Alamaida terkejut saat gerobaknya hampir terserempet truk.
“Mau mati lu!” umpat sopir, kesal.
Siang itu matahari bersinar lebih terang. Kepala Eda, sapaan akrab Alamaida, berkunang-kunang. Padahal sebelumnya, ia biasa mendorong gerobak menjajakan empek-empek di jalanan kota Semarang.
Eda hanya pemuda biasa. Tampak kumuh karena kausnya tak pernah disetrika. Rambutnya dicukur rata, menunjukkan bentuk kepalanya yang lonjong. Tubuhnya tak terlalu tinggi, dua puluh senti lebih rendah dari gerobak yang didorongnya. Ketika dia tertawa giginya yang tak beraturan akan terlihat.
“Astaghfirullah.” Eda tersentak. Cepat-cepat ia menepi. Meneduhkan kepala dan gerobaknya di bawah pohon.
Setelah hampir sepuluh tahun berdagang empek-empek, Eda tak berniat membuka warung. Dulu ia pernah ditawari mengelola kantin di sebuah SMA, tapi ia menolak. Alasannya ia tak mampu membayar sewa kios meski pengelola memberinya potongan harga.
Dua bulan terakhir ia memilih berjualan di sebuah sekolah kejuruan. Ia lebih suka melayani pelanggan laki-laki. Tapi karena siswa sekolah itu sedang praktik kerja lapangan Eda memilih berjualan keliling.
Sebuah bus berhenti persis di depan Eda duduk. Beberapa penumpang turun. Dilihat dari barang bawaannya, mereka seperti perantau yang berencana pulang kampung. Seorang pria memanggul dus seukuran televisi 14 inchi. Dua wanita di belakangnya menjinjing tas ransel. Entah apa isinya.
Eda masih mengatur nafas saat ketiga penumpang bus itu mendekat. “Mas, bikinin tiga porsi ya,” salah seorang wanita mendekat.
Eda terengah-engah. Entah kenapa, jantungnya berdegup kencang.
“Maaf Bu, saya tidak jualan sekarang,” jawab Eda, lirih.
“Lho, kenapa? Terus kenapa Mas bawa gerobak di sini?”
“Maksud saya, empek-empeknya sudah habis.”
“Mas jangan bohong ya, itu masih banyak,” wanita itu menunjuk gerobak. Di balik kaca memang masih ada setumpuk empek-empek.
“Ini sudah dipesan orang.”
“Akh, Mas jangan mengada-ada deh.”
Perdebatan Eda dengan wanita itu manarik perhatian. Laki-laki yang menenteng dus mendekat. Wajahnya memerah, entah marah atau atau terlalu lelah setelah perjalanan jauh.
“Ada apa Bu?”
“Nggak tahu Pak, ini penjual empek-empek aneh. Aku mau beli tapi nggak boleh. Katanya si sudah dipesen orang.”
Laki-laki itu merapatkan jarak dengan Eda beberapa langkah.
“Heh, kalau empek-empek situ nggak mau dijual nggak usah mangkal di sini dong.”
Eda gugup. Ia bingung.
“Maksud saya begini Pak. Empek-empek ini kurang baik untuk wanita hamil.”
“Siapa bilang saya hamil? Mas jangan menghina saya karena saya gendut ya,” wanita itu tampak berang.
“Hei Mas, jangan sembrono sampean. Mas bilang istri saya gendut?”
“Bukan begitu Pak, empek-empek ini memang tidak baik dimakan wanita. Benar Pak!”
Pasangan suami istri ini makin marah. Mereka benar-benar tidak mengerti ada empek-empek yang tidak bisa dimakan wanita.
“Mas pikir saya tidak bisa bayar? Berapa si harga empek-empek yang Mas jual?”
“Duh, maaf Bu. Saya memang tidak jualan empek-empek pada wanita. Kalau Bapak yang beli pasti saya layani.”
“Sampen sinting!” umpat keduanya meninggalkan Eda. Wajah mereka tampak kesal, bahkan saat mereka menghentikan sebuah bus untuk melanjutkan perjalanan.
Deru mesin bus terdengar keras. Eda duduk di samping gerobaknya. Memandang bias lalu lalang kendaraan. Mengelus bekas luka di pelipis kanannya.
Persis tujuh bulan lalu Eda berdagang di sebuah kampus. Ia pikir kampus akan memberinya untung besar. “Uang saku mahasiswa pasti banyak,” pikirnya.
Benar dugaan Eda. Hari pertama ia meraup banyak untung. Ia berjualan di gerbang stadion tempat mahasiswa bermain sepak bola. Setelah bermain sepak bola mereka tampak kelaparan. Hanya beberapa menit empek-empek yang Eda jual habis.
Esoknya pertandingan sepak bola tak digelar lagi. Stadion tampak sepi saat Eda datang pagi-pagi sekali. Terpaksa ia mangkal di dekat perpustakaan.
Dua orang mahasiswa, tampaknya sepasang kekasih, mendekat.
“Pak, aku pesan dua mangkuk, “ ucap mahasiswa itu menunjukkan dua jari tangannya.
“Mas mau makan dobel?”
“Enggak. Yang satu buat cewekku.”
“Kalau begitu saya buatkan satu saja ya. Cewek itu biar makan di tempat lain.”
“Maksud Bapak gimana?”
“Empek-empek saya tidak cocok dimakan cewek.”
“Empek-empek saya tidak cocok dimakan cewek.”
“Akh, jangan bercanda lah.”
“Benar Mas. Lebih baik saya buatkan satu mangkuk saja.”
Eda mulai cemas. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu bagaimana menjelasknnya.
“Eh, Bapak jangan bohongi saya ya.” Mahasiswa itu tampak berang. Matanya memerah.
Tak disangka mahasiswa itu mendekati Eda, menarik kerah kausnya, lalu melayangkan tinju. Pelipis kanan Alamaida berdarah.
Sebelum berjualan empek-empek Eda pernah mencoba berbagai pekerjaan. Menjadi kuli bangunan, dagang dawet ayu Banjarnegara, pelayan toko, sampai menggembala kambing. Ia pekerja keras, sebenarnya. Tapi ia ceroboh, kurang pintar menyimpan uang. Sejak mulai bekerja sepuluh tahun silam, tak ada barang bagus apapun yang ia miliki. Asetnya hanya gerobak, itu saja.
Sebelum bekerja di Semarang Eda tinggal di kampunya, Gultikar, 200 kilometer arah barat Semarang. Di sana ia tinggal bersama neneknya. Rumahnya sederhana, berdinding kayu tanpa cat.
Malam bertandang di kampung Gultikar. Suara cengcoret mulai berlalu. Eda duduk di pertigaan dekat rumahnya. Ketika Adzan Maghrib berkumandang Eda tetap duduk di sana. Tak sekalipun ia berinisiatif mrengambil wudlu atau sorban seperti teman-temannya. Ia duduk meluruskan kakinya di sebuah kursi bambu hingga jamaah di masjid selesai berdzikir.
Ba’da Maghrib kerumunan mulai ramai. Eda meniup bara api agar menyala lebih besar. Zarkasi, teman sekampung Eda, datang. Ia masih mengenakan sarung dan hem krem. Sajadahnya ia selempangkan di leher.
“Bagaimana Eda, mana empek-empekmu?” tanya Zarkasi.
“Iya. Kemarin aku coba. Lezaat,” timpal kawan Eda lainnya.
“Kapan-kapan kita harus coba empek-empekmu lagi Da.”
Di kampunya Eda memang dikenal pintar memasak. Dari mana dia belajar tak ada seorangpun tahu. Berbagai jenis masakan yang pernah Alamaida coba bisa ia buat. Tak hanya empek-empek, bakso, mi ayam, capcay, kwi tiaw, bahkan bakmi jowo bisa ia buat.
Ibunya masih hidup ketika pertama kali Eda berniat menjadi pedagang empek-empek. Usianya masih lima belas tahun. Sehari setelah memesan gerobak ia berencana jualan keliling kampung.
Eda terlihat semangat. Wajahnya berbinar ketika ia mulai memindahkan empek-empek ke gerobak.
“Nak, sebelum berangkat boleh ibu mencicipi empel-empekmu?” pinta ibu.
“Nanti saja Bu, kalau empek-empeknya sisa,” jawab Eda tak menghentikan kesibukannya.
“Tapi ibu pingin coba sekarang, boleh?”
“Ibu bagaimana sih, empek-empek ini kan mau dijual.”
“Ayolah, ibu ngiler lihat empek-empekmu. Tadi pagi ibu juga belum sempat sarapan.”
Saat Eda sibuk diam-diam ibu mengambil empek-empek yang siap Eda jual. Ibu menyantapnya lahap. Ia bahkan menghabiskan dua mangkuk pagi itu.
Alamaida terkejut mendapati dua mangkuk empek-empeknya raib.
“Ibu makan empek-empek yang mau aku jual?” Eda tampak tak suka.
“Ibu cuma mencicipi.”
“Tapi ibu habis dua mangkuk.”
“Tidak apa-apa kan? Empek-empekmu benar-benar lezat.”
“Apa ibu tidak tahu empek-empek ini mau aku jual?” wajah Eda memerah.
“Iya, ibu tahu.”
“Sekarang ibu harus bayar!”
“Nak, jangan keterlaluan kamu. Aku ini ibumu.” Ibu tak kalah berang.
“Tapi ini barang dagangan.”
Pagi beranjak siang. Matahari mulai menyilaukan. Ibu memberi uang sepuluh ribu sebelum Eda pergi. Siangnya,beberapa jam setelah Eda beragkat, ibu sakit sesak napas. Saat makan empek-empek tadi pagi ia tersedak. Napasnya sesak, seperti ada sebongkah batu menindihi dadanya.
Ketika temaram sore turun menjelang Eda baru pulang. Ia tampak girang mengantongi sejumlah uang. Namun perasaan itu sontak hilang ketika mendapati ibunya terkapar. Nenek mengembis memangku tubuh ibu Eda.
“Ibumu, ibumu sudah tidak ada,” ucap nenek terbata-bata.
“Inalilahi. Astaghfirullahal’adzim.” Alamaida berjingkat memeluk jenazah ibunya.
Semarang, 7 Desember 2008
No comments:
Post a Comment