Aku tak pernah senang mendengar pergunjingan. Tapi mereka tak pernah berhenti menggunjingkanku Mungkin aku bisa bersabar jika cercaan yang kuterima hanya seminggu sekali, bahkan sehari sekali. Tapi tidak jika hinaan itu datang setiap kali aku berjumpa dengan siapapun.
Aku benar-benar tak rela jika mereka membicarakanku dengan penuh kebencian. Sungguh! Akupun tersinggung jika sapaanku diacuhkan. Apalagi jika orang yang kusapa tak mau melirik wajahku sedikitpun. Kalaupun mereka melirik, wajah mereka berubah muak.
Wanita-wanita tua itu, yang sedang asyik mencari kutu dengan membentuk deretan layaknya rangkaian gerbong kereta api, juga sedang membicarakan aku. Mereka membicarakan keadaanku yang ‘sedikit berbeda’ dengan kebanyakan orang. Kalaupun ada perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain, itu ‘kan wajar. Bagiku, perbedaan yang tumbuh diantara heterogennya masyarakat itu lumrah. Bukankah hal semacam itu yang membuat masyarakat semakin berwarna? Itu menurutku. Tapi tentu tidak bagi mereka.
Hingga sekarang, aku tak habis pikir mengapa berita tentang aku menjadi begitu menarik dibahas. Bahkan wanita-wanita yang rambutnya mulai memutih itu, rela meluangkan waktunya untuk menanyakan berita terbaruku. Ya, kabarku menjadi berita penting yang wajib segera mereka ketahui. Padahal aku sama dengan wanita-wanita paruh baya itu. Aku berjalan menuju arah yang benar; ke depan.
Langkah kakiku juga tak keliru; satu demi satu. Napasku teratur, mataku berbinar, rambutku hitam terbelah menjadi dua bagian, sama seperti kebanyakan orang yang pernah kutemui. Tapi mereka tetap saja menganggapku istimewa, unik, aneh, ajaib atau fantastis. Entahlah.
Ini yang membuatku ‘sedikit berbeda’. Jika umumnya wanita-wanita itu merencanakan arah kepergiannya, aku tidak. Aku selalu melakukan sesuatu sesuka hati. Aku pergi bukan untuk mendapatkan sesuatu, tapi karena mengikuti ajakan kaki yang tak tahan berlama-lama berdiam diri. Tidak ada yang keliru kan?
Sore itu aku berjalan seperti warga desa Rajahan lainnya. Menyusuri beberapa gang sempit yang becek dan bau amis. Sama seperti biasanya, sore ini mereka akan mengambil air wudlu di pancuran belakang mushola. Aku menyengaja jalan searah dengan mereka agar aku bisa bertegur sapa. Tapi rombongan muda-mudi dengan pakaian rapi itu justru membelokkan arah. Mereka berusaha menghindar agar tak berpapasan denganku. Pasti begitu, selalu begitu. Tapi sudahlah. Toh, aku pergi bukan untuk menemui mereka. Aku melangkah untuk menggembalakan hati. Itu saja. Kemana kaki sanggup menapak akan kuturuti hingga batas jalan.
Entah apa yang membuat kakiku begitu gemar menapaki bukit Rajahan, aku juga tak paham. Tapi sore itu, saat penduduk lain berbondong-bondong ke mushola, aku justru berada di bukit Rajahan. Angin bukit yang bersemilir dari sela-sela daun pinus menerpa kulitku hingga terasa begitu segar. Aku rentangkan kedua tangan agar angin itu juga mengalir melewati lengan dan ketiakku. Nikmat sekali.
Lama aku bertahan dengan kedua tangan terrentang, hingga wanita-wanita tua dan muda-mudi itu keluar dari mushola. Kutatapi mereka satu persatu hingga demikian cermat. Aku paham siapa mereka. Bahkan akhu hafal warna cat rumah mereka. Yang berjalan paling depan adalah Bu Ningsih, yang tadi siang mencari kutu sambil menggunjingkan aku. Sedangkan gadis yang bermukena itu Nurjanah, yang tadi sengaja berbelok arah agar tak berpapasan denganku.
Angin sore yang tadi menerpaku mulai menggelinding dari bukit tempatku berpijak menerpa kedua wanita itu. Mukenanya berkibar begitu lembut saat angin menyambarnya, begitupun ujung lengan baju mereka. Indah sekali.
Aku selalu gembira melihat orang-orang yang tak gembira melihatku. Aku ingin mukena itu berkibar di belakangku, aku ingin pergelangan tanganku dihiasi kibaran ujung lengan baju. Tapi tidak. Tak ada kibaran mukena yang melambai begitu halus dibelakangku. Yang kulihat hanya rerimbunan perdu yang terseok diterpa angin.
Begitupun pergelangan tanganku. Tak berhias apapun kecuali noda hitam dan bau bacin. Ya, kudapati seluruh tubuhku hitam pekat oleh kotoran yang melekat begitu erat.
Inilah aku. Aku yang berbeda dari mereka. Aku yang tak terbungkus oleh apapun hingga aku menjadi aku yang sesungguhnya tanpa embel-embel apapun. Sekarang aku tahu. Aku tahu mengapa aku sering kedinginan jika ku rebahkan tubuhku di emperan toko. Ternyata itu karena tubuhku tak terbungkus apapun, tidak seperti mereka.
Aku beranjak dari tempatku tertegun. Kulangkahkan kaki ini satu demi satu. Meluncur melintasi dinding bukit menuju kumpulan wanita-wanita tua dan muda-mudi itu. Langkah kakiku semakin cepat hingga batas kecepatan yang tak dapat lagi kukendalikan. Kugapai mukena yang sejak tadi berkibarmenghiasi langkah gadis ranum bernama Nurjanah itu. Aku menariknya sekuat tenaga, tapi gadis itu justru berteriak begitu keras. Beberapa pria dewasa lari menghampiriku. Mereka memukuliku, memukul wajahku, ubun-ubunku, telingaku, juga payudaraku.
Terpaksa kulepaskan mukena itu saat aku merasa tak tahan lagi. Tak kuduga masih ada satu lagi bogem mentah yang meluncur di wajahku. Brak! Aku tersungkur. Mengaduh, meronta, merintih, menangis. Sedangkan pria-pria itu meninggalkanku sambil meludah.
“Dasar sampah! Cuih..”
Bersama kebabakbeluranku aku bangkit. Kakiku kembali tergerak menapaki jalan setapak menuju bukit. Aku kembali tertegun di atas bukit sambil menanti sepoi angin yang mungkin akan kembali datang.
“Kenapa mereka melakukan ini padaku? Apa hanya karena aku tak bermukena?” batinku.
Kali ini angin benar-benar datang, dari pucuk pohon pinus. Ku balikkan badanku agar angin itu menerpa wajahku. Oh nikmat. Seketika itu rasa sakit, pegal dan ngilu itu musnah terbawa angin.
“Rajahan, saat ini aku yang bertengger di atas mahkotamu. Aku yang menguasaimu, aku yang berhak memerintahmu! Beri mereka hukuman atas kedzaliman ini.”
***
Malam bergemuruh. Terang, tapi ada terdengar suara badai yang membuatku segera terjaga. Sekilas kupandangi keadaan di sekitarku. Hanya rerimbunan pohon pinus yang pagi itu belum terlihat jelas. Pagi masih dibutakan kabut hingga pandanganku tersaput. Entah suara apa yang kudengar tadi. Aku hanya bisa menanti pagi agar bisa kulihat jelas apa yang terjadi.
Menunggu jelas bukan pekerjaan yang menyenangan pagi itu. Tidak jika bersama hawa dingin dan sisa gutasi yang menggantung di ujung daun. Tapi aku harus tetap terjaga agar setelah pagi aku bisa tahu suara gemuruh itu. Dan, benarlah yang aku duga.
Gemuruh itu bersumber dari bukit Rajahan yang sebagian tanahnya runtuh menimpa desa. Desa kecil yang biasanya ramai, riang terisi teriakan anak-anak kecil tak terlihat lagi. Keseluruhannya telah tertimbun reruntuhan. Tak ada lagi desa. Hanya ada kubah mushola keperak-perakan yang memantulkan sinar matahari.
Aku tak mengerti. Sungguh, aku tak paham dengan hal yang baru saja terjadi. Tempatku hidup menggembala hati telah terpendam. Benar-benar menakjubkan. Dari kejauhan kulihat sehelai kain putih tersangkut di atas ranting pinus. Kain itu adalah mukena, yang sumpah, seumur hidupku aku ingin memakainya. Kudapati dan kukenakan mukena itu sebagaimana kebanyakan mulimah memakinya. Tubuhku yang kotor, bau, dan bersisik karena telah begitu lama tak mandi kini terbalut mukena; kain suci yang kuidam-idamkan.
Siang bergulir. Remang-remang mentari pagi telah tergeser sinar tajam yang terang benderang. Aku girang melompat ke sana kemari dengan mukena yang membalut tubuhku. Hingga beberapa orang petani yang sedianya berangkat ke ladang berteriak histeris. Mereka menangis, menjerit, hingga beberapa diantara mereka roboh. Mereka melihat peristiwa ini sebagai bencana. Padahal aku bersyukur karena dengan seperti ini aku bisa mengenakan mukena. Ya, mukena!
Awalnya hanya beberapa orang yang datang. Mungkin hanya sepuluh, lalu seratus, lalu seribu, lalu entahlah. Bukan hanya orang saja yang berbondong-bondong. Tiba-tiba sebuah sepeda motor datang, lalu truk, lalu tronton, lalu helikopter yang melintas persis diatas ubun-ubunku. Lalu beberapa mobil yang membawa kamera, pemancar, obat-obatan, dokter, roentgen dan entahlah. Tapi, luka siapa yang akan mereka obati? Pantat siapa yang akan mereka suntik? Siapa pula yang akan mereka wawancarai? Tak ada.
Rajahan tertimbun beserta kehidupannya. Tak ada kehidupan yang tersisa kecuali aku. Dokter-dokter itu menghampiriku dan menggendongku ke dalam ambulan. Tubuhku yang kotor mereka bersihkan lalu mereka periksa dengan begitu seksama. Aku yang saat itu tak paham dengan perlakuan mereka hanya menurut, pasrah hingga mobil putih dengan sirine di atas kapnya itu meluncur membawaku ke salah satu rumah sakit besar. Sepanjang itu aku terdiam tanpa berucap sepatah katapun. Aku justru bingung dengan tingkah para dokter itu yang tegang, sibuk dan tampak khawatir.
Di rumah sakit itulah aku dimandikan. Itulah mandi pertamaku setelah beberapa bulan terakhir. Tubuhku terasa begitu segar saat mereka menggosokkan sabun ke sekujur tubuhku. Satu persatu sisik yang menempel di kulitku terlepas menjadi begitu lembut, harum seperti sekuntum mawar putih. Aku semakin bingung saat mereka menidurkanku di kamar besar dengan bermacam alat elektromedik. Bagiku, kamar itu seperti surga. Sejuk, luas, indah, bersih, terlebih segalanya berwarna putih. Termasuk seragam beberapa dokter muda yang sibuk merawatku. Suster cantik berperawakan semampai menyuapiku bubur dan telur dadar beberapa saat kemudian. Rasanya luar biasa lezat. Mak Nyus.
Setelah suapan terakhir datang dua orang wartawan. Seorang wartawan itu perempuan, satunya lagi, yang memanggul kamera, adalah laki-laki.
“Bu, tolong ceritakan kronologi bencana tanah longsor yang menimpa kampung anda,” wartawati. Menyodorkan mikrofon persis di depan mulutku.
“Ibu adalah satu-satunya korban selamat dalam bencana tanah longsor itu, tolong ceritakan bagaimana ibu bisa selamat?”
Aku tak menjawab apapun. Tepatnya, aku tak berucap apapun hingga dokter yang merawatku datang.
“Kondisi pasien belum sepenuhnya stabil, jadi saya mohon untuk jangan diwawancarai dulu.”
“Kira-kira kapan pasien sudah dapat kami wawancarai Dok?”
“Saya tidak tahu persis, mungkin dua hari lagi.”
“Kami akan mengundang pasien ini ke studio kami setelah memungkinkan.”
Untuk pertama kali aku duduk di atas kursi roda. Seorang petugas rumah sakit mendorong kursi roda tempatku duduk. Sedangkan dokter dan suster berjalan persis disampingku, bahkan masih banyak lagi orang-orang yang mengawal kepergianku ke studio televisi. Seorang polisi berjalan di belakangku, seperti ajudan. Sedangkan tentara berbaret merah mengawalku dari belakang. Magazinenya terpasang.
Puluhan, ratusan bahkan ribuan jepretan kamera mengawali perjalananku. Bahkan lampu blitz itu tak berhenti hingga aku masuk ke studio televisi. Wartawan yang tempo hari mewawancaraiku di rumah sakit langsung menyalakan kamera saat aku masuk. Aku tersentak melihat ruangan besar yang megah dengan tata cahaya dan interior yang megah. Mereka benar-benar membuat acara livedengan menghadirkanku sebagai narasumber. Aku, dokter dan seorang wartawati duduk berjejer persis di depan kamera.
“Pemirsa, hari ini secara eksklusif kami akan mewawancari satu-satunya korban selamat dalam bencana tanah longsor di Rajahan. Siaran yang kami tayangkan secara langsung ini juga dapat anda saksikan di tujuh chanel lain.” Hampir satu jam aku dan dokter ditanyai secara bergantian. Dan begitulah wawancara itu berlangsung. Reporter itu bertanya kepadaku dan aku hanya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’ Setelah itu reporter akan bertanya lagi dan aku akan menjawab dengan jawaban yang sama.
Usai wawancara, aku sangat gembira. Aku ingin melompat dan berjingkat lari untuk menumpahkan kegembiraanku. Namun aku harus tetap tenang, tetap menjadi orang yang tak berdaya di atas kursi roda. Memang itu yang harus aku lakukan agar aku tetap menjadi orang yang dipentingkan.
“Permisi Bu,” seorang laki-laki bertubuh tegap menghadangku. “Kami dari pusat studi bencana. Kami ingin agar ibu hadir dalam seminar yang kami adakan. Kami berharap banyak agar ibu berkenan kembali menuturkan peristiwa bencana alam yang terjadi di dusun Rajahan.”
Keesokan harinya aku dan dokter telah berada di ruang besar di salah satu universitas terkemuka. Seminar ini lebih menyerupai simposium. Bersama seorang moderator dan ahli geologi aku duduk di depan ribuan orang untuk menceritakan bencana yang aku saksikan. Seperti biasa, aku bercerita sesuka hati. Beberapa bagian cerita sengaja aku robah dan beberapa bagian lainnya aku tambah agar lebih menarik. Aku senang saat orang-orang haru mendengar ceritaku. Aku juga senang saat mereka bertanya begitu antusias. Dengan keterbatasan perbendaharaan kataku aku menjawab, sesuka hatiku. Dan orang-orang itupun makin hanyut dalam cerita yang tak aku sendiri tak paham maksudnya
***
Dua hari berselang sejak aku diundang ke seminar, ku dengar terjadi tsunami di kota seberang. Sejak itu, gambar-gambarku dalam koran dan televisi mulai jarang terlihat. Mereka terlalu sibuk memberitakan bencana yang terjadi kemarin sore itu. Bahkan tak mau lagi menampilkan wajahku sebagai satu-satunya saksi hidup dalam bencana di dusun Rajahan.
Jika seperti ini, tak akan ada wawancara lagi untukku. Tak ada lagi sarjana yang mengundangku sebagai pembicara dalam simposium. Jika seperti ini, aku tak akan dikenal lagi. Jika seperti ini, kehidupanku akan kembali seperti saat bencana itu belum terjadi. Jika seperti ini aku akan menjadi makhluk Tuhan dengan jazad tanpa jiwa. Seperti saat tubuhku belum terbungkus mukena. Gila!
Banjarnegara, 2 Juli 2006
No comments:
Post a Comment