Ada beberapa orang terkenal yang punya nama hampir sama. Trias, bernama belakang Kuncahyono, wakil pemimpin redaksi Kompas. Triyas, bernama belakang Agus Yulianto, ahli IT yang kalau sudah ngadep laptop rela tidak makan. Makanya, badan kurus tak terurus. Kalau Tias, atlet bulutangkis remaja di Banjarnegara. Cantik, badannya atletis-empat ruas jari lebih tinggi dari saya. Smash-nya yahuud, Bos!
Nama mereka, entah kenapa, bikin saya ingat dengan Montesquieu. (Ejaannya benar nggak?). Dia laki-laki berhidung mancung kelahiran Perancis. Namanya beken karena menggagas konsep pemisahan kekuasan dalam sebuah bernegara. Trias Politika. Gagasannya termasuk kontroversial karena saat itu Raja Louis masih berkuasa absolut atas Perancis. Ingat l’etat c’est Moi dong?
Untunglah, gagasan Montesquieu menemukan momentumnya sehingga nasib laki-laki kelahiran Chateu de La Brede itu tidak berakhir di bawah goulletine. Waktu itu rakyat tampaknya juga mulai jengah dengan kekuasaan raja. Terjadilah penyerbuan penjara Bastille yang kemudian memantik revolusi gila-gilaan di sana.
Kita flashback ke belakang. Trias Politika tampaknya lahir dari truama sejarah. Sebab, hampir setiap negara yang dikuasai penguasa tunggal rakyatnya jadi sengsara. Rajanya kaya-raya tapi rakyatnya kurang makan. Ratunya kolektor sepatu tapi ibu-ibu ndak punya duit untuk beli susu. Ada Orde Baru, rezim Ben Ali, Mubarak, Imelda Marcos, dan keluarga Khadafi sebagai bahan bercermin.
Berabad kemudian, ide Montesquieu diadaptasi oleh hampir seluruh negara, termasuk Indonesia. Lahirlah tiga pilar demokrasi; legislatif, ekskutif, dan yudikatif di negeri ini. Intinya, negara musti dikelola bersama. Jangan sampai ada pemilik tunggal. Kalaupun ada presiden, raja, atau sultan, anggaplah hanya sebagai presiden direktur, sedangkan pemilik sahamnya tetap rakyat. Soal golongan mana yang kerap diverbalkan sebagai "rakyat", tentu tafsirannya beragam.
Tapi, puluhan tahun berikutnya, substansi pemisahan kekuasaan justru mulai diingkari. Pemisahan kekuasaan cuma tergambar dalam struktur organisasi negara; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Padahal, antarlembaga itu bisa saling mengangkangi. Misalnya, karena mayoritas anggota DPR adalah kader Partai Demokrat, lembaga legislatif ini jadi tidak kritis pada pemerintah. Apalagi salah satu pimpinannya, yang berinisial sama dengan petinju Muhamad Ali, ternyata loyalis pemerintah. Duh, repot.
Walaupun begitu, kita patut bersyukur. Lho? Bersyukur karena setidak-tidaknya lembaga eksekutif dan legislatif masih dipimpin oleh orang yang berbeda. Coba bayangkan, kalau kedua lembaga itu dipimpin oleh orang yang sama, legislatif pasti cuma jadi tukang stempel. Seperti kata Kang Iwan Fals, “hanya tahu nyanyian lagu setuju...” Dan, anda tahu di sebuah negeri antah barantah, itu benar-benar pernah terjadi.
Tapi saya ndak mau mikirin itu lah. Ndak nyandak. Karena saya mahasiswa pendidikan bahasa Indonesia, mendingan ngapalin teorinya Saussure. Biar dapat cum laude, lulus cepat, terus jadi PNS! Trias Politika biar dipikir orang-orang hukum saja. Ya mahasiswa hukum, ya dosen hukum, dan tentu saja profesor ilmu hukum. Mereka lebih mudeng.
Saturday, 19 March 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment