Thursday, 8 March 2012

Calon Syekh

Kedatangan Ramon pada rumah mewah berarsitektur Eropa tak berakhir membahagiakan. Langkah mantap ketika berangkat berubah gontai. Satu matanya sengaja dijulingkan. Ia benar-benar merasa terhina. Baru kali ini ia merasa ora diewongke oleh sesama manusia.
Tida k ada yang beda. Aku dan dia sama-sama manusia. Dia cuma menang jenggot saja. Situ ngerti nggak?
Wajah Ramon memerah.
Gila. Aku ditahan empat puluh hari.
Termanggut-manggut aku mendengarnya. Kupikir Ramon memang lebih suka didiamkan saat marah.
Ramon adalah mahasiswa seni. Kalau ditanya orang semester berapa, tak lain dia bakal menjawab ‘akhir’. Begitu saja. Memang demikian nyatanya. Kalau semester ini ia tak dapat menyelesaikan skripsinya, dia bakal didepak. Dekan sudah berkirim tiga kali surat peringatan. Yang terakhir di bubuhkan kata ‘keras’ bahkan.
Dasar Ramon, ia tak ambil bingung dengan surat yang diantar ketua jurusannya itu. «Hanya dua atu tiga surat, tak masalah lah, ujarnya.Hehehehe. Sejak SMA aku pernah dapat puluhan surat dari cewekku.
Lelah dipergunjingkan di kampus, Ramon memilih cabut. Dia mendirikan biro berita yang didiversifikasikan menjadi klinik fotografi, penerbit, calo percetakan, sekolah keterampilan menulis, dan bahkan agen tiket bus AKAP. Dekan pernah datang di tempat tinggalnya yang seukuran dua kali meja pingpong.
Maumu apa? bosan kuliah ya keluar saja.  ucap Dekan, marah. Ramon yang baru bangun, semalam dia begadang menononton tiga serial film Van Wilder, termehek-mehek. Dia belum sempat menyisir rambut. Masih tampak merah dan kriwil-kriwil seperti rambut jagung.
Akh Pak Dekan ndak usah begitu. Saya masih punya 5 bulan biar skripsi kelar,  ucapnya sambil menyuguhkan air mineral dan gelas plastik. Gelas plastik itu semalam ia pakai sebagai asbak. Minum Pak.
Pak Dekan mengambil gelas, mengernyitkan kening. Bocahsontoloyo,“ pikirnya.
Sadar nggak sih, kamu sudah semester tujuh belas Bung. tegas Dekan, melepas kacamata hitam Jet Leenya.
Iya Pak.  Tapi jatah saya kan belum habis.
Sanggup buat skripsi 3 bulan? Hah?“ menudingkan telunjuk nyaris di ujung hidung Ramon. Buat makalah saja belum becus, judul juga belum buat.
Ramon duduk bersila, memang tak ada kursi di tempat tinggalnya. Wajahnya tertunduk terpasang pasrah meski lidahnya terjulur-julur menirukan gaya bicara Pak Dekan.
Dosa apa si saya, sampai punya mahasiswa seperti kamu?
Saya pasrah, mau mati saja Pak..  Ramon memagangi leher dengan kedua tangannya.
Boleh. Boleh saja… Dekan berujar pelan.
Hah..,? terperangah.
Iya, tapi setelah wisuda. Mau? 
 Lha Pak ? 
Yang penting kamu lulus dulu lah.“ Sambil membalikan tubuh.Matinya nanti saja.
Pak, kok repot amat se. Daripada fakultas gagal terakreditasi A dan gagal dapat bantuan, mbok saya diluluskan saja.
Sembarangan! Kamu pikir universita sini punya mbahmu?
Daripada Bapak repot-repot? Apa sulitnya lah bikin surat keterangan lulus sama transkrip nilai, biar semester depan saya bisa wisuda.
Pak Dekan termenung beberapa lama. Dia ingat dengan teken kerja sama dengan Batara Foundation beberapa waktu lalu di Berlin. Di sebuah gedung konsulat di Berlin Dekan datang dengan stafnya saat itu.
Dalam perjanjian itu Batara Foundation bakal memberi bantuan 15 milyar pada fakultas. Uang segepok itu rencananya akan diberikan dua bulan lagi. Tapi Batara Foundation minta tidak ada satupun mahasiswa yang drop out atau kadaluarsa karena telat lulus.
No drop out. Okey?“ tanya pejabat BataraSaat itu Dekan hanya bilang ‘oke sir’. Dia pikir  semua mahasiswanya beres.
Dekan yang suka bercukur plontos itu dibuat pusing setelah tiba dari Berlin. Selain sempat sakit karena mriang, gejala awal tipus, Dekan tahu ada salah satu mahasiswanya yang nyaris drop out.
Duh, mati aku. Bisa-bisa gagal ini bantuan.“ ucapnya setelah menerima laporan. Kepala Pak dekat berkeringat. Panggil bocah itu!serunya.
Ketua jurusan yang ditugasi memanggil Ramon sempat geleng-geleng siang itu.
Duh, bencana.“ pikirnya.
Ia sempat menolak dan melimpahkan tugas pada sekretaris jurusan. Tapi saat mata Pak Dekan membulat, tajam, menatap wajahnya, Pak Aswi yang hampir empat menjadi ketua jurusan, manggut juga.
Sebelum ditugasi Dekan, Pak Aswi sudah puluhan kali memanggil Ramon. Sudah muak malah, ucapnya pada teman-teman sekantor.
Tiap dipanggil, Ramon tak pernah absen. Tapi saat dinasihati ia seperti tak dengar. Tak ada gaya lain, ia hanya manggut-manggut sambil menarik poninya untuk menutupi mata.
Tak mempan dipaggil, Pak Aswi memakai pendekatan lain. Ia, guru besar yang hampir emeritus, datang langsung di rumah kos Ramon. Ia memarkir mobil di depan gang. Jalanan menuju kos Ramon sempit.
Saat pertama kali datang Pak Aswi tak mendapat kesan apapun. Tempat itu sama seperti tempat kos mahasiswa lain. Motor terparkir tak beraturan, ada jemuran kasur yang basah karena ngompol, dan celana dalam merk Panther yang terpanggang hanger.
Pak Aswi mengetuk pintu beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Ketukannya beberapa kali diperkeras. Mulai jengkel, ia menggunakan kepalan tangannya. Bahkan setelah beberapa menit tak ada jawaban Pak Aswi mendaratkan sepatunya di daun pintu. Brak!
Ramon pinsan kali Pak. ujar tetangga kos Ramon.
Dari balik jendela Pak Aswi mengintip. Meski jendela ditutup kain semacam sarung, tempat tidur Ramon masih terlihat. Pak Aswi makin kesal. Tubuh Ramon terkapar telanjang dada. Ia hanya mengenakan celana pendek bergambar tengkorak. Perutnya kembang kempis, pipih kurus kering. Takut asmanya kumat Pak Aswi memilih pulang. Pasrah.
Dua hari kemudian Pak Aswi kembali datang. Ia sengaja datang pukul sebelas siang saat udara panas bukan main. Jam segitu, Pak Aswi pikir, tak ada satu orang pun yang doyan tidur. Kecuali kebo.pikirnya.
Kalaupun perkiraannya keliru Pak Aswi sudah mengantongi beberapa petasan seukuran rokok kretek. Ia beli di tengah perjalanan pulang kamarin. Pasti ini manjur.
Tiba di kontrakan Ramon Pak Aswi coba tersenyum. Tampak berat memang. Ramon terlihat di teras kos bermain gitar. Stylenya masih sama; telanjang dada dengan celana setengah paha bergambar tengkorak. Cuih… 
Mbok yao mikir. Gara-gara kamu ribuan mahasiswa bisa gagal dapat beasiswa. Mikir.. . ucap Pak Aswi.
Iya Pak. Ramon menjawab pelan sambil mengenakan kaos dalam yang sudah kekecilan. Ia masih menyisakan lubang pusar pada Ketua Jurusan.
Saya tunggu skripsi kamu. Kalau dua minggu lagi tidak ada judul, awas kamu… «  Pak Aswi pergi, menunjukkan kepalan tangan.
Menghela napas panjang Pak Aswi segera pulang. Ia tak menyangka hingga dua minggu penantianya, Ramon tak menunjukkan batang hidungnya. Pupus lah harapan guru besar ini. Profesor yang kebetulan dapat tugas jadi ketua jurusan itu tertunduk datang menghadap Dekan.
Saya pasrah Pak. Dia gudhel, bukan manusia. Tidak bisa diajak bicara.
Sempat membelalakjuga mata Pak Dekan. Ia ingat uang 15 milyar yang dijanjikan Batara. Jerih payahnya menyusun proposal, mondar-mandir Semarang-Jakarta, sempat muntaber saat di Berlin, dan nyaris kena tipus sepulang dari Berlin, bakal sia-sia. Oh, tidaaak…
Bisa teken kerja sama dengan Batara saja bukan perkara mudah. Ia sudah mengupayakannya selama tiga tahun. Perjuangannya tak bisa diremehkan. Demi segepok uang yang tak pernah ia lihat sebelumnya ia rela pontang panting.
Di Berlin Dekan dan rombongan sempat kesasar. Hotel Daylux yang iabooking di internet ternyata puluhan kilometer dari kantor Konjen. Ia bingung sebab tak seorang pun anggota rombongan yang lancar berbahasa Jerman.
Setelah Daylux ditemukan, Dekan nyaris sesak nafas. Hotel yang dikiranya ‘lux’ ternyata hotel aneh yang kamarnya terbuat dari susunan kontainer. Tak ada showerzakuci, atau service pijet kelas wahid. Kamar mandi yang Pak Dekan temukan seukuran kamar mandi di rumahnya.
Hah…. peluhnya saat itu.
Sarapan di Daylux juga tak lux. Ia hanya disuguhi sandwich dan dua gelas susu. Perut Pak Dekan yang kroncongan sejak semalam rupanya tak ramah dengan makanan macam itu. Biasanya perut bunci yang lingranya hampir satu meter itu diisi nasi dan sayur kangkung. Tak berani ambil resiko kelaparan, Pak Dekan tetap menyantap sandwich.Apa boleh buat ?
Rombongan Pak Dekan juga mengeluh. Pambantu dekan IV bahkan sempat pamitan ingin pulang duluan ke Indonesia karena sudah tak tahan. Jangan, kita harus tetap disini sampai penandatanganan kelar,“ cegah Pak Dekan.
***********
Di belakang meja kerjanya, Pak Dekan termangu beberapa lama. Pak Aswi yang sudah berputus asa masih duduk tertunduk.
Ya sudah lah, biar nanti saya yang tangani.
***********
Sore yang indah di rumah kontrakan Ramon. Dua orang siswi SMA keluar dari rumah kontrakan mungil itu. Angin berhembus pelan, menerpa rambut Pak Dekan yang turun dari mobil.
Pak, selamat sore, sapa Ramon.
Wajah Pak Dekan bertanya-tanya.
Ooh, tadi itu siswa saya Pak, mereka ikut kelas privat nulis dan nglukis di sini.
Ooo, jadi guru menulis kamu?
Ya Pak. tersenyum lebar.
Kamu ajari nulis apa mereka? coret-coret tembok?
Nulis berita Pak. Mereka pengin jadi wartawan.
Beberapa lama suasana hening. Bola mata Pak Dekan berputar, mengamati langit-langit dan dinding rumah Ramon. Ramon sempat khawatir. Ia sempat menulis ‘fuck’ di samping lukisan yang ia buat mirip Pak Dekan lengkap dengan kepala plontosnya.
Saya bisa meluluskan kamu tanpa harus menyusun skripsi. Mau?
Ramon terbelalak.
Benar Pak?
Ya, tapi dengan satu syarat.
Iya Pak, apapun syaratnya pasti saya penuhi. Apa Pak ? Kemenyan, kembang setaman, atau kamboja?
Hush! Kurang ajar. Kamu pikir saya minta kamu ngepet?
Maaf Pak saya terlalu senang.
Pak Dekan terdiam, melepaskan kacamata hitamnya.
Saya sudah bilang Rektor kemarin, kamu bisa kami anggap lulus kalau bisa menyusun sebuah karya seni yang monumental.
Payah, aku nggak bisa nglukis, apalagi nulis buku, pikirnya.
Kamu boleh  buat karya apapun.  Kalau sukses,  kuberi kau doktor honoris causa. Mau?
Ya, Pak.
Tapi kalau dua bulan kamu gagal, status kemahasiswaanmu terhapus.
**********
Dengan rambut terpicing ke belakang Ramon memberanikan diri masuk ke sebuah komplek pondok pesantren. Beberapa lama ia terdiam di balik gerbang. Ditataplah para santri yang sedang mengaji di beranda pondok. Semuanya bersarung, peci beludru, dan baju muslim berbordir bunga.
Ramon menghela napas, melepasnya perlahan. Huh….
Pandangannya memudar di antara terik matahari. Ia tampak ragu.
Pesantren yang akan Ramon kunjungi terlalu besar. Dia memilih pintu gerbang samping yang tak dijaga satpam. Pesantren itu milik seorang pengusaha super tajir di kota itu. Ramon pernah melihat wajah pemilik pesantren di televisi. Lelaki paruh baya yang suka terbawa terbahak-bahak. Senyumannya sama sekali tidak manis. tenggelam di antara jenggotnya yang panjang.
Dua pekan lalu Ramon melihat pemilik pesantren itu sedang dikerumuni wartawan. Ia dikawal beberapa lelaki gahar berpakaian loreng dan baret merah.
Mau ketemu siapa? tanya seorang penjaga. Pemuda ini tersentak setengah kaget.
Pemilik pesntren Pak.
Situ dari mana? Ada kepentingan apa? sudah ada janji?
Ditodong pertanyaan Ramon semakin mumet. Matanya berkunang-kunang. Pandangannya buyar, dan roboh.
*********
Pagi-pagi sekali Ramon datang di kontrakanku. Ia menodongku dengan puluhan pertanyaan.
Bagaimana ini? Karya seni apa? menurutmu gimana?
Aku terpekur di atas ranjang selebar 1,2 meter. Aku tak tahu harus menjawab apa.
Gini lho. Tadi Pak Dekan datang ke kosku. Dia bilang bisa meluluskanku meski tanpa skripsi.
Hah?!
Ssst, jangan keras-keras. 
Akh, gila Pak Dekan.
Benar. Tapi dia minta syarat. Aku bingung.
Terdiam, aku menjulurkan kaki. Aku menatap Ramon. Ia terlihat seperti sedang berpikir.
Bagaimana ini ? 
Syarat apa?
Pak Dekan bilang, dalam dua bulan ini aku harus membuat karya yang menumental.
Akh, gila Pak Dekan.
Aku terkekeh.
Orang kayak kamu membuat karya monumental?
Kenapa? Keliru? Situ pikir apa?
Aku terkekeh.
Itu akal-akal dia biar bisa menghapus status kemahasiswaanmu aja. 
*************
Lamat-lamat berita tentang seorang Syekh yang nikah siri dengan bocah berumur dua belas tahun mampir di telinga Ramon. Ia terlentang di atas kasur yang digelar di atas lantai, telenjang dada dengan celana pendek setengah paha bergambar tengkorak.
Seorang Syekh tajir diperiksa polisi karena menikahi gadis bau kencur. Ia datang beriring-iringan dengan mobil BMW mewah. Selain dikawal istri, sudara, bodyguard, ada pula tim pengacara. Gila ni orang, pikir Ramon.
Ramon tersentak dan segera bangun. Segera saja ia cabut, membawa sebuah kamera poket, dan notebook. Dia berencana ke pondok pesantren milik Syekh. Ramon pikir polah Syek adalah sebuah fenomena besar. Ia berencana akan membuat biografi tentang Syekhnyleneh itu. Bukunya apsti laris. ujar Ramon. Bisa jadi, bukuku bisa diterjemahkan dalam beberapa bahasa.
Cihuy… Aku segera lulus. pikirnya sambil menggeber sepeda motor menuju pondok pesantren Syekh.
Ramon pikir ia akan diasmbut manis. Tapi tidak. Di depan gerbang samping ia terhalang jeruji. Membuatnya ragu untuk masuk atau kembali. Matahari terik. Matanya berkunang-kunang. Pandanganya buyar. Seorang penjaga menghampirinya
Mau ketemu siapa?
Situ dari mana? Ada kepentingan apa? Sudah ada janji?
***********
Ramon dikerubuti santri saat sadar. Matanya belum terbuka benar. Seorang pemuda berpeci membawakan segelas air putih. Matanya masih berkunang-kunang.
Saya dimana?
Alhamdulillah, antum sudah sadar. Selamat datang Mas. ucap seorang pengurus pesantren. Suaranya lembut.
Di mana aku?
Insya Allah pilihan antum tidak keliru.
Tapi…
Seorang pria paruh baya datang. Tawanya menggelagar. Di sampingnya ada seorang wanita berkerudung putih. Sambil terus tertawa pria itu mendekati Ramon.
Hahahaha…, ini santri kita yang baru ?
Njih Kanjeng.
Sudah disiapkan kamar? Hahahaha…
Sudah Kanjeng. Seperti santri baru lain, dia akan di karantina dulu selama 40 hari.
Semarang, 15 Maret 2009

No comments:

Post a Comment