Wednesday, 28 March 2012

Borok

Jenuh menghampiri Ali. Sudah dua jam ia duduk di sebuah kursi plastik. Jika terlihat, pantatnya tentu sudah rata. Jika tidak, kulitnya seperti anyaman, persis dengan motif kursi tempatnya duduk. Lelaki berperawakan pendek ini tak tahu harus berbuat apa. Hampir satu bab buku The General and His Labyrint karya Emanuel Garcia Marquez ia baca. Bahkan beberapa sobekan koran bekas yang terbit beberapa bulan lalu. Jenuh tetap tak mau hengkang.
Salah satu pintu kantor kecamatan terbuka. Gerit engselnya nyaring. Seorang petugas keluar membawa sepotong roti sambil melahapnya, sedang tangan kirinya menggenggam lembaran kertas.
“Bapak sabar saja, sebantar lagi KTPnya jadi” ucap salah seorang pegawai kecamatan. Mungkin jika untuk kedua kalinya Ali bertanya dengan pertanyaan serupa, mereka akan menjawab dengan jawaban yang sama. Tentu saja itu bukan sebuah kesalahan, memang hal itu yang harus mereka lakukan.
Bersama puluhan orang yang sama nasibnya, yang duduk berjejer di atas kursi plastik, Ali masih menunggu. Wajah mereka kaku, tanpa senyum seperti wajah dari pahatan batu.
Seorang wanita paruh baya yang duduk persis di samping Ali berulang kali berdiri lantas duduk kembali. Ia tampak kesakitan saat coba meregangkan badannya. Mungkin rematiknya kumat, atau sendi-sendi tuanya mulai kaku, tak tahan jika duduk terlalu lama. Menatap perawakan dan pakaiannya, Ali berpikir bahwa wanita itu bukan orang terpelajar. Logat bicara dan caranya merias diri pun terkesan ndesani. Artinya ia berasal dari kalangan yang tak jauh berbeda dengannya. Kesimpulan itu juga yang dapat Ali ambil saat aroma parfum murahan semerbak.
Wanita melirik Ali saat untuk kesekian kalinya ia bangkit meregangkan otot. Mungkin heran melihat Ali tetap bertahan setelah hampir dua jam duduk. Saat tatapan mata keduanya  bertabrakan wanita itu tersenyum. Sempat terlihat gigi depannya yang tongos, hitam oleh kinang.
“Bapak ndak capai?” tanyanya sembari membetulkan roknya yang keriting.
“Nggak, saya biasa duduk lama” jawab Ali, ringkas.
“Bapak mau bikin KTP?”
“Iya, sudah lama sekali tapi belum jadi juga. Ibu juga?”
“Tidak. Saya mau buat kutipan akta kelahiran untuk anak saya. Sebentar lagi menikah tapi belum punya akta”
Ali kagum melihat wanita itu. Ia masih bertahan, walau terlihat begitu lelah. Mungkin ia merasa pengorbanannya adalah bagian yang harus dilakoninya demi kebahagiaan anaknya.
Entah sudah berapa kali wanita itu berdiri untuk beberapa saat lantas duduk kembali. Rok kuning pucat yang Ali yakin tak pernah terjamah setrika itu makin keriting. Aroma minyak wanginya berbaur dengan keringat. Jelas, bukan perpaduan yang nyaman bagi hidung sehat Ali.
“Kapan anak ibu menikah?”
“Sebenarnya sudah sejak enam bulan yang lalu, tapi gagal”
“Kenapa?” entah darimana sumbernya, tiba-tiba saja Ali merasa iba.
“Dulu, niatnya memang begitu, tapi ada kendala, jadi ya…”
Ibu itu tersenyum malu. Tergambar keraguan yang membekap mulut dan bibir keringnya.
“Memang kenapa Bu?”
“Dulu kami sudah mempersiapkan segalanya. Tapi saat ijab kabul tiba penghulu yang seharusnya menikahkan anak kami justru tak datang”
Ali mengerenyutkan kulit kening. Sempat terlintas keadaan parau yang mungkin dialami teman berbincangnya.
“Saat tamu undangan dan pihak keluarga mulai uring-uringan karena telah menunggu terlalu lama, seorang petugas desa yang kami percaya untuk mengundang penghulu datang menghampiri kami. Wajahnya pucat dan tegang. Ia katakan bahwa sebenarnya ia tidak pernah mengundang penghulu. Katanya, uang yang seharusnya untuk membiayai pendaftaran pernikahan di kantor urusan agama terlanjur ia gunakan untuk menutupi hutangnya, dan..”
Ali bungkam. Sorot matanya saja yang masih tajam memandangi lawan bicaranya.
“Karena kami sudah terlanjur malu, hari itu juga kami menikahkan anak kami secara siri, sebuah pernikahan yang sebenarnya  tak begitu saya kehendaki.”
Sungguh, dari kalimat yang baru di dengarnya Ali iba, walau sedikit. hampir saja senyum kecil mencuat dari himpitan kedua bibirnya. Artinya, ia bukan satu-satunya orang yang terlunta-lunta oleh ketidakbecusan birokrat. Bahkan mungkin, ibu itu hanya salah satu diantara jutaan orang yang merasa tertipu.
Hampir satu dasa warsa yang lalu, saat dagunya masih halus tanpa sehelai rambutpun, Ali merasakan hal yang sama. Merasa tak berdaya melawan kendali kekuasaan yang dikendalikan dari atas. Dari atas, dari samping atau dari bawah sekalipun itu tak ada bedanya, toh para birokrat tetap saja merasa dirinya berada lebih tinggi dari rakyat yang dipimpinnya.
Sebagai seorang siswa sekolah kejuruan Ali merasa yakin nasibnya akan jauh lebih baik dari teman-teman sepermainannya yang hanya menyelesaikan sekolah dasar. Kecerdasan dan keterampilan Ali memang tak dapat dibandingkan dengan anak-anak kampung yang menghabiskan hari-harinya di kebun atau hutan puspa dekat desa. Karena itulah ia merasa lebih nyaman dan lebih siap menghadapi masa depan. Toh, apapun keadaannya nanti ia masih memiliki keterampilan yang rasanya tak akan pernah hilang hingga ia pikun sekalipun.
Namun beberapa hari setelah remaja ini menanggalkan seragam putih abu-abu yang biasa dikenakannya empat kali seminggu ini, masa depan yang dirasanya telah begitu dekat justru kian menjauh. Itu sebuah kenyataan yang memaksa Ali untuk sadar bahwa sekat yang membatasi impian dan kenyataan itu begitu tebal. Begitu tebal hingga nyaris tak tertembus oleh kerja keras dan kegigihan sekalipun. Dan sekat itu terasa kian tebal saat langkah Ali tersandung sesuatu yang belum pernah terpikirkan sebelumnya; birokrasi.
Cakrawala berhias gumpalan awan pagi itu. Angin pun mulai mendayu-dayu memainkan nada-nadanya hingga terasa begitu dinamis saat indra perasa membacanya. Selaras dengan keramahan alam yang coba mempersembahkan yang terbaik bagi manusia, untuk kesekian kalinya Ali pun berusaha memberi yang terbaik bagi masa depannya. Langkahnya memang telah lelah, namun takkan pernah gontai walau badai mengguncangnya. Kebulatan tekad dan motivasi yang kuat telah menyulap Ali dengan segala kenaifannya menjadi ramaja yang kuat. Bukan kuat lari sekencang rusa jawa, tapi kuat untuk bangkit setelah berkali-kali jatuh.
Ali tertengadah, mengharap bahwa hal yang akan dilakukannya hari ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju cita-cita. Tidak muluk-muluk, ia hanya ingin hidup sebagaimana umumnya orang ingin hidup. Dan untuk hal itulah pagi itu ia datang ke sebuah kantor polisi. Lembaran birokratik pertama yang harus dibukannya adalah SKCK (surat keterangan catatan kepolisian). SKCK yang ternyata hanya berupa lembaran-lembaran bertulis tinta ketik manual adalah syarat mutlak bagi seorang calon pekerja seperti Ali. “Ini adalah sebuah keharusan,” kata salah seorang petugas piket di kantor polisi.
“Saudara mau buat SKCK?”
“Iya Pak.”
“Syarat-syaratnya mana?”
“Syarat-syarat apa?”
“KTP. Saudara harus punya KTP dulu”
Ali tersadar, benar-benar tersadar bahwa dirinya buta alur birokrasi hingga ia tak tahu hal yang semestinya harus ia ketahui. Ia juga sadar, alur birokrasi memang jauh lebih rumit dan sulit dipahami daripada sistem pembakaran pada mesin berbahan bakar solar yang telah tiga tahun dipelajarinya. Ali bisa mengerti mengapa tekanan udara yang dihasilkan piston tidak dapat menghasilkan pembakaran jika aliran udaranya tersumbat, karena itu adalah sebuah mekanisme. “Ini juga sebuah mekanisme yang tidak bisa ditawar, apalagi dibolak-balik”  timpal seorang polisi.
Satu kalimat pendek yang terus berdengung dalam telinga Ali siang itu, “Ini adalah sebuah mekanisme” Maka untuk sebuah mekanisme itulah Ali berencana membuat KTP di kantor kecamatan. Namun hari mulai siang. Awan mulai bergerak mengikuti arah angin hingga mega kining yang menandai senja segera terlihat. Baru keesokan harinya Ali bertandang di kantor kecamatan.
“Saudara mau buat KTP?” tanya resepsionis kantor yang siang itu mengenakan seragam coklat pekat dengan berbagai atribut yang menempel di lengan bajunya.
“Iya Pak.”
“Syarat-syaratnya mana?”
“Syarat-syarat apa?”
“Kartu keluarga. Kalau mau buat KTP harus punya kartu keluarga dulu”
Ali tercengang menatap lapisan tebal sebuah buku agenda yang tergeletak di meja resepsionis, sama seperti saat ia tercengang menjalani mekanisme birokrasi yang berlapis.
“Silakkan Saudara mengurus kartu keluarga dulu di kantor kepala desa” ucap resepsionis itu seraya menunjuk pintu dengan telapak tangannya.
“Nggak apa-apalah” ucap Ali memelas, “itung-itung pengalaman” Awalnya, siang itu juga Ali akan ke kantor kades untuk mengurusi pembuatan kartu keluarga. Tapi sayang, dengan mengayuh sepeda ontel ia tak dapat bersaing dengan waktu hingga kantor kades telah sepi walau kumandang adzan Dzuhur belum ia dengar. Semangatnya yang tengah menggebu seperti surut saat ia sadar bahwa ia harus datang lagi ke kantor kades awal pekan nanti karena kantor ini hanya buka dua kali seminggu.
Masih dengan sepeda Phoenix nya Ali datang lebih pagi ke kantor kepala desa. Ia mengira jam tujuh lebih seperempat akan ada petugas balai desa yang sedang apel atau upacara bendera seperti yang senantiasa dilakoninya tiap awal pekan saat ia sekolah. “Sambil menunggu nanti aku akan melihat upacara para pegawai balai desa” tutur Ali dalam hati.
Namun nyatanya, saat pemuda ini menyandarkan sepeda ontelnya di bawah pohon akasia di depan kantor kades tak seorangpun yang dapat ia lihat. Daun kering yang berserakan menghiasi halaman kantor adalah hal yang lazim setelah beberapa hari kantor ini tak terjamah. Baru saat kehangatan mentari berubah terik Ali melihat seorang petugas kantor balai desa datang.
“Saudara mau buat kartu keluarga?”
“Iya Pak.”
“Syarat-syaratnya mana?”
“Syarat-syarat apa?”
“Buku nikah kedua orang tua sudara, mestinya..”
Belum selesai petugas kantor kades itu berujar Ali lebih dulu pamitan untuk segera mengambil buku nikah kedua orang tuanya.
“Bagimana Li, Sudah beres?” tanya ibu Ali yang tak cukup paham dengan alur birokrasi yang sedang menyandung anaknya.
“Saya butuh surat nikah bapak sama ibu untuk persyaratan.”
“Buku nikah?”
“Iya Bu, mana buku nikah ibu sama bapak?”
“Ibu tidak punya buku nikah Li.”
“Lho, kok bisa?”
“Ibu sama bapak memang tidak pernah punya buku nikah. Maaf karena ibu tak pernah cerita tentang pernikahan ibu yang kami lakukan secara siri”
Hampir saja Ali merasa mati kutu saat kalimat itu terlontar dari bibir kering ibunya. Tak ada hal yang masih dapat ia lakukan kecuali bersiap untuk menatap cita-cita menggelinding menjauhinya.
Namun beberapa hari kemudian, setelah Ali mendapat saran salah seorang tokoh masyarakat, ia berinisiatif untuk mendaftarkan pernikahan kedua orang tuanya ke kantor catatan sipil. Proses itupun bukan sesuatu yang mudah. Tetap saja uang, waktu, pikiran dan tenaga yang harus Ali korbankan tidak sedikit. Bahkan tak sebanding dengan nominal lembaran-lembaran kuning itu.  Dan saat seluruh prosesi itu telah dilakukan, buku nikah yang sebenarnya begitu Ali butuhkan belum jua jadi.
“Pernikahan orang tua saudara yang saudara daftarkan di kantor catatn sipil ini bukan pernikahan biasa, kedua orang tua saudara telah menikah siri begitu lama dan baru sekarang meresmikannya, karena itulah proses administrasinya berjalan lambat dan sulit. Terus terang, kami saja yang mengurusinya harus bekerja keras agar surat nikah kedua orang tua saudara segera jadi. Dan sudara pasti tahu, kami perlu biaya lebih” ucap seorang petugas kantor catatan sipil saat Ali datang. Ironisnya, kalimat semacam itu sudah beberapa kali Ali dengar, bahkan beberapa bulan setelah ia mendaftarkan pernikahan kedua orang tuanya.
Sebagai warga yang nyaris tak dapat membaca perkembangan tren birokrat, Ali sama sekali tak paham dengan kalimat “dan sudara pasti tahu, kami perlu biaya lebih” yang baru saja di dengarnya. Kalaupun kalimat itu diganti dengan bahasa yang lebih lugas, “saudara harus memberi kami tambahan uang agar kepentingan saudara segera terselesaikan” misalnya, belum tentu Ali akan turut, karena ia sudah terlalu lelah dengan hal-hal seperti itu.
Waktu terus berjalan seperti yang dikehendaki alam. Ali yang dinamis dengan bara semangatnya telah berubah menjadi sosok yang acuh. Hampir dua tahun senyumnya terpancar saat datang ke kantor catatan sipil untuk mendaftarkan pernikahan kedua orang tuanya, namun hingga kini buku itu belum pernah Ali pegang. Belakangan ada seorang petugas desa datang dan menyampaikannya pada Ali. Ironisnya, buku itu telah kusam dan tertanggal hanya beberapa hari setelah ia mendaftarkan kedua orang tuanya.
Sisa-sisa semangat yang nyaris padam sama sekali itupun kembali berkobar. Ali kembali bergegas menempuh undakan-demi undakan birokrasi yang beberapa orang menyebutnya sebagai “sebuah mekanisme.”
Bergelut dengan pita kenangan membuat Ali termenung. Tubuhnya masih tampak tenang duduk di atas sebuah kursi plastik. Sedangkan ibu paruh baya yang sejak tadi memperhatikan wajah Ali kembali berdiri untuk meregangkan sebagian ototnya yang kaku. Sontak hal itu membuat Ali tersadar dari lamunan.
“Bapak melamun?”
“Ah tidak, saya hanya sedang mengingat-ingat sesuatu. Akta kelahirannya belum jadi juga Bu?”
Ibu itu menggeleng sambil membasahi gigi tongosnya yang kering dengan ludah.
Seorang wanita berperawakan langsing keluar dari ruang kerjanya. Tentu saja langkah wanita muda itu menjadi perhatian Ali, juga orang-orang yang mulai lelah menunggu lainnya. Ali bangkit menghampiri wanita muda itu.
“Bagaimana Bu, KTP saya sudah jadi?”
“Belum Pak, sebentar lagi pasti jadi.”
“Tapi Bu..” belum selesai Ali menyelesaikan pertanyaannya, suara adzan Dzuhur dari masjid dekat kantor kecamatan berkumandang.
“Permisi Pak, kami harus sholat Dzuhur dulu. Untuk sementara kantor diistirahatkan dan akan buka lagi pukul satu nanti.”
Hampir semua pegawai kantor kecamatan keluar. Sebagain pegawai menenteng mukena putih sedangkan para pria segera bergegas dengan peci hitamnya. Sempat Ali perhatikan langkah bringas orang-orang yang jelas lebih beruntung darinya. Sebagian berbelok menuju tempat wudlu sedangkan sebagian berbelok menuju warung kopi dekat kantor. Mereka menghabiskan waktu istirahatnya untuk makan, merokok atau sekedar berbincang dan baru bergegas mengambil air wudlu setelah jam istirahat habis. Saat atasan mereka menegor “Darimana saja kalian?” mereka akan menjawab sambil tersenyum “Kami baru sholat Dzuhur Pak.”

*********

Sudah hampir satu windu cita-cita Ali untuk bekerja di sebuah perusahaan otomotif tertunda. Kini saat segala syarat administrasinya telah tergenggam Ali coba bangkit dari keterpurukan nasib. Untuk pertama kalinya, setelah ia merampungkan belajar di sebauh sekolah kejuruan Ali melamar pekerjaan. Seorang wanita, staf personalia tempat Ali melamar kerja duduk persis di depan Ali. Tatapannya tajam dari balik kacamata minusnya. Tak ada yang dapat Ali lakukan saat berhadapan dengan sosok eksekutif itu selain tersenyum ragu sekedar pemanis suasana. Saat-saat yang dinantikannya selama hampir satu windu, kini benar-benar terjadi. Ia sedang di interview.
“Siapa nama Saudara?”
“Ali.”
“Ali saja?” tanya wanita itu seraya membuka dokumen berisi CV.
“Ali Mansyur.”
“Pendidikan terakhir?”
“Sekolah menengah kejuruan, Bu.”
“Jurusan?”
“Otomotif.”
“Berapa usia Saudara?” lanjut wanita dengan stelan blazer coklat itu.
“Bulan depan genap dua puluh tujuh tahun Bu.”
Seketika wajah sangar yang biasa ditunjukkan staf personalia pada para calon pelamar lumer dari wajah wanita itu.
“Maaf Pak, saat ini perusahaan kami sedang mencari angkatan muda. Salah satu syaratnya pelamar berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Jadi mohon maaf Saudara Ali, kami tidak bisa menerima Saudara.”

Banjarnegara, 16 November 2006

No comments:

Post a Comment