Malam sunyia. Nyenyak tidur bukan pulas mimpi bersama Roro Mendhut atau Nawang Wulan, tapi hanya menjadi obat tulang remuk setelah seharian penuh mencangkul di sawah.
Seharian penuh Sarimin menancapkan cangkulnya untuk kemudian mengangkatnya kembali agar tanah di sawahnya gembur dan dapat kembali ditanami. Tak terhitung lagi sudah berapa kali tangan kasar Sarimin mengayun logam tajam berdoran ini. Sejengkal demi sejengkal tanah yang merah mulai terlihat kecoklatan
Menjelang fajar, sayup mata Sarimin mulai terbuka. Kokok ayam jantan memaksanya mengakhiri pergumulannya dengan sarung usang yang telah dua minggu tak ia cuci. Dari balik kamarnya yang hanya tertutup papan, terdengar jeritan ranjang bambu mengawali gerak gontainya.
“Mak, mana sandal japitku?” lantang benar pria bertubuh pendek ini berteriak, setelah tahu sandal japitnya tak terlihat di bawah ranjang, tempat tadi malam ia letakkan. Teriakkan itu membuat wanita beruban yang tengah sibuk di depan tungku terganggu konsentrasinya.
“Emak yang mindah tadi malam”
“Kenapa harus di pindah Mak”
“Emak khawatir japitmu akan putus dikerat tikus lagi”
“Oh…” gumam Rimin.
Perbincangan fajar itu mengawali aktivitas panjang yang bakal dilakoni Sarimin. Langkah gontainya kini mulai tegak, tertuju pada pintu geser yang terbuat dari anyaman bambu.
“Ah…” Desah Sarimin saat membuka pintu.
Udara pagi yang masih bercampur angin malam mengalun membelai wajah remaja yatim ini. Dari balik pintu anyaman itu terlihatlah bintang merah di ufuk timur.
“Kenapa bintang itu masih disini, toh yang lain telah pergi bersama kepergian malam” gumamnya dalam hati, menyerupai protes hati terhadap hidup yang sedang ia jalani.
Tak banyak orang yang mau bergaul dengan anak janda kere sepertinya. Ayah yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga telah tewas saat kecelakaan di proyek pembangunan waduk beberapa tahun lalu. Kepergian ayah membuat Sarimin harus mengambil tugas sebagai seorang pencari nafkah. Nostalgia bersama masa lalu suramnya tak berlangsung lama. Mentari yang berlahan menguning lewat ronanya mengingatkan remaja ini pada cangkul yang kini teronggok di pojok ruangan. Artinya, ia harus bergegas mengawali pekerjaannya sebagai pembajak sawah.
Seusai membasuh muka dengan air hujan yang ia tampung dengan bambu di atap rumahnya, Sarimin tertuju pada meja hitam di depan tungku. Pasti ada menu pagi yang telah menanti. Tanpa ragu, dibukalah saji yang menutupi hidangan. Ehm… ada pelas, urap blenguk dan sambel gosrek.
“Mak, rumah besar yang ada di dekat sawah kita itu milik siapa sich?” tanya Sarimin tanpa menghentikan gerak tangannya mengambil lauk.
“Rumah besar yang mana Min?”
“Itu lho yang di depannya ada patung besar”
“Oh kalau itu rumah milik juragan Petrus”
”Apa? Petruk Mak?”
”Apa? Petruk Mak?”
“Petrus !, kupingmu itu lho”
Sentak ibu Sarimin membuat perbincangan itu semakin berritme. Sentakan itu pula yang membuat Sarimin mengurungkan niatnya menanyakan gadis yang selalu dilihatnya berdiri di balkon setiap kali Sarimin berangkat dan pulang dari sawah. Bukan satu dua kali ia melihatnya, tapi dua kali sehari. Karena itu Sarimin pengin tahu lebih banyak tentang gadis penghuni rumah besar itu.
Mentari mulai menyingsing lewat sinarnya yang menyeringai di atas bukit. Kehangatan yang membelai kulit bukan untuk dinikmati, tapi teguran dari alam agar Sarimin segera memulai aktivitasnya. Bersama harapan yang terus menumpuk dalam benak pemuda lusuh ini segera memanggul cangkulnya. Dorannya meliuk indah tapi beberapa bagian telah mulai berkarat.
Geritan pintu bambu geser melepas perjalanan Sarimin, geritannya menyerupai kecup kening bagi seorang lurah atau pegawai kecamatan yang akan berangkat ke kantor. Rutin.
“Aku harus berjalan lebih cepat agar bisa mencangkul lebih luas” gumam Sarimin. Ucapnya dalam hati menyerupai stimulan penyemangat yang membuat langkahnya kian bergegas.
Namun semakin jauh ia berjalan, langkahnya mulai lemah. Akselerasinya minus. Untung saja sisa jalan yang harus dilaluinya rata, nyaris tak berhias tanjakan. Tentu karena ia akan segera menyusuri komplek perumahan penduduk.
Rumah pertama yang menyambutnya, mengisyaratkan bahwa perjalanan tak lama lagi. Sesaat petani muda ini melirik rumah mungil yang kini ada dihadapannya. Kondisinya mengingatkan Sarimin pada rumah yang ia tinggali bersama ibunya. Beratap ijuk dengan tatanan yang tak begitu rapi, dindingnya anyaman bambu, lantainya tanah penuh lumut seperti tak pernah terjamah. Sedangkan tiang depannya terlihat telah condong ke kiri, seperti mau roboh.
“Jangan-jangan rumah itu juga milik seorang janda seperti Ibuku”
Rasa memelas terbesit dalam benak pemuda ini sebelum ia ingat keadaan rumah reotnya.
“Ah…tapi apa yang bisa aku lakukan, rumahku juga tidak lebih baik dari rumah itu” perasaan memelas mulai tergantikan dengan realita, membuat pria yang mulai mengurangi kecepatanya berandai-andai.
“Kalau aku jadi orang kaya, aku ingin memboyong orang yang tinggal di rumah itu, akan ku berikan makanan yang enak, pakaian yang bagus, anaknya aku sekolahkan sampai jadi dokter. Ah…sayang nasibku juga tidak lebih baik dari mereka“ khayalannya terhenti, teringat jati diri.
Sembari terus melangkahkan kakinya, Sarimin menatapi setiap rumah yang dilewatinya, seolah-olah dihitung satu persatu. Satu menghilang satu menyambut dan seterusnya, hinga tanpa disadari telah sampai pada benda yang menarik perhatiannya. Papan bercat biru yang dibentuk menyerupai anak panah dipasang disisi kanan jalan ada tulisan putih terbaca “KADES KARANG BOLONG” Arah anak panah menunjuk pada rumah bercat kuning diseberang jalan. Rumah besar, lantainya keramik, tamannya tertata rapi, ada dua ekor jalak tersangkar didepan balkon. Untaian tanaman hias yang melilit pada atap rumah membuat rumah itu semakin terlihat asri.
Langkah Sarimin terhenti persis di depan gerbang rumah besar itu. Sejenak ia tertegun.
“Rumahnya besar sekali” Sarimin kembali bergumam.
Perhatian Sarimin tertuju pada rumah dengan arsitektur joglo nan indah itu.
“Kepala desa memang kaya. Berarti jika aku jadi kepala desa aku juga akan punya rumah bagus” hasrat duniawi Sarimin terus menjejali keningnya. Wajahnya mencitrakan ambisi besar, meletup-letup.
“Nanti kalau aku menjadi kepala desa, aku akan minta gaji yang lebih banyak pada pemerintah, kalau ada orang yang mau buat KTP akan kumintai bayaran yang besar, kalau ada orang yang punya sapi atau kerbau akan kukenai pajak kepemilikan binatang, dan kalau sewaktu-waktu ada bantuan dari pemerintah, tak apalah jika sebagiannya ku ambil. Dengan cara seperti itu aku pasti cepat kaya dan punya rumah sebagus ini. Nanti Emak akan kubuatkan kamar yang besar dan pakaian mewah yang yang diimpor dari Perancis, tungkunya harus diganti dengan kompor gas, tapihnya pun harus sutera India. Agar orang-orang segan kepadaku, aku akan menyewa tukang pukul yang senantiasa mengawalku jika bepergian. Ya, taman rumahku akan kuhiasi dengan patung, lampu taman dan air mancur dengan dekorasi bergaya Buckingham, interior rumahku akan kubuat bergaya minimalis seperti gaya Amerika modern dan akan kulengkapi dengan TV yang besar, internet, telephon, kulkas, AC dan ruang karaoke. Aku dan emak punya kamar mandi sendiri-sendiri yang zakucinya made in Itali. Pembantuku, akan ku tanami piranti lunak di kepala mereka sehingga kalau mereka membantah perintahku keplanya bisa langsung kuledakan dengan remot. Tapi..”
Kata ‘tapi’ membangunkan Sarimin dari mimpi indah pagi itu. Lamunan panjang berhias hayalan surgawinya terhenti saat logikanya kembali bekerja. Logika yang mengingatkannya tentang jati diri yang sebenarnya. Kini ia sadar bahwa tanganya memegang cangkul bukan remot untuk menyalakan AC, membuka kulkas atau meledakan kepala pembantunya.
“Hah..”
Desah nafas itu keluar lirih mengiringi kekesalan Sarimin dengan keadaannya kini.
Rimin kembali bergegas melanjutkan langkahnya yang semakin pelan. Wajahnya kuyu seperti kehilangan semangat. Di ujung jalan ada jalan kecil menuju sawahnya sedangkan didekatnya ada rumah besar yang halamannya dihiasai patung besar. Ya, rumah itulah yang Rimin tanyakan pada Emak pagi tadi.
“Jadi ini rumah milik Petrus, e’ juragan Petrus”
Beberapa saat Sarimin perhatikan beberapa bagian rumah itu.
“Mewah sekali. Pasti di dalamnya banyak barang-barang mewah, tidak seperti rumahku”
Selain kemewahan rumah, ada hal lain yang membuat Sarimin begitu tertarik. Diatas balkon rumah bergaya Eropa itu ada gadis tengah asyik membaca buku. Begitu serius hingga tak menyadari keberadaan Sarimin. Kontan saja mata Sarimin terbelalak pada gadis berperawakan semampai itu.
“Wow, cantik sekali”
Kelaki-lakian Sarimin muncul seketika itu.
“Kakinya bagus, putih jenjang lagi, kulitnya putih bersih, pinggulnya besar, perutnya langsing, tangan dan lehernya jenjang, bibirnya tebal terpoles lipstick merah, apalagi rok mini yang dikenakannya jelas memperlihatkan sebagian kulit pahanya, begitupun kaos ketatnya memperlihatkan lekuk tubuhnya, payudara yang membusung pun jadi terlihat jelas bentuknya. Wah..”
Tegukan ludah menggelinding melalui tenggorokannya membuat Sarimin menyerupai raja hutan yang siap menerka kambing muda. Jelas sekali ada birahi yang bergejolak.
“Andai aku bisa jadi suami gadis itu aku bisa bersamanya setiap malam. Aku juga bisa kaya mendadak karena ikut mewarisi harta orang tuanya. Aku akan bahagia seumur hidup. Setelah itu aku tak perlu lagi mencangkul, tak perlu sarapan urap blenguk setiap pagi, aku juga tidak akan kedinginan lagi karena ada wanita cantik yang akan memelukku menjelang tidur. Setiap pagi sarapan roti bakar yang diolesi margarin, lalu berangkat kerja ke kantor mertua naik sedan dan menerima kecup kening setiap pulang kerja. Ah..enaknya. aku pasti bahagia jika…”
Kata ‘jika’ yang begitu saja muncul dalam untaian khayalan Sarimin membuat khayalannya terhenti. Karena semua angan itu hanya akan terjadi jika gadis itu mau menikah dengannya, jika dia bukan orang miskin, jika dia bukan anak yatim, jika ia berparas menawan, jika tubuhnya tidak pendek, jika ia terpelajar, jika…
“Ah, itu tidak mungkin terjadi”
Hati Sarimin berontak. Berontak atas keadaannya yang serba kekurangan.
“Aku harus relaistis, jika hari ini aku mencangkul sawah maka harus kuterima itu. Toh, aku yakin ada orang lain yang bahkan tak punya sawah untuk dicangkuli”
Sarimin pasrah. Kepasrahan itu pula yang membuat kedua kakinya harus kembali melangkah menuju sawah, menuju tempat yang menghidupi dan membesarkannya hingga saat ini.
Kaki Sarimin mulai basah saat sampai di sawahnya. Sembari terus mengingat semua khayalannya selama perjalanan ia duduk di gubuk kecil tempat biasanya ia beristirahat. Diletakannya cangkul itu dengan tarikan nafas panjang. Tarikan nafas itulah yang membawanya kembali pada kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan sebagai pecangkul sawah, bukan sebagai kepala desa atau menantu juragan kaya.
Banjarnegara, 29 April 2005
No comments:
Post a Comment