Wednesday, 28 March 2012

Perjalanan Ke 3

: Sri Fiby Irmanti
“Dari sini segalanya berawal,” kata Ratna pada dua asisten yang mendampinginya.
Warung bakso yang berjejer menyita badan jalan tentu biasa, sama sekali tak terkesan istimewa. Warung beratap tenda dengan tiang penyangga bambu justru menciptakan suasana kumuh. Pantaslah mereka harus berjibaku beradu eksistensi dengan petugas trantib. “tapi tidak dengan warung bakso yang satu ini” lanjut Ratna sembari menyilangkan paha.
“Mestinya warung ini menjadi ikon betapa bakso dapat berjalan berdampingan dengan kemajuan zaman.”
Berdiri di sudut kota kecil, persis di pinggir jalan raya. Menatap warung mungil yang satu ini sama sekali tak menjemukan. Tembok bercat krem yang separuhnya dilapisi anyaman bambu dan beberapa lukisan alam membuat warung ini lebih menyerupai rumah seni. Ya, rumah seni yang biasa dimiliki penulis besar sebagai tempat menggembala ide-ide liar.
“Ceritakan kami sebuah kisah cinta, Bu” seloroh salah satu asisten Ratna. Dia tersenyum, menyunggingkan bibir, layaknya gadis remaja yang disanjung kekasihnya. Kau lihat toko buku tua itu? Dulu kami mengunjunginya sekedar mengisi waktu luang. Kota ini memang tidak menawarkan banyak hiburan melebihi festival thek-thek atau panggung seni remaja. Lihatlah, betapa toko buku  itu kini berubah sepi. Pesonanya memudar tak seperti gadis-gadis yang menjaganya.
Dia yang mengajakku ke tempat itu pertama kali. Bagiku sangat menjemukan. Dia yang mengaku suka menulis, membuatku tak habis pikir mengapa dia mengajakku ke toko buku. Tempat yang tak lazim di kunjungi remaja seperti kami. Ya, remaja yang untuk pertama kalinya berjanji jalan-jalan bersama. Toko buku.
Dia mungkin memang suka menulis, tapi kurasa dia bukan pembaca yang baik. Dalam toko buku dia hanya membaca sinopsis beberapa novel, jenis buku yang membuatnya terobsesi untuk menerbitkannya. Bahkan ia katakan hal itu saat matanya tertuju pada back cover sebuah buku berjudul Souvenir dari Dien Bien. Kulihat jelas kesukaannya pada buku, sebagaimana ia katakan “aku jatuh cinta pada buku” lewat tatapan matanya.
Kabut melenggang menyelimuti kota, Tuhan bertitah melalui rintik gerimis. Dinginnya menyapu keceriaan bocah yang sedari tadi main bersama ibu dan kakak perempuannya. Juga pedagang dawet ayu yang harus menepi ke emperan took agar dagangannya tak basah. Entahlah, bisa jadi aku satu-satunya orang yang nyaman menyambut hujan. Gerimis itu, butiran-butiran hujan yang jatuh bersamaan. Menggiringku pada suasana baru. Membuatku merasa berada di pinggiran sebuah danau sambil menikmati beberapa butir strawbery.
Hujan benar-benar mengguyur. Mencoklatkan hijau daun beringin yang kokoh meneduhi alun-alun. Kau tahu, apa yang ia katakan padaku? “sayang kita tidak bisa memutari alun-alun lagi” Ya, dia benar-benar mengatakan itu. Katanya, dia belum puas berkunjung ke Semarang jika belum memutari simpang lima sebagaimana ia belum puas ke kota jika belum memutari alun-alun.
Dia memang sepert itu, membuatku ragu untuk menyebutnya aneh, unik atau gila. Kurasa ia akan senang jika kusebutkan ketiganya. Apaun alasannya ia tampak gembira. Setidaknya hujan memberinya alasan yang tepat unuk mengajakku ke warung bakso. “Kuah bakso akan menghangatkan tubuh kita” tuturnya setengah bercanda. Kalau kalian ingin tahu, inilah tempat yang tak pernah kulewatkan saat pulang kampung. Tak pernah sekalipun. Kesibukanku merancang busana untuk berbagai pesanan sering membuatku mati ide, dan tempat inilah yang mampu menghidupkannya kembali.
Di sudut ini, ya persis ke sudut ini dia menarik tanganku duduk. Kupikir, walau aku suka merubah interior rumah, dia punya selera yang bagus memilih tempat. Dekat dengan jendela, di bawah lampu neon, dekat dengan hiasan batu marmer mungkin menjadi pertimbangannya. Aku ta sadar saat itu. Aku hanya merasa kaku melihatnya berancang-ancang merayu. Ia tak katakan apapun tentang keseharian, cita-cita atau pengalaman hidup. Setengah tak percaya, ia membuka pembicaraan tentang langit, laut, awan, juga edelweiss. Sekali lagi kukatakan pada kalian, dia memang begitu.
“Kau pernah jalan-jalan dengan seorang pria?”
Aku mengangguk, enggan untuk berkata ‘ya’
“Berapa kali?”
“Dua kali”
“Jadi ini perjalanan ketigamu?”
Sekali lagi aku mengangguk. Pada seorang pria, aku tidak biasanya bersikap seperti itu, tapi kali ini berbeda. Dia yang banyak bicara menyelinap dalam kalutnya suasana hati. Untuk hal seperti itu aku lebih suka mengibaratkannya sebagai kupu-kupu atau kelelawar yang hinggap dalam pupus daun dengan sangat berlahan. Dan, seperti itulah dia.
“Katanya kau selalu ceria, kenapa sekarang murung? Cobalah tersenyum untuk menikmati hidup”
“Jangan mengajari seorang yang tak pernah merasa hidup untuk menikmati hidup”
“Ayolah, jangan memvonis diri. Hidup terlalu singkat untuk dilewatkan bersama kesedihan”
“Bagimu hidup itu singkat? Sesingkat apa?”
“Sesingkat lembaran kanvas yang harus kau lukiskan semut, belalang, kerbau atau gunung. Sesingkat apapun harus tetap kau lukis seindah mungkin”
Saat itulah Tuhan benar-benar mengguyur kota dengan lebatnya hujan, sebagaimana kata-kata itu benar-benar melembabkan hatiku.
“Apa kau suka melukis?”
“Tidak terlalu”
“Tapi pernah melukis?”
“Ya”
“Apa kau puas dengan hasil lukisanmu?”
“Ya, aku puas”
“Aku yakin itu karena kau berusaha melukis dengan seindah mungkin. Kamu pun akan puas dengan kehidupanmu kalau kau berusaha menikmatinya”
Kalian tahu kata-katanya? Tentang lukisan, tentang keindahan, tentang hidup, benar-benar membuatku hidup. Aku tak pernah menyangka, bahkan mungkin ia juga, bahwa lukisanku benar-benar membuatku hidup, memberiku kehidupan. Gambar-gambar ini, yang kulukis dengan cinta dan ketulusan, bagiku bukan gambar biasa. Gambar ini yang berubah menjadi pesawat kertas dan mengantarkanku menjadi perancang busana. Kalian percaya bahwa  butik-butikku, factory outlet, kemapanan hidup, bahkan popularitasku ku bangun dengan selembar kertas. Ya, selembar kertas yang ia sebut lukisan.
Seandainya ia masih duduk di bersamaku, makan bakso saat gerimis, ia tak akan menyebut gambarku lukisan. Dengan puisinya ia akan katakan itu hidup. Nyatanya, hari ini aku makan bakso dengan kalian, tanpa dia.
“Dimana dia sekarang, Bu?” tanya asisten Ratna.
Ratna diam. Ia tak melanjutkan makan meski masih ada tiga butir bakso tersisa.
“Maafkan saya Bu. Saya tidak bermaksud buat ibu sedih”
“Tak apa. Entahlah, terakhir ku terima pesan ini darinya”
“Lukislah hidupmu, sedsngkan hari ini aku akan  memutari alun-alun kota”
******
“Dari sini bisa kalian lihat bangunan tinggi kini. Ya, bangunan di belakang kadipaten itu contohnya, dulu hanya stasiun radio kecil. Tapi kini telah meninggi menutupi kota dari semburat matahari pagi” tutur seorang guide pada rombongan bocah yang tengah berwisata.
“Siapa orang berjaket biru itu?” celutuk salah seorang bocah.
“Dia penderita amnesia ringan”
“Kenapa dia memutari alun-alun?”
“Dia pernah terjatuh dari sepeda motornya saat memutari alun-alun ini beberapa tahun lalu. Karena kecelakaan itu terjadi pendarahan pada otak yang membuatnya amnesia. Ia kehilangan sebagian kenangannya dan menganggap hari ini sama sepert hari dimana ia jatuh”
“Apa dia akan tetap memutari alun-alun setiap hari?”
“Ya, mungkin”
“Sampai kapan?”
“Entahlah, mungkin sampai…”
Banjarnegara, April 2007

No comments:

Post a Comment