Aku ingin berteriak sejadi-jadinya. Meronta, lantas lari. Sakit begitu berkuasa. Dari ujung jemari kaki hingga kepala.
Aku terikat. Seorang perawat menggenggam lenganku erat. Hampir saja ia terlempar saat aku meronta., coba mengais sisa tenaga. Namun datang lagi sesorang yang membantunya, mengikatku dengan sisa kafan mayat di kamar sebelah. Kalau saja bisa, sudah kurobek lantas melemparnya ke bak sampah di pojok ruangan.
Tiga butir peluru bersarang di bahu kananku, bahkan menembus tulang belikatku hingga remuk. Aku menjerit sekuat tenaga, mengiringi geliat pasien rumah sakit yang baru membuka matanya. Seorang dokter dengan jas putih dan kerudungnya yang sewarna datang menghampiriku. Hampir saja kutendang tubuhnya saat ku sangka ia adalah malaikat yang akan menjemputku ke surga.
Namun kakiku tak dapat tergerak. Kulihat jarum suntik digenggam dokter muda itu, menusukannya ke dalam lengan kananku yang masih berlumur darah. Seketika itu pandanganku kabur. Sinar matahari yang mulai datang melalui lubang ventilasi kian membuat pandanganku buyar. Semakin tak jelas hingga akhirnya aku terpejam.
***
Suara adzan Ashar kudengar jelas. Aku juga tak habis pikir kenapa speaker mushola harus menghadap ke arah kamar rawatku. Saat muadzin telah selesai mengumandangkan takbir akhirnya, mataku mulai terbuka. Sayup-sayup kulihat barisan polisi yang memandangiku iba.
Kutatap wajah mereka satu persatu. Termasuk lelaki berkumis tebal yang melekat sebuah gambar bintang di kedua bahunya. Wanita muda dengan jas dan kerudung putih yang beberapa saat lalu menancapkan jarum suntik ke dalam lenganku juga menatapku. Terselip senyum kecil dari kedua bibirnya. Senyumnya indah, juga terasa akrab. Begitupun alis tebal dan bola mata biru yang berbinar itu. Tak kualihkan pandanganku beberapa saat.
“Maaf Pak, kami harus memeriksa pasien, mohon tunggu di luar.” ucap dokter itu. Barisan pria berseragam itu keluar beriringan, meninggalkanku hanya bersama dokter muda itu.
“Aku tidak menyangka Tuhan mempertemukan kita di tempat ini Mas Pram.” ucap dokter sembari menggenggam tanganku.
Aku tak paham mengapa dokter itu memanggilku dengan nama panggilan. Sesuatu yang sebenarnya tak biasa dilakukan seorang dokter pada pasiennya.
“Aku bangga padamu Pram. Kamu tetap seperti Pram yang aku bangga-banggakan.”
Genggaman wanita itu kian erat, membuat tanganku terasa hangat. Kulihat sebutir air jernih menetes dari kedua matanya. Meleleh. Hingga sejauh itu aku masih belum paham mengapa ia lakukan semua itu. Menangisi pasien.
“Kamu masih ingat aku ‘kan Pram?”
Aku mengangguk. Padahal belum sadar benar aku saat itu. Telingaku coba mencermati suara itu. Suara yang keluar dari sela kedua bibir merah itu erasa dekat. Akrab.
“Sejak awal aku sudah tak setuju kalau kamu masuk satuan. Aku tak pernah ikhlas membiarkanmu menjadi polisi. Tapi kamu yang selalu ngotot, tak mau mengerti kekhawatiranku. Semua ini benar-benar terjadi.”
Dari isak tangisnya aku mulai mengenali wanita itu. Ia duduk di sampingku. Kucoba menerka. Sebuah kisah yang sempat aku lewati bersama Yani.
***
Senja belum menguntit sore itu, tapi semburat matahari mulai kuning. Aku duduk memandangi ngarai. Di bawah sana ada ribuan pohon pinus. Sesekali gemuruh terdengar saat angin bertiup meliukkan pucuk-pucuknya. Membuat penatku sedikit terobati, setidaknya.
Baru kali ini hidup menggiringku pada persimpangan. Aku dihadapkan pada pilihan antara cinta dan cita. Ya cinta dan cita.
Yani, kekasihku, justru membuatku gamang. Ia tak mengijinkanku mengikuti seleksi masuk kepolisian. Saat kuutarakan niatku, ia marah besar. Tak pernah kulihat dia semarah itu sejak dua tahun aku mengenalnya..
“Tidak, aku nggak rela Mas Pram menjadi polisi. Kita bakal terpisah Mas.” Yani terisak. “Kalau Mas Pram ingin jaminan masa depan, Mas Pram ‘kan bisa sekolah kedokteran. Saya yakin mas Pram bisa” ucap Yani.
Saat mata sayu Yani makin sayu oleh butiran air mata tak ada sepatah katapun yang dapat kuucapkan. Aku tersungkur di depan tangis kekasihku sendiri. Entah mengapa aku merasa berdosa besar jika harus membuat gadis yang telah mewarnai hidupku dengan senyum, menangis. Namun kebisuan itu juga tak mampu memberikan jawaban apapun atas kegamangan yang makin berkuasa dalam dadaku. Kebisuanku tak membuatku surut langkah mengejar cita-cita sebagai seorang polisi.
Kuayunkan kaki beberapa langkah mendekatinya. Kuperhatikan wajah Yani, kekasihku, dengan seksama. Termasuk gurat di kedua bibirnya, yang jujur, justru tampak makin indah saat dia nangis. Kusandarkan kepala gadis itu di dadaku. Hingga butiran demi butiran air mata mulai menetes membasahi sweeter biruku.
Sedu sedannya terasa kian berat. Tangisnya tak terbendung lagi. Dan, untuk kesekian kalinya aku dihantui perasaan bersalah. Karena sungguh, kehadiranku bukan untuk membuatnya menangis. Bukan.
Di akhir pertemuan aku mulai berani bicara. Kuletakan sebuah kecupan mesra sebelum aku mulai bicara.
“Kita tidak akan terpisah Yani. Kita akan tetap bersama.”
Seperti angin lalu, beberapa saat aku tak mendapat jawaban apapun. Kedua bibir Yani tetap menyatu, enggan berucap. Hanya kedua bola matanya yang bicara, kembali meneteskan air mata.
“Kamu tahu Yan, ada pepatah lama yang kerap di ucapkan orang Spanyol. air mata adalah warna kehidupan, air mata juga pertanda ketakutan.”
Mendengar beberapa untai kalimat yang kuadaptasi dari sebuah novel asing itu, derai air mata Aryani terhenti. Dengan pandangan yang masih sayu ia manatapku begitu lama. Pandangan kami berbentur dalam rasa haru bercampur gamang.
“Tersenyumlah untukku Yan, kamu tahu ‘kan, itu satunya-satunya hal yang bisa membuatku melupakan beban hidup.” pintaku. Namun bibir Yani tak jua tergerai. Senyum indah yang biasa kulihat tiap pagi, saat kami berjumpa sebelum memulai belajar, tal Yani tunjukkan. Ia bungkam.
“Apa bagi Mas Pram, menjadi polisi satu-satunya pilihan?” tanya Yani. Nada hambar tak beraturan. Aku tertegun sejenak sebelum menjawab. Kusiapkan sejuta kata agar aku bisa utarakan maksud tanpa membuatnya kembali bersedih.
“Heh…” aku melepas napas panjang, ”hidup membawaku pada situasi ini. Bahkan kadang kita tidak memiliki pilihan untuk memilih. Percayalah Yan, tidak akan terjadi apapun dengan hubungan kita.”
Namun sesantun apapun aku coba susun kalimat, aku tak mampu menahan kesedihan Yani. Air matanya kembali berlinang. Terdengar sedu sedan meski coba ia tahan.
“Kamu tahu Mas,” kata Yani menyela tangisnya, “aku yatim sejak aku masih 7 tahun. Ibu yang membesarkan aku sendirian.” Berjenti sejenK. “Apa Mas Pram tahu siapa orang yang menjadikan aku dan adikku yatim? Juga menjadikan ibuku janda yang harus sendirian membesarkan anak-anaknya?”
Aku terdiam. Aku menggeleng. Setidaknya itulah yang masih dapat aku lakukan untuk menunjukkan simpatiku.
“Siang itu, aku sempat melihat dua perwira datang ke rumahku. Mereka meminta sejumlah uang untuk melicinkan kasus yang sedang membelit ayah. Tapi seperakpun tak ayah kasih. Kamu tahu ayah kan? Kedua polisi itu mengancam ayah. Mereka akan membuat BAP palsu agar kasus perdata ayah kian runyam. Ternyata mereka tak main-main. Ayah dinyatakan salah. Upaya banding yang coba ayah lakukan sia-sia, hingga akhirnya ayah memilih untuk mengakhiri kasusnya dengan caranya sendiri.”
Sekali lagi, air mata menjadi satu-satunya bahasa dalam perbincangan kami.
“Mas Pram tahu, sampai sekarang aku masih takut. Aku takut kelak Mas Pram akan menjadi bagian dari mereka. Aku tak mau orang yang aku cintai menjadi bagian dari sesuatu yang paling aku benci.”
Yani melihatku layaknya sesorang yang sedang bermohon. Sungguh, tak pernah kulihat tatapan seperti itu. Sekali lagi kuletakan sebuah kecupan di keningnya.
“Percayalah Yan, seragam tak akan membuatku berubah. Seragam itu yang akan mengikutiku, bukan aku!. Tetaplah bersamaku Yan.”
“Tidak Mas. Aku tak akan lupa pada pria-pria yang telah membuat keluargaku berantakan. Aku tak akan bisa mencintai orang-orang seperti mereka.”
“Kau hanya harus mencintai aku, bukan mereka.”
Aryani lari melepas pelukanku. Tangisnya menderu, mengawali langkahnya yang tak berirama. Sungguh tak pernah kusangka, perjumpaan kami sore itu menjadi perjumpaan yang terakhir. Selebihnya, kami hanya bisa berbincang dalam bahasa batin yang sulit diterjemahkan. Yani pergi meninggalkanku bersama cita-cita dan idealisme. Sedang ia pergi tanpa pamit menuju salah satu kota tempat ia akan menyelesaikan pendidikan dokternya.
Kini, setelah lima tahun setelah derai air mata terakhirnya kulihat, kami kembali bertemu. Kami begitu dekat. Bahkan hembusan nafasnya terasa menerpa kulit wajahku. Sayang, di perjumpaan yang seharusnya penuh nostalgia ini aku hanya mampu terbaring. Tak dapat ku rengkuh tubuhnya, tak bisa kucium kulit keningnya, seperti dulu.
“Kamu Aryani ‘kan?” tanyaku pada wanita muda berseragam putih itu. Ia mengangguk, hampir bersamaan dengan air mata yang menggelinding melewati lekuk wajahnya.
“Kau lihat sekarang Yan? Aku tak akan berubah. Aku akan tetap menjadi Pram seperti dulu kan?”
“Ya Mas, maafkan aku. Dulu aku begitu egois. Sungguh aku menyesal karena…,” belum sempat Yani menyelesaikan kalimatnya, kami dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita muda. Ia datang membawa isak tangis dan seorang anak laki-laki.
“Mas Pram baik-baik saja ‘kan?” tanya wanita yang baru datang itu. Aku mengangguk.
“Ayah cepat sembuh ya, biar kita bisa main sama-sama lagi.” timpal anak laki-laki itu. Usianya genap empat tahun.
Menyenangkan sekali mendengar suara bocah itu. Selalu mengagumkan bagi seorang ayah sepertiku, tapi mungkin tidak bagi Yani. Dokter Aryani Alianti Zahra.
Banjarnegara, 24 September 2006
No comments:
Post a Comment