Pesan Kompenen dari Amerika, Manfaatkan Bekas Mesin Fotokopi
KONTES Robot Cerdas Indonesia (KRCI) bukan adu kreativitas semata. Dana juga punya andil besar menentukan juara. Karena itulah, universitas besar diangga punya canes enang lebih besar untuk menang. Meski begitu, tim dengan anggaran cekak punya cara menyiasatinya. Siasat apa?
Saingan - Dua anggota Divisi Robotika UKM Riptek Unnes merancang salah satu robot yang akan dilombakan. Mereka harus bersaing dengan perguruan tinggi lain di kontes regional III di UNY. (Foto: Rahmat Petuguran)
Lantai 4 gedung B Kampus Udinus tampak sepi Minggu sore kemarin. Dari beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bermarkas di sana, hanya Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro (HMTE) yang tampak aktivitasnya. Di sanalah Haryo Indardi dan teman-temannya bekerja. “Biasanya Minggu kami libur tapi hari ini kami masuk,” kata mahasiswa asal Karawang ini.
Tahun ini tim HMTE Udinus berhasil meloloskan 3 proposal, yakni pada KRI, KRCI beroda, dan KRCI berkaki. Mereka mengebut pekerjaan karena Maret nanti video perkembangan sudah harus dikirim ke Dirjen Dikti. Dua dari tiga robot yang mereka rancang bahkan hampir jadi. Salah satu robot yang berbentuk laba-laba sudah diuji coba dan bisa berjalan dengan baik.
Haryo dipercaya memimpin divisi KRCI berkaki. Ia merancang robot kumanoid yang mereka beri nama Astronus One. Rencananya, Astronus One akan diterjunkan dalam kelas soccer. Astornus One akan beradu keincahan dengan robot socer dari tim lain. Layaknya dalam sepakbola, juaranya dipilih berdasarkan jumlah gol yang bisa diciptakan. Karena itulah, robot harus dirancang dengan cermat supaya lentur menggiring bola.
Namun, merancang robot dengan kemampuan speerti itu bukan pekerjaan mudah. Selain harus lentur, robot juga harus punya “penglihatan” yang baik. Karena itulah, Haryo dan kawan-kawannya memasang beberapa sensor sekaligus dalam satu robot. “Nanti robot ini juga harus bisa menjatuhkan diri untuk menahan bola dari serangan lawan,” katanya.
Di sinilah masalah muncul. Untuk membeli komponen yang bagus diperlukan fulus tidak sedikit. Sensor kompas yang digunakan untuk mengenali arah misalnya, harganya sampai Rp 750 ribu per buah. Itu pun belum tentu tersedia di Semarang. Mereka harus memesan secara khusus ke Kota Pahlawan, Surabaya.
Robot berkaki yang mirip laba-laba lebih rumit lagi penyelesaiannya. Untuk membuat persendian yang lentur pada semua kaki Haryo memerlukan servo. Ukuran servo memang hanya dua ruas jari, tapi harganya ternyata mencapai belasan juta. Bahkan itu pun belum tentu tersedia di Indonesia.
Karena itu, Haryo dan teman-temannya kemarin sengaja memesan beberapa servo ke Amerika. “Kita indent sudah lama, tapi baru datang 3 minggu kemudian,” lanjut mahasiswa Teknik Elektro ini. “Harga satu paket termasuk ongkos kirim dan PPN Rp 15 juta,” katanya.
Harga komponen yang gila-gilaan itulah yang membuat kontes robot akhirnya juga menjadi kontes dana. Menurut Haryo, pantas saja universitas besar seperti UGM sering menang. Selain kreatif, menurutnya, sokongan dana untuk mereka nututi. “Saya sempat dengar anggaran mereka sampai Rp 450 juta,” ucapnya. Informasi itu ia peroleh ketika study banding ke kampus biru itu.
Kendala dana juga dirasakan tim robotika Unnes. Padahal tim ini berhasil meloloskan empat robotnya, yakni KRI, KRCI beroda, KRCI berkaki, dan KRSI. “Untuk kontes robot dan roket kita dapat dana Rp 120 juta,” kata Guruh Latifatulloh, ketua Departmen Robotikan UKM Riptek Unnes, kemarin. Jumlah itu menurutnya kurang sehingga ia harus pintar-pintar menyusun anggaran.
“Tahun ini malah belum cair, jadi kita gunakan kas tahun lalu,” katanya. Kalau kas kurang terpaksa ia dan rekan-rekannya nomboki dulu. “Kalau uangnya sudah cair baru diganti,” lanjutnya.
Namun, Guruh dan rekan-rekannya punya strategi. Untuk mengakali harga komponen yang “selangit” ia memanfaatkan komponen tahun lalu. Robot-robot yang mereka buat tahun sebelumnya dipreteli. Beberapa kompnen yang masih waras dipakai kembali. “Makanya kami tidak punya contoh robot utuh tahun lalu,” kata mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro ini.
Cara kedua, Guruh biasanya belanja kompenen bekas di Surabaya. Saat mencari komponen yang tidak tersedia di Semarang, ia mampir ke sebuah pasar barang bekas. Di sana ada pasar rombeng yang menyediakan bekas mesin fotokopi. Beberapa kompnen mesin itu bisa ia gunakan untuk membuat robot. Lumayan, selisih harganya cukup jauh. “Untuk ger, di sana kita beli Rp 5 ribu, kalau harus beli baru haragnya sampai Rp 40 ribu,” katanya.
Meski tak leluasa karena cekaknya dana Guruh tetap optimis bakal memenangi kontes. Ia mengunggulkan robot berkakinya, Rokes (generasi) IV. Tahun 2010 lalu generasi ke-3 Rokes berhasil menjadi juara 4 di tingkat regional. Prestasi lebih baik pernah ditoreh pada 2009. Saat itu Rokes (generasi) II juara 3 di kontes regional.
Haryo punya argumen lain. Meski menganggap UGM akan menjadi kompetitor berat, ia optimis bisa menang. Bahkan, menurutnya, bukan tidak mungkin timnya mengalahkan PENS Surabaya yang langganan juara sejak 2001. “Saya optimis. Wong belum perang masa sudah pesimis,” katanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment