di ujung bedil.
Ada satu kegetiran hidupnya yang tak banyak diulas. Ia ternyata membujang hingga akhir hayat. Dia tidak pernah beristri atau bakan berpacaran, meski beberapa kali diketahui (men)dekat(i) dengan perempuan. Bisa jadi itu sebuah pilihan, tapi tidak tertutup kemungkinan itu juga menjadi konskuensi keterbatasan dirinyanya.
Apa pasal? Tan tidak memiliki “tongkrongan” menawan, setidaknya dibandingkan si flamboyan Soekarno. Tinggi badannya 165 cm, berkulit agak legam dengan tulang-tulang wajah tampak kuat. Ia selalu mengenakan baju safari lusuh, topi perkebunan, celana pendek, dengan kaos kaki memanjang hampir sampai lutut. Dia tidak punya cukup uang bahkan untuk mengurusi hidupnya secara layak. Ia miskin.
Dua kondisi; fisik dan uang-lah yang saya pikir punya kuasa lebih menetukan takdir asmara penulis Madilog ini. Tentu saja selain kondisi sosiopolitik saat itu yang memang tidak pasti.
Menjadi pria tidak rupawan sekaligus tidak kaya memang menjadi kutukan. Bisa jadi itu dialami ribuan pria lain. Tidak hanya Tan. Kondisi seperti itu membuat perempuan berpikir beberapa kali untuk mengangguk menerima pinangannya. Bayangan hidup susah karena kekurangn uang, atau tidak enjoy bercinta karena sang suami bukan rupawan, cukup menggerakan kepala perempuan geleng ke kiri dan ke kanan.
Saya tidak hendak menyudutkan perempuan yang memiliki pilihan sikap seperti ini. Menurut saya, sikap ini bahkan sangat realistis. Sebab, dari perspektif apapun, hidup bersama pria kaya jelas lebih menjanjikan kebahagiaan daripada dengan pria kere. Demikian pula, hidup bersama pria tampan yang bertubuh “proporsional” membuat perempuan berpeluang lebih bahagia daripada dengan pria yang wajahnya sudah tidak sedap dipandang. Apalagi, tampaknya, Tan juga pria yang jarang tersenyum sehingga terkesan tidak ramah.
Perempuan barangkali akan membantah bahwa fisik menjadi faktor penting saat ia menentukan pasangan hidup dengan mengatakan “itu bukan hal utama”. Tapi sebuah survei yang Jawa Pos lakukan pernah mengungkap, sekitar 4 persen perempuan membayangkan sosok bintang film Korea saat bercinta dengan suami. Imajinasi itu ternyata membantu perempuan memuaskan diri dengan mengalihkan perhatian pada kenyataan bahwa sang suami ternyata tidak cukup tampan. Hasil survei ini jelas debatable bahkan bisa dibantah dengan survei lain, tapi cukup untuk mengatakan “rata-rata perempuan memiliki citra visual yang baik”.
Inilah persoalan Tan dan jutaan pria lain yang (maaf) jelek. Ini kutukan yang menyiksa dan “membawa derita tiada akhir”. Tapi takdir musti diterima. Dia, juga jutaan pria lain, tidak kuasa materi dan kesempatan untuk mempermak ulang wajahnya.
Jika skenario takdir sudah begitu, sikap Tan untuk “tahu diri” nampaknya sudah tepat. Ia tidak memaksakan dirinya untuk mempesona secara fisik. Ia tidak terus-terusan mengejar perempuan yang ditaksir. Ia, pada akhirnya, memilih membujang. Atau bahkan, ia menghibur diri dengan mengalihkan perhatian pada revolusi. Ia mencurahkan energi untuk merumuskan republik karena rumusannya tentang pasangan hidup sudah mentok. Beruntung, “nilai jual” pemikirannya beratus-ratus kali lebih mahal daripada “nilai jual” asmaranya. Sehingga, ia tidak sekadar menjadi suami dari seorang perempuan yang dicintainya, tetapi menjadi bapak dari jutaan rakyat yang memerlukannya. Heroik bukan?
Sikap perempuan yang pernah Tan dekati, sekali lagi, adalah pilihan praktis-rasional-alami. Maksud saya, praktis karena saat itu punya pilihan lebih baik, rasional karena selaras dengan pertimbangan untung rugi, dan alami karena demikanlah kecenderungan alamiah alur pikir manusia. Mereka jelas tidak bisa dipersalahkan. Bahkan pilihan mereka perlu diapresiasi. Coba bayangkan, jika ada perempuan yang akhirnya benar-benar mengiyakan pinangan Tan, hidupnya pasti tak kalah “dramatis” dengan sang suami. Ia, misalnya, harus sendirian di rumah karena ditinggal selama pelarian Moskow-Hongkong-Singapura. Ia juga harus hidup di gubuk kecil dekat pertambangan batu bara di Banten lantaran sang suami menjadi kerani di sana.
Karena itu, bagi saya dan mungkin ratusan ribu laki-laki yang bernasib “tidak jauh” dengan Tan, ada baiknya meniru sportivitas Tan. Ia, agaknya, legowo menjadi bujangan seumur hidup. Ia memilih “medan perjuangan” lain untuk mencurahkan energi intelektual-revolusionernya. Tapi, kalaupun tidak bisa bersikap ekstrim layaknya pria bergelar Datuk itu, mestinya saya bisa terima jika akhirnya hidup dengan jodoh yang tidak “seideal” perempuan idamannya. Sebab, dengan cara itu, artinya kita memberi peluang “perempuan idaman” itu untuk hidup lebih bahagia. Bukankah kita, seperti pameo klasik, melu seneng nek wong sing ditresnani seneng.
Bisa jadi pameo itu omong kosong. Tapi saya merasa perlu mempersiapkn sikap itu. Ya, meskipun saya tahu bersikap seperti itu akan melelahkan dan menguras energi. Tapi mau bagimana lagi? Jika orang yang saya cintai memilih orang lain yang “lebih layak” untuk menjadi pendamping hidupnya, dan dengan pilihan itu ia akan bahagia, insya Allah saya legowo. Tapi syaratnya dia benar-benar harus bahagia. Bahagia, tidak sekadar senang. Bahagia, bukan sepekan atau sebulan, tapi sepanjang hayat. Ya, sepanjang hayat.
Friday, 1 April 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment