Kebenaran di negeri ini aku yang menentukan, bukan Tuhan. Akulah yang membedakan kebenaran dan kekeliruan dengan sangat jelas. Aku, si Palu Sidang, bukan ngerso dalem hakim agung.
Teman-teman memanggilku Ludang. Akulah palu yang hakim gunakan dalam memutuskan kasus di pengadilan. Hakim-hakim itu kerap menumbukkan aku dengan kekasih lamaku, Meji si meja hijau, saat membuat keputusan. Bunyi ‘thok..!’ itulah suara khasku yang bisa membuat siapapun berdebar kencang. Aku juga benda yang dibunyikan dengan tanggung jawab tinggi. Hakim yang memegang ekorku berani mempertanggungjawabkan setiap ketukanku pada masyarakat, juga pada Tuhan. Ya, suaraku harus dipertanggungjawabkan kepada Dzat yang maha tahu.
Jika seseorang ingin mendengar suara drum, ia dapat memukul drum sisa aspal atau tampungan bensin dipinggir jalan, gratis. Jika seseorang lainnya ingin mendengar suara gong yang telah diaransemen dengan perangkat gamelan lain, dia bisa mengundang para niyaga untuk menabuhnya. Kalau tidak, membeli kaset calung bajakan seharga lima ribu perak. Tapi jika ada seseorang ingin mendengarkan suaraku sekehendaknya, mereka harus membayar mahal. Sangat mahal.
Untuk beberapa ketukan saja, seseorang harus membayar hingga milyaran rupiah, tergantung tempatku. Jika aku berada di pengadilan negeri, harga suaraku memang mahal, tapi masih dapat dijangkau kebanyakan orang. Jika aku berada di pengadilan tinggi, harga suaraku lebih mahal. Dan jika aku berada di tingkat kasasi, harga suaraku sangat mahal. Ya, sangat mahal hingga hanya beberapa orang saja yang dapat membelinya.
Bahkan jika ekorku tergenggam oleh hakim agung, harga komersilku bisa melambung tinggi bahkan berlipat ganda. Setiap ketukannya tidak akan terbeli hanya dengan uang milyaran rupiah, biasanya aku dibeli dengan hati nurani, moralitas dan akhlak. Mahal bukan?
Belakangan, saat negeri ini mulai berbenah, para peminat suaraku juga semakin banyak. Harga suaraku bisa naik gila-gilaan karena peminatnya adalah para pemuka negeri yang tak ingin terbongkar kedoknya. Mereka akan menukar semua milik mereka dengan suaraku agar aku ditabuh sesuai pesanan. Tapi pada saat yang bersamaan, banyak orang yang berusaha mati-matian agar tidak berjumpa dan mendengar suara khasku. Mereka lebih suka menyelesaikan kasus hukumnya di belakangku. Mereka pikir jika aku tak tahu mereka akan selamat. Keliru!
Senja menjelang petang. Ruang pengadilan sudah sepi, sama sekali tak berpenghuni. Dalam keremangan sisa-sisa sinar matahari, ruang itu semakin tak terlihat. Semakin gelap, semakin kelam. Yang tertinggal hanya aku, Meji, dan beberapa teman karibku; Si Kurkim (Kursi Hakim), Si Mera (Meja pengacara), Si Kursa (Kursi tersangka) dan Si Siton (Kursi penonton). Bahkan malam ini si kembar Si Mesa (Meja jaksa) dan Mesi (Meja saksi) juga datang.
Mengawali perbincangan senja, Siton menggeliat tampak kesakitan.
“Adu…h pinggangku sakit sekali,” keluhnya sambil memegangi pinggang. Aku yang sejak tadi terdiam di atas pangkuan Meji, khawatir.
“Siton, kenapa kamu?”
“Pinggangku sakit sekali, seharian penuh orang-orang itu duduk di atas punggungku.”
“Kamu terima saja, itu sudah tugasmu.”
“Kamu sih enak, sudah terkenal, harganya mahal, kerjaannya juga enteng.” Siton tampak iri. Mendengar Siton setengah mencemooh aku sedikit tersinggung.
“Hush!, jangan asal ngomong kamu. Meski aku jauh lebih kecil dibanding kalian, justru tugasku yang paling berat.”
Mendengar perbincanganku dengan Siton, Si Kurkim bangun. Sejatinya ia tampak lelah, kupikir ia sudah tidur.
“Hei Ludang, jangan sombong kamu. Di antara kita, aku yang pekerjaannya paling berat.” kata Kurkim, sedikit berbangga.
“Memang apa tugasmu, hmm?” sahut Mera tak mau kalah.
“Bayangkan, seharian penuh aku harus menopang tubuh para hakim yang berat itu. Aku tidak tahu kenapa mereka begitu berat hingga hampir membuat tulang punggungku remuk. Bahkan kalau mereka kentut, baunya bukan main,” keluh Kurkim.
“Mereka berat karena perut mereka diisi makanan yang tidak halal, sogokan, sogokan… Kalian kan tahu sendiri, harta haram itu mengandung setan.” seloroh Mera. “Seberat apapun bebanmu, pasti lebih berat bebanku,” lanjutnya.
“Kenapa begitu?”
“Orang yang make aku adalah orang-orang yang sudah dibayar mahal untuk membela para tersangka. Mereka tetap ngotot meski orang yang dibelanya jelas salah. Aku tidak habis pikir.”
Mendengar ucapan Mera, Si Mesi yang sejak tadi asyik bersama Mesi, seperti tak terima. Wajahnya memerah lalu bicara dengan nada tinggi.
“Hei Mera, jangan sombong! Lihat bebanku!” sentak Mesa. Beberapa saat wajahnya merah menyala.
“Memang apa bebanmu?”
“Aku digunakan oleh para jaksa yang sudah di gaji negara, kalian kan tahu bahwa mereka telah terikat sumpah saat mereka dilantik,” wajah merah Mesa padam. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Kenapa kamu nangis Mesa” tanyaku.
“Siapa bilang aku menangis? aku cuma sedih saat aku tahu bahwa banyak jaksa yang menggunakan aku selalu kebingungan. Mereka kerap ditawari uang untuk meringankan tuntutan.”
“Seperti Urip nie…” ledek Mesi.
“Sudah, jangan sedih,” aku coba menghiburnya. Beberapa saat wajahnya terlihat lebih cerah, meski masih tergenang air mata di pelupuknya..
“Tutup mulut kalian!” teriak Kursa tiba-tiba. Aku tersentak, begitupun teman-teman lain.
“Hei Kursa, kenapa teriak-teriak? Kamu marah?”
“Mulut besar kalian! Kalian menganggap kalian yang paling menderita tanpa melihatku. Lihat aku.” lanjut Kursa sambil memperlihatkan punggungnya. Aku melihat kesedihan bercampur amarah pada wajah Kursa. Tapi ini bukan yang pertama, Kursa memang sering bertingkah seperti itu.
Berlahan aku turun mendekati Kursa, begitupun Mesa, Mesi, Kurkim dan Meji. Aku kasihan, Kursa tampak begitu menderita.
“Kenapa kamu marah? Coba ceritakan pada kami,” pinta Mesa.
“Iya, ceritakanlah.” sahut Meji dengan suara lembut khasnya.
Sembari mengusap air mata, Kursa memulai cerita.
“Kalian ingin tahu kesedihanku?”
Kami mengangguk.
“Siapa yang menggunakanmu, Ludang?” tanya Kursa, menatapku tajam.
“Hakim.”
“Ya, kau digunakan oleh hakim yang terpelajar dan terhormat. Sedangkan aku?” tanya Kursa lagi.
“Setiap hari aku diduduki oleh para tersangka. Mereka adalah orang-orang jahat, tak berperikemanusiaan. Punggungku terlalu lelah karena tiap hari diduduki para penjahat, maling, copet, rampok, pembunuh, pemerkosa, lacur, germo, bahkan koruptor. Mereka biadap.” keluh Kursa, meneteskan air mata.. Aku iba melihatnya, aku yakin begitu juga teman-teman lain.
“Tapi bukan hal itu yang membuatku begitu bersedih” kata Kursa lagi.
“Lalu apa?”
“Kadang aku juga diduduki oleh orang baik. Mereka tak bersalah tapi harus menjadi salah karena dipersalahkan penguasa yang tak mau dianggap salah” untuk kesekian kalinya, air mata meleleh dari pelupuk mata Kursa. Beberapa saat suasana berubah hening.
“Jangan sedih lagi, mulai sekarang aku janji tidak akan sembarang mengetuk lagi. Aku janji!” kataku menggebu-gebu.
“Aku juga” sahut Mesa. “Aku berjanji tidak akan menuntut orang-orang yang tak bersalah. Kamu benar, kasihan mereka”
“Kalian juga janji kan?” tanya Mesa memandangiku dan teman-teman lain.
Kurkim, Mera, Siton dan Meji mengagguk hampir bersamaan. Hanya Mesi yang diam, ia tampak tak antusias.
Banjarnegara, 6 Juli 2008
No comments:
Post a Comment