“Sisa hidupku akan habis di ranjang ini,” ucapku pada belalang yang menyelinap masuk ke kamar.
Tempat ini neraka. Berisi suara tangis bocah yang melengking. Pemuda terjatuh dari motor mengaduh kesakitan, dan lelaki udzur yang tidurnya mendengkur. Lalat hijau terbang mengitari perban bekas luka bakar. Berdesakan dalam satu atap.Tak sedikitpun tersisa ruang kecuali di WC yang baunya menyengat, juga amis darah wanita yang baru melahirkan.
Aku tak mungkin dapat disembuhkan. Bahkan oleh dokter paling canggih yang baru dapat gelar magister dari universitas terkemuka sekalipun. Mereka enggan menangani penyakitku. Pikir mereka, tak ada gunanya mengobati lelaki tua tanpa ahli waris yang terserang berbagai penyakit kronis. Tapi mereka tak membuatku mati dengan keangkuhannya. Aku masih bisa bernapas walau harus tersengal. Menikmati beberapa suap nasi putih yang diantarkan kepadaku dua kali sehari.
Bajingan! Aku tak seburuk ini tiga bulan lalu. Bisa berjalan sendiri mendaftar dan menunjukkan kartu Askeskin pada petugas. Jongkok di lantai menunggu petugas administrasi makan siang. Aku kira kartu ini akan banyak membantu. Ternyata tidak, justru membuatku terlantar. Persis seperti anak enam tahun yang berpisah dengan ibunya di pasar malam. Tidak lebih, aku hanya numpang tidur dan makan saja. Mereka memang memberiku obat, tapi hanya beberapa hari. Selebihnya hanya nasi putih dan beberapa sendok sayur sawi yang membuatku tetap hidup.
Senja datang bersama remang. Lampu taman menyala menghiasi pucuk-pucuk Hortensia. Gaduh dari barisan panjang calon pasien pun lesap. Sunyi. Aku ingin tidur, selamanya. Aku bosan menjalani hidup menjenuhkan ini. Memang terlalu berani, tapi itu yang aku inginkan. Bisa saja Tuhan lupa telah menciptakanku hingga lupa untuk memanggilku kembali. Aku menjadi makhluk yang disisakan karena Tuhan lupa? Mustahil.
Hidup memang antrian panjang menanti kematian. Terlalu panjang hingga aku belum dapat giliran setelah menunggu tiga bulan.
Siapapun bosan mendengarku selalu mengeluh. Dari ngilu di pinggang, dada sesak hingga sakit menahan kencing. Tak seorangpun mau membantuku ke kamar kecil. Hanya tamu-tamuku yang masih senang mendengar keluhan. Sudah dua pekan tamu itu datang. Menjulurkan lidahnya dari balik keremangan lampu bohlam 10 watt di atas jidatku. Awalnya hanya bayang semu, berlahan berubah nyata. Menyelinap dari balik keremangan lantas tersenyum. Saat aku coba membalas senyumnya, ujudnya kian nyata. Menjelma menjadi lelaki tua yang duduk persis di sampingku.
Tamu itu tua tapi tak lebih tua dari aku. Terlihat guratan kulit keningnya yang memancarkan gairah hidup. Ubannya tersisir rapi, kelimis oleh minyak kemiri yang dibalurkannya hingga ujung. Tubuhnya wangi, melebihi parfum paling wangi yang pernah aku cium.
Seperti biasa, awalnya ia meledek. Menyunggingkan bibir hingga beberapa giginya terlihat. Menjelang pagi baru ia pergi. Mengajakku jalan-jalan. Katanya, ke tempat yang jika dikunjungi tak perlu kembali. Aku menolak. Bukankah tidak ada tempat seperti itu kecuali neraka? Entahlah. Aku hanya berharap besok bukan ia yang datang. Kupikir kenapa harus lelaki tua? Kenapa bukan gadis berseragam putih abu-abu yang dua kancing bajunya terbuka?
Lamat-lamat Adzan terdengar. Sedang aku masih bersembunyi di balik selimut belang-belang yang mulai kumal. Suara takbir yang mengawalinya membuatku terjaga. Tapi kumandangnya terdengar sama. Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya atau Shubuh sekalipun. Keadaanku tak akan berubah walau mendengar kumandangnya lima kali sehari. Semuanya tetap sama.
Malam berganti. Tamuku kembali datang. Aku pernah kedatangan tamu dalam rupa seorang lelaki berpakaian serba putih. Bahkan jenggot, jambang dan kumisnya. Ia memintaku tayamum dan menyegerakan sholat. Tapi terus terang, aku tak mengerti tayamum. Bahkan jika seseorang memintaku untuk wudlu, aku belum tentu bisa melakukannya. Aku benar-benar tak bisa!
“Kemarin malam ku dengar kamu minta mati” kata tamuku mengawali kunjungannya. “Tapi cara mati saja kamu belum tahu”
“Apa sulitnya mati? Banyak orang mati tanpa harus tahu caranya,” jawabku.
“Mereka yang mati tanpa tahu cara mati, bukan orang mati Mereka terpaksa mati karena ruh yang mengisi jazadnya harus pergi.”
“Bukankah itu aslinya mati?”
Tamuku tak langsung menjawab. Ia bangkit dari tempatnya duduk, berjalan begitu ringan. Tubuhnya melayang membaur dengan sinar lampu.
“Kamu belum pernah mati. Kamu tidak pernah tahu rasanya mati,makanya tak usah minta mati.”
“Tapi jika keadaanku seperti ini, aku seperti orang mati, bahkan lebih buruk dari mati.”
Saat kujawab demikian tamuku tak menjawab. Hening tanpa suara, kecuali hembusan nafas dari paru-paru pengapku. Entah mataku yang mulai rabun atau memang ia yang menghilang, tiba-tiba saja ia lenyap. Aku terus menunggu. Berharap bisa mendengar jawaban tentang mati yang sebenarnya. Lama mataku mengawasi tempat ia lenyap. Membuatku berubah pikiran, aku ingin tetap hidup.
Hingga tengah malam mataku belum terpejam. Hingar bingar rumah sakit hilang. Persis seperti kuburan jika saja mereka menanam kamboja di halaman muka. Suara yang biasanya berdesakan terhisap langit hitam. Hanya gemericik butiran air yang jatuh dari ujung kran kamar mandi. Aku memandangi lampu bohlam, kian redup oleh jelaga dapur. Berharap seseorang akan datang menemaniku berbincang.
Memang, beberapa kali kulihat wajah beterbangan di dekat lampu. Mereka sempat tersenyum padaku sebelum akhirnya kembali hilang. Kadang aku tersentak saat diantara wajah-wajah itu melintas beberapa wajah yang ku kenal. Kadang menyerupai Pak Sarmin, pedagang bakso yang gerobaknya pernah aku bakar. Pak Usman, mantan majikanku yang arlojinya pernah kucuri. Bahkan Sarimah, gadis yang kutinggal setelah kubuat bunting.
Aku ingin wajah-wajah itu berubah nyata. Duduk di samping ranjang, memijit tangan dan kakiku atau membetulkan selimut yang berulangkali lepas.
Leherku kaku terus menatap sorot lampu. Cicak sebesar jempol tangan melintas. Jatuh persis di atas dadaku. Hampir saja ku santap jika tak segera lari.
Akhirnya seseorang datang padaku. Aku senang, seseorang menemaniku menghabiskan malam. Kali ini seorang gadis muda. Mengenakan rok mini dan kaos ketat yang memperlihatkan separuh payudaranya. Bibirnya merah terpoles gincu murah yang dijajakan dengan harga tak lebih dari tujuh ribu rupiah.
Tak ada gadis seperti ini kecuali gadis yang menjajakan tubuhnya di alun-alun kota. Aroma tubuhnya wangi, berbaur dengan bau keringat tukang becak. Siapapun mengenalnya, gadis yang mematok harga lima puluh ribu per malam. Aku berharap gadis SMA tapi Tuhan mengirim wanita lacur. “Padahal, sebrutal apapun masa mudaku, aku belum pernah bergumul dengan lacur jalanan. Aku lebih suka perawan desa daripada bergilir tubuh dengan duda tua yang tak kunjung mendapat isteri baru. Aku kotor, tapi mereka menjijikan.”
“Bapak katanya minta mati?”
“Ya, tadinya begitu.”
“Sekarang masih ingin mati?”
“Tidak. Aku ingin mati kalau sudah tahu cara mati.”
“Bapak tidak akan pernah tahu caranya mati sebelum benar-benar mati. Tidak akan pernah!”
“Memang kenapa?”
Gadis muda itu bangkit dan membalikkan tubuhnya. Membuatku menelan ludah melihat lekuk tubuhnya.
“Mati itu bukan urusan manusia, makanya manusia juga tidak berhak tahu. Kalaupun ada seseorang yang ingin tahu mati maka harus benar-benar mati dulu. Bapak masih ingin mati?”
Aku menggeleng.
“Bapak ingin tahu cara mati yang benar?”
Aku mengangguk.
“Aku sendiri mati dengan cara yang nista, seperti itu juga Bapak nantinya.”
Aku tersentak mendengar ancamannya.
“Memang siapa dia, berani sekali mengancamku mati dengan cara nista”
Kupikir wanita muda itu setan. Setan yang suka melacur hingga mati terkena virus AIDS tertular pelanggannya.
“Saya bukan setan, tapi anak setan!”
Gadis itu tahu jalan pikiranku.
“Dulu ibu saya wanita baik-baik, paling tidak ia punya masa depan. Lelaki iblis memperkosanya saat ia melintas di kebun tebu. Iblis itu membuatku lahir sebagai anak setan.”
Bedebah! Gadis ini membawaku menjajaki masa lalu. Mungkin puluhan tahun lalu saat aku merantau ke Aslireja, pinggiran kota Bantul. Aku meninggalkan kampung untuk mencari pekerjaan di sebuah kebun tebu, tapi aku ditolak mentah-mentah. Mereka tahu reputasiku yang terlanjur dicap sebagai orang nggak bener.
Beberapa hari aku tinggal menumpang di rumah seorang buruh pabrik gula. Malam hari aku numpang tidur, nonton tivi, siangnya aku ungkang-ungkangan di salah satu gubuk dekat kebun tebu. Disitulah aku mengerjakan semua yang aku inginkan. Kadang tiduran, memalak karyawan pabrik, atau iseng mengganggu gadis yang lewat. Segalanya berubah ketika aku melihat Sarimah. Sial, gadis ini melintas persis di depanku saat aku merasa begitu gersang. Entahlah, aku bukan lelaki yang pandai mengendalikan birahi.
“Bapak masih ingat juga rupanya?” gadis itu seperti menodongkan senapan persis di depan wajahku.
“Bapak ingin mati dengan modal perbuatan keji seperti itu? Berani?”
Gadis yang kuanggap setan adalah darah dagingku.
“Diamana sekarang ibumu nduk?”
“Tak usah pikirkan ibu, saya hanya memastikan Bapak mati dengan cara yang lebih nista dari siapapun.”
Gadis itu kembali lenyap setelah mengumpatku habis-habisan. Menyelinap dari tembok krem yang catnya mulai mengelupas. Aku tak percaya dipertemukan dengan dosa-dosaku justru menjelang ajal.
Malam kian padu dalam sunyi. Gundahku memuncak saat tiba-tiba aku merasa takut mati. Sungguh, tempo hari aku berdo’a tiap malam agar aku tidur dan tak usah bangun lagi. Kupikir itu yang terbaik. Tiba-tiba saja dosa membuatku takut mati.
Tubuhku masih kaku di bawah lampu. Kuperhatikan sarang laba-laba yang mengitarinya tampak berkilau. Berharap seseroang kembali datang menemaniku menghabiskan malam. Malam ini saja.
“Masih ingin mati?”
Seseorang membentakku.
Aku menggeleng masih terperanjat.
“Bapak tahu, dulu aku pernah mati.”
“Sungguh?”
“Hari itu aku hanya merasa sedikit pusing, kepalaku terasa tidak enak. Karena itulah aku bersegera menghadap kedua orang tuaku. Air mataku tiba-tiba meleleh, mengucur deras saat aku bersimpuh di pangkuan mereka. Nikmat. Aku cium kening ibu lantas memeluk tubuh ayah erat-erat. Lantas aku pergi mengambil air wudlu untuk sholat tahajud.
Tapi aku tak mampu bangkit saat sujud terakhir. Badanku kaku tak dapat kugerakan. Sendi dan uratku serasa terkunci hingga aku tak pernah bangun lagi. Pagi harinya mereka menemukan jazadku tertelungkup kaku berlinang air mata. Separuh sajadahku basah oleh air mata pertaubatanku, dan begitulah aku meninggalkan kefanaan.”
Aku menelan ludah saat tamuku selesai bercerita. Kenapa ia menceritakan kematian seperti menghidangkan sepiring bubur hangat? Mungkinkah aku bisa menjemput maut dengan cara yang sama? Oh, tidak! Aku tak akan bisa mencium kening ibuku. Ia meninggal sakit jantung saat tahu aku dipenjara. Ayahku juga telah meninggal. Ia tak tahan terserang komplikasi saat kedua sapi miliknya kujual diam-diam.
Dimana bisa kucucurkan air mata? Kakakku merantau puluhan tahun lalu saat tanah warisannya kujual, tak pernah kembali. Adik perempuanku juga tak pernah pulang dari Jakarta sejak ku kalungkan celurit saat ku rampas uangnya. Kening siapa yang harus aku cium? Tangan siapa yang harus kurengkuh agar dapat kucucurkan air mata?
***
“Syukurlah.” ucap juru saji.
“Memang kapan Pak Mandriga mati?”
“Entahlah, ku temukan tubuhnya kaku saat aku mengantarkan makanan.”
“Berarti rumah sakit ini jadi direlokasi?” tanya juru saji lainnya.
“Tentu. Lama sekali rencana itu tertunda, padahal dana yang dijanjikan pemerintah sudah turun tapi urung dilaksanakan”
“Aku juga lelah menyajikan makanan untuk Pak Mandriga dua kali sehari, toh ia mati juga”
“Ya, akhirnya kita bisa menempati ruang kerja baru.”
“Bahkan honor kita akan dinaikkan nanti.”
“Jenazahnya dimana? Dia ’kan tidak punya keluarga.”
“Tadi pagi petugas pemulasaraan jenazah membungkusnya, mungkin masih tersimpan di ruang jenazah.”
“Kenapa di simpan? lebih baik kalau kita galikan lubang di ruang rawatnya.”
“Kamu benar, tak akan ada yang tahu jika rumah sakit ini telah menjadi terminal.”
Banjarnegara, 25 November 2008
No comments:
Post a Comment