Wednesday, 28 March 2012

Surat untuk Penyair

Penyair selalu mengecewakanku. Seperti malam Minggu legi kemarin. Aku mengajak seorang wanita ke sebuah launching buku. Aku berharap penyair yang meluncurkan antologi puisinya akan membacakan beberapa puisi cinta. Dengan begitu kekasihku akan senang mendengarnya.
Setidaknya kami sadar bahwa kami saling membutuhkan. Layaknya laki-laki dan perempuan kebanyakan. Tapi aku keliru. Ia tak membacakan syair cinta barang sebait pun. Ia malah berdeklamasi tentang tanah airnya. Ia pikir puisinya akan didengar banyak orang? Tanah airnya akan terbantu ketika ia membaca puisi? Rakyat yang kelaparan akan kenyang melihat penampilannya? Tidak.
Malam berikutnya, dua malam sejak sair-syair itu terdengar aku masih menyaksikan berita  kriminal. Bahkan, atas nama kebebasan, penyiar membacakannya dengan sangat lugas. Seorang ayah memperkosa anak kandungnya. Bayi-bayi menderita gizi buruk karena ayahnya suka madon dan main judi. Juga pelawak yang mati-matian memparodikan presiden. Akh, bangsa apa ini?
“Aku tidak ingin mendengar berita. Malam ini aku ingin mendengar cerita cinta agar hatiku dibuatnya berbunga-bunga. Bukan kecintaan pada negara yang menelantarkan pemudanya. Bukan” keluh kekasihku.
Kami pulang, berdua saja. Ia duduk di belakangku, mengambil jarak beberapa senti agar dadanya tak menyentuh punggungku. Ia pikir aku akan diuntungkan karena itu. Tidak juga.
Kekasihku benar-benar kecewa. Bahkan kami harus bungkam sepanjang perjalanan.. Oh, penyairku, yang bertubuh tambun dan berambut gimbal. Bacakan puisi cinta malam ini. Agar kekasihku tidak menganggapku pembual.
“Mana pusi cinta yang kamu janjikan? Aku ingin berbunga-bunga malam ini, bukan bersedih mengenang bocah kena marasmus. Apa peduliku?” luap kekasihku.
Ya, aku akan memperdengarkan pusi cinta untukmu, tapi tidak malam ini. Kita masih punya banyak waktu.  Terlebih jika kau menjadikanku pasangan hidup. Setiap malam, sebelum bercinta, kita akan membaca puisi cinta. Kalau kau mau, bahkan akan kutulis di dinding kamar.
“Kamu pikir kita bisa bercinta? Bersenggama di kamar pengantin yang ditaburi bunga? Sedangkan esok, anak yang aku lahirkan juga akan turun ke jalanan membawa kardus bekas. Tidak. Aku ingin melihat anak-anakku tumbuh di pangkuanmu. Kau yang mengumandangkan adzan di telinga kanannya. Melihatnya ketika ia pertama kali merangkak. Kau takan sanggup melakukan itu kan? Kau jelas lebih memilih bersama teman-teman komunitasmu di sanggar. Akh, omong kosong. Teman-temanmu, hanya hebat berkoar di panggung-panggung pertunjukkan. Bahkan mereka tidak bisa mengelap liurnya”
Tentu tidak. Aku akan menggendong anak-anak kita tiap sore. Main layang-layang di alun-alun kota, lalu makan bubur ayam bersama. Untuknya, akan kubuatkan satu puisi. Kau memandikannya, aku yang mengiringinya dengan tembang kinanthi. Kau suka ‘kan? Anak kita perlu sentuhan cinta, dan kau tahu, aku mahir melakukannya
Baru saja anakku lahir, Laylana, kawan lamaku mengajakku tour ke beberapa kota. Sulit menampik ajakan berjalan-jalan menyusuri pelosok negeri. Gratis. Bahkan biasanya mereka memberiku uang saku yang akan kubelikan beberapa eksemplar buku terjemahan. Kemarin ia mengajakku ke sanggar. Mempertemukanku pada dunia lama. Dimana kebebasan diperTuhankan.
Dulu, aku sengaja mengumpulkan penyair muda yang berani berpikir gila.  Kami membuat membuat komunitas. Aku sendiri geli teringat komunitas itu kunamai “Swara Hati” Banyak orang mengira kami mengkaji sastra. Nyatanya tidak. Kami hanya saling memotivasi. Menggembalakan hati dengan tali panjang hingga bisa melayang ke awan.
“Buat apa anak-anak? Mereka tidak akan membeimu apapun kecuali kerepotan. Merengek meminta recehan saat gerobak es krim lewat. Kau akan lebih menikmati hidup jika terus menggembalakan hati bersama kami. Kita membaca pusi bersama dari sanggar ke sanggar. Kita bisa merayu mahasiswi sastra yang kagum melihatmu berdeklamasi. Pasti mereka mau mengusir kesepianmu barang semalam dua malam saja. Pasti.” Tutur Laylana.
Bung, apa jadinya bangsa ini. Apa kita perlu memberontak dan mendirikan negara sendiri. Kita tak mungkin membeli senjata, terlalu mahal. Uang yang kita kumpulkan, dari hasil membaca puisi tak akan cukup untuk membeli meriam. Kita tak mungkin merdeka jika mengandalkan senjata.
Namun jika tetap berdaiam, kita akan menjadi gila. Terus menerus melihat kedzaliman, juga melakukannya. Kalau tidak mampu membuat negara sendiri, kita bisa membuat dunia sendiri. Dimana hati adalah petunjuk jalan. Bukan uang atau jabatan. Kalian mau punya dunia baru tanpa harus mati? Turuti kata hati.
Besok aku diundang seminar. Mereka memintaku membaca puisi karanganku. Dengan begitu tentu saja aku akan menemukan dunia baru. Menggila membuatku menjadi sucit tanpa dosa. Aku bisa terbahak-bahak menertawakan diri hanya dengan mikrofon dan selembar kertas berisi sajak. Aku akan membuat dunia baru. Saat itulah tawa, senyum, gerutu dan tangisku adalah suara hati, bukan ekspresi palsu yang kupaksakan ketika bertemu atasan.
Di duniaku, semuanya boleh bertamu. Tidak perlu memberi salam jika kau datang. Kau hanya harus memasang telinga, ikut tersenyum atau memperolokku usai pementasan. Pergilah bersama kami dengan kereta api yang lambung gebrongnya bertuliskan ‘kebebasan’. Dengan kereta itu kita aka sampai pada dunia baru; kebebasan.
Aku sedang mendayu-dayu dengan beberapa lembar sajak baru. Seseorang menaruh kertas. Kupikir puisi baru yang harus kubacakan. Ternyata surat dari Laras, istriku.
Mas, anak kita sudah mulai besar. Ia tampak tak begitu sehat seperti anak-anak lain. Aku tidak bisa memberinya susu bayi setiap hari. Sebagian uangku habis untuk membeli minyak wangi. Sedangkan Mas belum pernah sekalipun mengirimkan uang. Bukankah belakangan Mas sering pentas? Sesekali jika ada sisa  uang saku kirimlah ke rekeningku. Akan kukirimkan nomornya nanti. Kalaupun tidak, kirim saja lewat wesel. Mas belum lupa alamat rumah kita ‘kan?
Aku suka Mas terus membaca puisi, menggondrongkan rambut, atau bercelana gombrong seperti teman-teman lain. Kau terlihat senang saat itu. Aku tak keberatan kalau sehabis pentas Mas membawa mahasiswi sastra pergi ke hotel, seperti dulu. Tapi ingat, aku tidak ingin Mas jajan di Parangtritis kalau sedang pentas di Jogja. Aku tidak mau berbagi dengan wanita pantai. Kabarnya, mereka hanya dua kali berganti pakaian dalam sehari.
Kemarin anak kita bisa ngomong ‘yayah’. Kupikir itu panggilan yang teramat mesra untukmu, ayahnya. Kalau kau dengar, tentu akan sangat senang. Giginya baru tumbuh dua, seperti kelinci. Hari ini aku menunggu ia mengucapkan kata itu kembali, ‘yayah’. Kuharap panggilan itu membuatmu cepat pulang. Tapi aku tidak berharap banyak ia akan cepat memanggilku ibu. Kata itu terlalu sulit disebutkan, kecuali ia memiliki bakat menjadi pembaca puisi sepertimu. Tapi tidak. Terlalu mengerikan membayangkan ada sesorang yang bernasib sama denganmu.
Dulu, aku tidak percaya bahwa kebebasan mampu memberimu kebahagiaan besar. Bahkan kita sempat bertengkar di meja makan memperdebatkan itu. Kau bilang hidup terlalu singkat dihabiskan dibawah kungkungan aturan. Tapi aku mengatakan, kita baru akan menjadi manusia jika tahu adab.
Belakangan kupikir tak ada yang keliru diantara kita. Adakalanya hati harus terbang bebas tanpa benang apapun yang mengikatnya. Tapi suatu saat, peraturan membuat kita merasa patut hidup, seperti manusia. Peraturan yang membuat kita seperti makhluk berakal, padahal belum tentu.
Aku yakin, kau tidak pernah memikirkan aku. Tatanan kata-katamu, yang kau susun hingga bersajak, membuatmu lalai. Kau tak pernah peduli apa aku dan anak kita berkecukupan atau tidak. Suatu saat aku akan berterimakasih atas sikap acuhmu. Kau mengajariku dengan baik, bahwa kita tidak bisa bertumpu pada siapapun, suami sekalipun.
Awalnya aku tak yakin mampu bertahan tanpamu. Dunia terlalu kejam, tidak mendayu-dayu seperti kumpulan sajakmu. Bahkan siap mencabik siapapun yang lalai. Aku pernah tercabik, ketika kau pergi tanpa pamitan. Bahkan luka waktu itu belum sembuh benar. Sengaja perbannya belum aku buka. Aku takut darah kembali keluar dari jantungku, hatiku, paru-paruku, atau apapun yang ada dalam diriku. Aku taku terluka ‘Mas.
Maaf. Aku tak bisa bercerita banyak tentang bangsa kita. Bangsa yang kau bela dengan cipratan ludah hingga mulutmu kering, masih saja sepeti ini. Sepertinya kita memang ditakdirkan menjadi miskin. Miskin ilmu, harta, juga rasa malu. Mereka tak terlalu cerdas untuk mengakali nasib. Mereka memilih menjadi pembajak karena malas berpikir. Laylana, teman lamamu, bahkan pernah cerita akan berhenti menjadi pencipta lagu. Ia lelah mencipta. Lelah hasil karyanya direbut orang dengan cara yang tak sopan. Sekarang ia buka tambal ban di perempatan dekat pasar.
Laylana tampak putus asa ketika datang padaku. Kulihat hampir saja ia bunuh diri. Wajahnya peluh, sekarang rambut keritingnya dibiarkan memanjang. Aku sadar ia membutuhkan aku saat itu. Di butuh sesorang yang membuatnya merasa perlu untuk tetap hidup. Karena itulah aku memberinya penghidupan.
Malam itu ia tak langsung pulang. Aku memintanya menemaniku hingga pagi. Ia memang sahabat yang baik. Bahkan bisa menggantikanmu di tempat tidur sekalipun. Sebagaimana kita dulu, ia bergumam tentang kecintaannya pada negara sebelum kami bercinta. Syair lagunya, yang ia pintal dari bahasa sederhana, bahkan mirip sajak-sajakmu. Aku menikmatinya, sebagaimana kau menikmati kebebasanmu.
Mas, kalau kau bertemu anak kita suatu saat nanti, tolong jangan kau ceritakan bahwa kaulah ayahnya. Kemarin kuceritakan kalau ayahnya pergi berburu ilmu. Dia tak akan kembali sebelum cukup pintar untuk membuat bangsanya maju. Menurutku, kau tidak terlalu pintar, kau hanya liar, jadi jangan ceritakan apapun padanya.
Suatu saat, kalau aku cukup hebat bertahan hidup, akan kusekolahkan dia. Biar dia tak hanya pintar menyusun kata sepertimu, aku memberinya lakban penutup mulut. Aku ingin ia menjadi pekerja keras, tidak terlalu banyak bicara seperti orang pintar kebanyakan.
Maaf Mas, malam ini Laylana akan kembali datang. Ia berjanji akan menginap. Kupikir tidak ada salahnya, toh ia sahabatmu juga. Pagi harinya, sebelum pulang, ia selalu meninggalkan dua lembar uang sepuluh ribuan dibalik selimut. Lumayan, sepuluh ribu untuk beli susu, sisanya untuk membeli tambang jemuran. Sejak kau pergi jemuran dihalaman depan mulai rusak. Beberapa hari belakangan aku tidak bisa menjemur. O iya, sebelum Laylana pergi aku berpesan agar ia memperkenalkanku dengan beberapa temannya. Jika mereka benar-benar datang, aku pasti bisa mengganti tikar pandan yang rusak. Lumayan.
Beginilah hidup Laras sekarang ‘Mas. Aku menjadi salah satu kaum marjinal yang dulu sering kau suarakan penderitaannya. Kalau kau sempat, buatkan aku puisi yang kau belakan untuk kaum marjinal. Sekarang kau pasti masih suka bersuara, tentang rakyat, tentang cinta, juga kasus korupsi, seperti dulu. Kapan kau bisa menemuiku dan membacakan puisi tentang cinta dihadapanku? Tak perlu malu, aku tak akan memperolokmu.
Dari Laras.
O, tidak. aku benar-benar bingung dengan apa yang harus aku lakukan padamu, Laras. Kau pikir makhluk apa aku ini? Baru kali ini aku merasa difitnah. Kau menuduhku macam-macam. Sedangkan aku tak bisa melakukan apapun sekarang, tempat tinggalku terlalu sempit.
Laras, sudah lama aku tak menginap di hotel. Bahkan aku sudah lupa bagaimana membuka pintu dengan kartu. Harga sewa kamar sekarang terlalu mahal. Padahal dulu, saat kita pertama kali menyewanya, harganya hanya tiga puluh ribu. Kita patungan, kau sepuluh, aku dua puluh. Tapi sekarang hampir sama dengan biaya hidupku tiga hari. Tentu saja aku lebih suka membeli nasi kucing daripada bermalam di sana.
Biar bagaimanapun aku ayah dari anak yang kau asuh sekarang. Aku punya andil atas dia, walau hanya beberapa malam. Mestinya kau ceritakan saja bahwa ayahnya seorang penyair. Ia penyair hebat yang membuat semua orang terpesona. Bahkan banyak mahasiswi sastra yang memberi hadiah istimewa hanya karena puisiku. Jangan membohongi anak kita, Laras. Ceritakan saja apa adanya, ia pasti bangga.
Saat pulang nanti, hal yang aku lakukan pertama kali adalah membunuh Laylana. Tolong jangan halangi aku nanti. Belati besar yang punggungnya bergerigi telah aku siapkan. Aku tidak sabar untuk menghujamkannya. Aku tidak suka kau tidur dengannya.
Kalau kau butuh uang, kau tak harus menemaninya tidur. Kenapa harus Laylana? Kau boleh tidur dengan siapapun, tapi bukan dia. Kau kan bisa merayu seorang duda kalau hanya untuk dua puluh ribu. Di akhir pekan, biasanya mereka mencari janda muda,. Kalau tidak, malam minggu nanti kau datang saja ke taman kota. Datanglah dengan rok mini dan baju yang kau buka dua kancingnya, pasti akan ada yang menawar. Jangan dengan Laylana. Dia bajingan.
Kalau kau ada di depenaku saat ini, aku ingin mengajakmu berdebat agar aku bisa mengalah. Kau benar. Syairku tak berarti apapun untuk bangsa ini. Aku sudah lama pentas, di berbagai sanggar, juga universitas. Nyatanya, mereka hanya menjadikan aku tontonan. Mereka bertepuk tangan di akhir pementasan, persis seperti saat mereka nonton sirkus. Kalau kupikir ada pergolakan bathin dalam kepala mereka setelah mendengar sajak-sajakku, aku keliru.
Tidak ada puisi yang bisa menyelesaikan masalah, begitupun tak ada masalah yang bisa selesai dengan puisi. Kecuali saat aku bisa mengawinimu dengan modal dua bait sajak kamasutra.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku akan merindukanmu malam ini. Kau terlalu cantik untuk ku gantikan dengan guling. Kamar kita, yang sekarang sering kau gunakan dengan Laylana, juga lebih nyaman daripada kamar tempat aku tinggal.
Ukurannya hanya tiga meter. Sebagian harus aku sekat dengan kain agar aku bisa mandi dengan nyaman. Teman-teman di sini suka usil. Mereka sering meledek melihatku mandi dengan sabun bayi. Begitupun sipir yang berjaga di depan pintu keluar. Setiap kali kami bertemu dia akan mengatakan kalau aku lebih seperti penyair daripada pemberontak.
Jaksa yang menuntutku sama bodohnya dengan sipir. Mereka mengira aku seorang penyair, tapi menuntutku dengan tuduhan menghina pemerintah. Kalau aku bebas akan kukatakan kalau aku memang penyair. Hanya saja aku dibayar untuk meledek pemerintah. Aku penyair. Benar, aku penyair.
Semarang, 6 September 2008

No comments:

Post a Comment