Friday, 18 March 2011

MENCARI RUANG UNTUK IMAJINASI

Bolivar, Simon. (Sumber gambar: www.myartprints.co.uk)

KETIKA berumur 22 tahun Simon Bolivar naik ke bukit Aventine di Roma. Ia bersumpah tidak akan diam sebelum negerinya bebas dari penjajahan Spanyol. Entah berkat gejolak geopolitik atau benar-benar karena tekadnya, sumpah “bocah ingusan” itu menjadi kenyataan. Pada 1810 gubernur Spanyol di Venezuela diturunkan. Setahun berikutnya ia menjadi pemimpin revolusioner.


Meski gagal mewujudkan negara federasi Amerika Latin, imajinasi Bolivar menjadi modal penting kemerdekaan lima negara; Colombia, Venezuela, Ecuador, Peru, dan Bolovia. Salah satu modalnya, ia punya imajinasi yang dikombinasi dengan tekad dan visi. Pada 1982 Michael H Hart menempatkan namanya pada urutan 46 orang paling berpengaruh di dunia.

Dari cerita heroik itu saya ambil kesimpulan, kemerdekaan berpikir, berimajinasi, atau bahkan untuk berceloteh sekalipun, sangat penting bagi anak muda. Sangat mungkin imajinasi berkembang membentuk rangkain cara bernalar, terinternalisasi dalam diri individu lantas mengkristal menjadi tumpukan energi yang bisa memutarbalikan probabilitas alam. Sekali lagi, imajinasi penting dan berharga.

Imajinasi memang tidak metodis. Sangat absurd dan barangkali sulit diilustrasikan. Namun, meminjam tesis Peaget, iamjinasi bertaut dengan lingkungan berkembang individu. Imajinasi dibangun dari pengalaman psikis dan biologis. Maka, perlakuan yang diterima individu dari lingkungannya saling berkolaborasi membangun imajinasi.

Ketika masih bocah, pasti banyak rekan-rekan mahasiswa yang bercita-cita menjadi dokter, pilot, polisi, insinyur, atau bahkan presiden. Tanpa represi imajinasi-imajinasi itu menjadi sangat lepas. Tapi kondisi berubah ketika lingkungan tidak mendukung. Terlebih ketika sadar bahwa untuk menjadi seperti itu banyak halangan.

Untuk masuk Fakultas Kedokteran umpamanya, orang tua tidak punya cukup uang pangkal. Atau, mekanisme politik ternyata hanya mengizinkan orang-orang yang memiliki modal besar untuk menunggangi Royal Saloon Ri-1. Akibatnya, imajinasi yang awalnya begitu lepas itu mengkerut, motivasi mulai hilang, dan energi yang melimpah kemudian berkurang.

Sistem pendidikan (kita) ternyata tidak membiarkan imajinasi terus berkembang. Sebaliknya, lama kelamaan justru surut? Sekurang-kurangnya, menurut saya, karena tiga hal. Pertama, imajinasi dianggap jadah oleh kultur akademik kita. Ia tidak diakui, bahkan kerap diharamkan. Kedua, dengan melanggengkan penilaian kuantitatif lembaga pendidikan mengajarkan pragmatisme. Dan ketiga, guru dan dosen masih berlaku layaknya administratur negara di bidang pendidikan yang bekerja dengan pedoman dan struktur serba pasti.

Kondisi itulah yang membuat anak muda terpaksa melepas mimpi-mimpinya. Tidak sedikit dari mereka yang menyerah pada mekanisme sosial-politik-kebudayaan yang kaku (dan telah dikonstruksi) itu. Mereka menyerahkan “leher” pada sistem yang telah ada kemudian lahir sebagai sarjana yang taklid pada aturan. Jarang yang bisa memelihara mimpinya, seperti Bolivar, memerdekakan bangsanya, atau layaknya Jules Verne, mengatakan (pada sat itu) bisa mengelilingi dunia dalam 85 hari. Mari berimajinasi (kembali), kawan!

No comments:

Post a Comment