Saat teman-teman di kerajaan bergembira mendengar rencana kunjungan Kaisar Adrianus, Maximilianus justru prihatin. Ia tak mengerti sikap gubernur provinsi Eustador, Dauxlitianus, dan pembesar kerajaan lain yang menganggap kaisar sebagai dewa.
Mereka menganggap kaisar dzat yang mengatur jagad raya. Lebih menjijikan lagi, pejabat-pejabat itu, yang Maximilianus yakini tak pernah sekalipun berperang, terus menerus menjilati bokong kaisar. Tak pernah sekalipun ia dengan kalimat musyrik yang begiu lekat.
“Hormat kami untuk Kaisar Adrianus yang agung, Tuhan sesembahan kami yang menguasai Imperium Romawi dan seluruh alam,” ucap Julius, panglima perang provinsi Eustador, merendahkan badan sambil menyilangkan tangan kanannya ke dada kiri.
***
Orang Roma benar tentang sebuah pepatah, ‘kaktus tak akan tumbuh di rawa’. Begitupun Maximilianus merasakannya. Ia satu-satunya orang di Eustador yang meyakini keberadaan Illahi. Ia merasa tak bisa berbuat banyak saat kebanyakan rekannya justru sibuk menyembah kaisar. Jika ia nekat berdakwah, taruhannya adalah nyawa.
Prajurit di kerajaannya tak akan segan menangkap dan menyiksa penganut agama tauhid yang terang-terangan mengaku sebagai orang beriman. Karena itulah Maximilianus lebih memilih diam. Ia yakin, suatu saat kebungkamannya akan berakhir. Ia yakin, ada kekuatan yang akan membuatnya berani berkata.
Sebagai salah seorang penasihat istana, Maximilianus memang sering tak sepaham dengan pejabat lain yang sering berlaku zalim. Rekan-rekannya, masih saja menyembah patung. Batu kapur yang diukir perlambang Apollon. Sayang, setelah menyembah dewa, mereka akan pergi memungut pajak besar kepada rakyat dan menghabiskannya di meja judi. Sekali lagi ia sadar kekuatannya.
“Seorang diri tak mungkin aku bisa mengalahkan ribuan tentara Adrianus,” pikirnya, bimbang.
Siang yang indah menghiasi Eustador. Senyum, bunga dan sanjungan menguntit di sepanjang jalanan. Ada wangi Hortensia di tiap udut kota. Dan puluhan karung berisi gandum sengaja ditumpuk di tepi jalan. Eustador seperti surga.
Untuk menyambut kaisar, gubernur Dauxtilianus memang tak main-main. Ia berencana menghabiskan separuh anggaran belanja daerah untuk menjamu kaisar selama tiga hari. Tujuannya satu, ia ingin membangun citra baik agar penguasa Imperium Romawi itu terkesan.
Untuk itulah Dauxtilianus memerintahkan pejabatnya menyembunyikan kebobrokan yang sudah terlalu lama bercokol di bumi Eustador. Ia sembunyikan gelandangan, mengurunganya dalam terali besi. Juga anak-anak yang kurus nyaris terkena Marasmus. Tentu saja Maximilianus kahwatir. Akan ada ribuan nyawa yang akan tumbang.
Kesan sejahtera di Eustador serasa nyata. Tak ada gelandangan di pinggiran kota, tak ada pemuda menganggur, tak ada pelacur di jalan remang menuju lokalisasi. Segalanya tergantikan oleh bunga dan senyum.
Ini malam ke tujuh bulan Ramadahan. Bulan masih tampah pipih dilihat dari Eustador. Maximilianus masih duduk dalam ruang rahasia tempatnya sholat. Ia masih melantunkan takbirnya ketika seorang utusan istana datang.
“Tuan, gubernur meminta Tuan datang dalam jamuan makan malam bersama kaisar,” ucapnya tergesa. Lilin di rumah Maximlianus meredup. Angin melitas pelan dari jendela selebar dada orang dewasa.
Tak ada jamuan semewah malam itu. Jujur, Maximilianus yang telah dua tahun menjadi penasihat ekonomi tak menyangka gubernur memiliki uang sebanyak itu. Segala kemewahan yang pernah dikenal manusia tersaji malam itu
“Yang terbentang dari Eropa barat hingga ke Asia kecil, dari utara hingga ke jantung Afrika dan dari pusat bumi hingga ke langit, itulah Imperium Romawi. Wahai kaisar Adrianus yang agung, yang menjadi penguasa bumi dan seluruh alam, juga menjadi wakil para dewa untuk memelihara bumi, terimalah hormat kami. Kaisar Adrianus yang agung, tuhan sesembahan kami yang menjadi wakil Yupiter, Harakel dan Apollon yang perkasa. Selamat datang di bumi Eustador yang hijau dan subur, yang selalu berkilau emas permatanya,” ucap gubernur Dauxtilianus meletakan keningnya persis di depan telapak kaki kaisar.
Ucapan gubernur segera dibanjiri kemeriahan tepuk tangan. Termasuk oleh Izrael, penasihat bidang kesejahteraan yang tak memiliki keterampilan papun selain menjilat.
“Kaisar Adrianus yang agung. Terimalah hormat kami sebagai bukti ketaatan kami pada Tuan. Maka malam ini, ijinkanlah kami memberikan penghormatan pada Tuang,” sahut Izrael.
Tak lama berselang, seorang pejabat dengan jubah putih yang nyaris menutup seluruh tubuhnya mendekat. Ia mengangkat tangan lantas membungkuk setengah badan.
“Kaisar Adrianus yang agung, inilah Fidyas yang snenatiasa mengabdikan seluruh hidup dan tiap detik waktunya untuk Anda,” Dauxtilinus memperkenalkan bawahannya.
Dan seperti itulah pejabat-pejabat kegubernuran mengagungkan kaisarnya. Satu demi satu dari mereka maju, bersujud lantas memanjatkan do’a.
“Kaisar, inilah Maximilianus. Penasihat istana yang telah berkorban begitu banyak untuk membangun Eustador dan Imperium Romawi,” ucap Dauxtilianus lagi.
Maximilianus maju dari barisan. Matanya memandang tajam. Ada kerut kecil di atas pelipis matanya. Ia terdiam, lama. Pejabat lain bingung, sebelum Maximilianus mulai bicara.
“Sungguh tak ada kebodohan yang lebih besar daripada menyembah manusia seperti tuhan. Dan tak pernah kulihat orang dungu melebihi orang yang bersujud di depan patung bernama Yupiter, Harakel atau Apollon. Adrianus, bertobatlah! Tidak ada yang patut di sembah kecuali Allah. Lailahailallah,” ucap Maximilianus lantang.
Seketika itu juga suasana berubah. Kaisar Adrianus berang. Ia bangkit dari singgasana emas tempatnya duduk. Matanya tajam memandang Maximilianus. Jelas sekali tergambar kemarahan besar dari tatapan itu.
“Seharusnya anda sekalian berpikir, betapa sia-sia dan hinanya menyembah patung yang dibuat oleh tangan manusia sendiri. Alangkah hinanya kalian jika menganggap manusia yang memilki tubuh, pikiran dan jiwa yang sama seperti kita sebagai tuhan yang patut disembah. Bahkan, apakah kalian tidak sadar, perawakan kaisar yang kalian pertuhankan lebih menyerupai kafilah?” lanjut Maximilianus.
Serentak prajurit yang mengawal istana menarik pedang dan menodongkannya persis di leher Maximilianus. Namun ia tak tampak takut.
“Saudaraku, sadarlah! Ada kekutan yang jauh lebih besar dari apapun yang selama ini kalian anggap sangat besar. Yakinlah, hanya Allah yang patut kalian sembah.”
Dua parjurit nyaris menghujamkan pedangnya. Adrianus mendekat dan mencegah. “Jangan bunuh, biarkan ia merasakan akibat atas kekafirannya,” Maximilianus tersenyum ringan.
“Wahai saudaraku,” lanjut Maximilianus, “mari kita beriman atas keberadaan Illahi, Tuhan yang menciptakan alam dengan segala isinya. Tuhan yang dibenarkan oleh Isa al Masih, oleh Ibrahim, oleh Isma’il, oleh Musa, juga oleh Muhammad.”
Tak hanya kaisar Adrianus yang berang, wjah Dauxtilianus juga memerah. Ia merasa dipermalukan, sangat dipermalukan.
“Kau kafir Maximilianus! Kau mengingkari agama leluhur kita dan menganut agama para budak dan jelata, laknat engkau Maximilianus!” Dauxtilianus geram.
“Yang mulia, hukum dia seberat-beratnya,” teriak Julius, panglima perang Eustador.
“Bakar saja orang kafir ini yang mulia!”
“Salib saja seperti Adonea!”
“Siapa engkau hingga begitu berani menghina tuhan yang telah memberikan kehidupan atas kamu dan anak istrimu?” kaisar bangkit sembari mengangkat tongkat emas kebesarannya.
“Ia kafir. Hukum dia!” jawab Dauxtilianus.
“Maksudku kenapa ia bisa berada di tempat ini bersama kita?”
“Ia adalah putra pembesar Romawi yang menjadi penasihat istana, perintahkan kepada kami agar menggiringnya ke ruang penyiksaan.”
Beberapa prajurit masih menodongkan pedangnya di leher Maximilianus.
“Ya Illahi, berikanlah kami kekuatan untuk memberantas kezaliman ini. Illahi, hukumlah mereka dengan hukuman terberatmu,” Maximilianus mengangkat kedua tangannya, “Wahai saudaraku, bertobatlah bersamaku, kita akan segera bertemu Isa al Masih di surga,” lanjutnya.
Di luar dugaan, Goleus dan Handiyas, putra salah seorang penasihat istana bangkit. Ia bergabung bersama Maximilianus. Sungguh, sebelumnya Maximilianus tak pernah tahu jika ada orang yangs seiman dengannya.
“Kaisar Adrianus, jangan anda terus menerus menutup hati dan jiwa anda dengan kezaliman. Mari kita sembah Allah, Tuhan semesta alam yang tak ada apapun yang berkuasa melebihiNya,” ucap Handiyas.
Mendengar ajakan itu, Adrianus tertawa begitu lebar.
“Kau mengajakku menjadi penganut agamamu? Akulah tuhan yang menguasai tiap jengkal tanah Imperium Romawi dan kau mengajakku mengikuti agama budakmu.”
“Sungguh murka Allah akan sangat pedih jika kau mengingkarinya. Kaisar Adrianus yang dipertuhankan oleh orang-orang yang buta hatinya. Bahkan kau sendiri tak akan mampu menghidupkan yang mati, mematikan yang hidup atau membuat siang dan malam seperti Allah Ya Rabb. Berimanlah kepadaNya,” lanjut Maximilianus.
Dauxtilianus makin geram. Ia tak menyangka akan dipermalukan sedmiakn besarnya oleh ketiga bawahannya.
“Bawa mereka ke ruang penyiksaan!” perintah Dauxtilianus.
***
Julius menendang Maximilianus ke dalam ruang gelap. Ini kandang kuda yang digunakan sebagai penjara. Dua tahun sebelumnya mereka menggunakan ruangan ini untuk menghukum mujahid bernama Adonea. Bahkan bau anyir darah masih amat terasa.
Ruang ini gelap. Hanya ada lubang sebesar ibu jari yang membuat mereka bisa saling menatap. Maximilianus, Geleos dan Handiyas tersenyum.
“Kita baru saja mengatakan sebuah kebenaran saudaraku,” ucap Maximilianus.
“Ya, setelah berita ini tersebar pada telinga rakyat, mereka tak akan menyambah Adrianus lagi.”
“Sadaraku, apa kalian merasa kita semakin dekat dengan surga?”
“Ya, aku merasakan itu.”
Ketiga pemuda suci itu tertawa lantang. Mereka mencecap kebahagiaan besar yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya.
***
Ini malam ke tujuh belas Ramadhan. Di luar, bulan masih terlihat bulat. Artinya sudah sepuluh hari Maximilianus terpasung dalam penjara. Bibirnya masih bergerak, pelan. Ada desah tasbih keluar pelan.
“Subhanallah, subhanallah,…..”
Menjelang malam penjara semakin dingin. Maximilianus menggigil. Bajunya telah robek sejak pertama ia masuk penjara. Begitupun Goleus dan Handiyas. Mereka masih terlalu muda untuk bertahan dari siksa semacam itu. Keduanya terkapar, bersama jerami dan anyir bau darah.
Dauxtilianus datang bersama beberapa prajurit..
“Bertobatlah!” teriak Dauxtilinus sambil menempelkan sebatang besi panas di wajah Maximilianus.
Dauxtilianus, dan beberapa prajuritnya terus menerus menghukum Maximilianus dan kedua saudara seimannya dengan perlakuan hina. Perlakuan yang tak akan pernah dilakukan seorang yang masih berakal kepada sesamanya.
Dengan siksaan berat terus menerus Dauxtilianus berharap Maximilianus akan bertobat dan kembali mengakui agama leluhur. Hanya dengan cara itulah Dauxtilianus bisa mencegah penyebaran agam tauhid setelah peristiwa memalukan beberapa malam yang lalu.
“Bertobatlah!” teriak Dauxtilianus lagi.
“Kalian telah mengingkari ajaran leluhur, menghina kemuliaan tuhan Adrianus dan dewa-dewa yang telah menjaga kita,” keluh Dauxtilianus, kali ini sambil menghujamkan besi sebesar jari kelingking ke punggung Maximilianus.
“Ini kesempatan terakhirmu, bertobat atau aku akan benar-benar membunuhmu?” Dauxtlianus menghujamkan pedang. Nyaris saja mengena kepala Maximilianus.
“Baiklah, aku bertobat.” ucap Maximilianus lirih.
Dauxtilianus tertawa terkekeh-kekeh, begitupun parjuitnya. Sedangkan Goleus dan Handiyas menatap iba. Keduanya tercengang.
“Aku bertobat kepada Illahi karena telah begitu lama membiarkan kezaliman yang kau lakukan. Aku bertobat karena aku yang papa dan penuh dosa hanya mampu melakukan ini untuk menghentikan kebiadabanmu. Ya Illahi, tuntunlah langkah kami agar senantiasa berada di jalan yang engkau rodloi, Ya Illahi Robbi.”
No comments:
Post a Comment