Wednesday, 28 March 2012

Pertanyaan di Savana Balkar

SELALU ada pertanyaan mengambang ketika Leonidas, Raja Albaizar, melintasi savana Balkar dua hari perjalanan menjelang gerbang kerajaannya. Di tanah lapang itu ilalang tumbuh berdesakan, terbelah oleh sungai kecil yang bisa dilewati dengan dua lompatan.
Pemandangan savana Balkar tak pernah menjemukan. Dua ribu prajurit Leonidas, ketika berangkat perang dua pekan lalu memita ijin untuk berlama-lama istirahat di sana, tapi Leonidas menolaknya. Sekarang, dua ratus lebih pasukannya yang tersisa setelah pertempuran sengit di gurun Mandrib Uraiyah berdiri di belakangnya mengatakan hal serupa, ia luluh.
Selalu ada pertanyaan mengambang di savana Balkar. Leonidas masih duduk di punggung Preon, kuda yang oleh seorang kolega disebut sebagai yang terbaik di Eropa selatan. Persilangan jenis lokal dengan kuda Romawi yang gagah seperti Troya.
Leonidas yang punya seorang putra menarik napas panjang sambil melepas pelindung kepalanya. Zirahnya terasa berat. Hembusan napasnya pelan, bercampur dengan angin Balkar sore itu. Pandangannya membentang jauh, mendarat di antara pucuk-pucuk ilalang.
Selalu ada tanda tanya ketika Leonidas menatap savana Balkar, entah kini atau beberapa bulan lalu. Tapi Leonidas tak pernah berani mengutarakan pertanyaan itu pada prajuritnya. Pertanyaan itu ia biarkan mengendap dalam pikirannya, untuk sementara, sebelum kembali mengemuka.
Pulang dari pertempuran di gurun Mandrib Uraiyah, Leonidas dan dua ratus-an sisa pasukannya dibuai kemenangan. Seribu delapan ratus kawan mereka memang tewas, tapi kemenangan besar membuat mereka tak demikian berduka. Di bawah Leonidas dua ribu pasukan Albaizar memporakporandakan pasukan Manthropalus yang kondang kebringasannya. Mereka menang dalam pertempuran heorik selama dua pekan di gurun Mandrib yang panas memekikan.
Perjalanan dari medan tempur mereka lewatkan dengan gelak tawa. Senyum mengembang. Dua puluh tahanan perang, yang sedianya akan dijadikan budak, mereka bawa melengkapi enam peti perak.
Di Balkar ia melihat pelangi melengkung dalam sembilan warna. Ada uap air yang terlihat dari sepanjang sungai. Bahkan busukan-busukan rumput yang tersublim menyajikan ganda yang aromanya sangat lezat, membuatnya teringat pada harum parfum Grenouillè. Tiga puluh tujuh tahun ia menjadi raja, hanya di savana Balkar Leonidas bisa merasakannya, bersama sebuah pertanyaan yang mengambang. Untuk apa perang ini?

***

Di gerbang polis kerajaannya, Leonidas menghirup kuntum-kuntum melati yang berserakan di sepanjang jalan. Rakyat berjejer di pinggiran jalan mengelu-elukan namanya. Mereka memberi penghormatan pada raja, sesembahan kedua mereka setelah Talot, dewa mereka.
”Jayalah Raja Kami Leonidas! Jayalah,” ucap mereka serempak.
Kota riuh. Penduduk tumpah di depan gerbang kerajaan Albaizar yang berhias perunggu. Di ujung barisan itu Ratu Alamaida menatap Leonidas dengan sangat mesra. Sedangkan putra Leonidas duduk di sampingnya mengenakan zirah kecil yang dipakainya dalam latihan perang.
Leonidas tak beranjak seberapa lama. Ribuan penduduk terus bersorak. Mereka mengepalkan tangan dan mengacung-acungkannya sebagai penghormatan. Mata Leonidas berbinar. Ia terlampau bahagia kerajaannya begitu sentosa. Gerbang bata yang dilengkapi panah membuat musuh tak sekalipun berpikir mendekati mereka.
Leonidas menuju gedung suci, beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Di sanalah Talot, sebuah patung yang belasan kali lebih besar dari tubuhnya berdiri. Patung itu megah, terbuat dari batu kapur putih dengan hiasan emas, perak, dan perunggu. Mahkotanya berkilauan seperti semburat matahari pagi.
Leonidas melepas pelindung kepalanya. Mendongak lantas menatap patung itu seberapa lama. Air matanya luluh. Jatuh dari sudut mata mengalir ke pipi hingga dagunya.
”Talot, tuhan sesembahan kami. Kami pernah merasakan badai paling mengerikan yang kau berikan. Kami pernah kelaparan karena ingkar. Tapi sekarang kau berikan anak, istri, dan rakyatku segala yang mereka butuhkan. Terima kasih, Talot, sesembahanku,” ucap Leonidas, suaranya bergetar.
Tidak ada raja di daratan Eropa yang tak mengenal Leonidas karena kegagahannya. Dalam perang di Mandrib Uraiyah lalu lebih dari seratus musuh yang mati di ujung pedangnya. Ia memiliki tatapan tajam serupa singa. Suaranya bergetar seperti auman. Membuat lawa-lawannya kaku tak mampu menggerakan satu ruas jaripun.
Tapi Leonidas siang itu berbeda. Ia kecil serupa semut di hadapan Talot, dewa sesembahannya. Ia membenamkan kepala di kaki Talot seraya menangis. Ribuan rekyat yang menyaksikan peristiwa itu terpaku dalam keharuan. Mereka ikut membenamkan kepala di jalan yang masih wangi oleh melati, menyerukan penghormatan kepada Talot, dewa segala dewa.
”Terima kasih Talot, dewa sesembahanku dan Leonidas,” seru mereka, bergemuruh memenuhi sudut-sudut kota.

***

Malam ketiga setelah kepulangannya, Leonidas duduk di salah satu menara jaga istananya. Dari titik itu ia bisa melihat ke seluruh penjuru kota; melihat prajurit yang berjaga, dan tumpukan gandum penduduk yang belum sempat diangkut ke gudang-gudang. Dari tempat itu pula ia melihat pasar yang kosong ditinggalkan para pedagang ketika senja.
Malam ketiga setelah kepulangan Leonidas angin mengalun melewati jendela tampat Leonidas berdiri. Kuntum-kuntum mawar di kamarnya bergoyang pelan. Langit cerah. Lelaki ini melemparkan pandangannya pada sebuah bangunan tempat Talot, tuhannya, berdiri.
Pada malam ketiga suasana malam lebih tenang. Berbeda dengan malam pertama kepulangannya saat tentara dan seluruh penghuni polis terbekap pesta. Mereka terjaga sepanjang malam saat itu. Pegawai kerajaan telah menyiapkan daging domba bakar beserta arak. Ada dua ratus tangki arak malam itu. Di gudang belakang istana, stok arak bahkan cukup untuk memabukan seluruh penghuni polis.
Albeizar larut dalam malam yang menyenangkan. Di depan Talot domba-domba di bakar sebagai persembahan. Puluhan lainnya mereka panggang dengan bumbu garum yang tersaji bersama caviar, menandai kemenangan perang mereka. Buah anggur tertata di meja bersama roti. Di situ pula arak disiapkan dalam gelas-gelas kristal yang berkilauan.
Ketika malam larut, wanita-wanita penghibur mulai berdatangan. Mereka berpesta. Dan ketika kesadaran mulai tersita arak, wanita-wanita itu mulai menanggalkan bajunya. Mereka menari di tengah igauan para prajurit yang mabuk, memamerkan lekuk tubuh wanita Albeizar yang sohor. Dan para prajurit, yang sebulan lamanya tak pulang, larut dalam kesenangan bersenggama di depan Tuhan mereka, Talot.
Setengah tak sadar Leonidas meloncat ke sebuah mimbar, tepat di bawah kaki Talot. Suaranya bergetar.
“Talot memberi kita semuanya. Dan dia hanya memberi dua aturan sederhana; cintailah negara dan jagalah wanita agar tetap di tempat tidur kita,” ucapnya, disambut irbuan rakyat dan prajuritnya.
Di malam ketiga, ketika pesta benar-benar selesai, Leonidas berdiri di salah satu menara istananya. Ia tak jemu memandang tumpukan gandum di pinggir jalanan kota. Ia teringat dua puluh tahun silam di masa paceklik kekuasaannya, saat puluhan penduduk Albeizar mati kelaparan.
Serta merta saja lamunanya terbawa jauh. Ia teringat savana Balkar yang dilintasinya beberapa hari lalu. Melintas gambaran sebuah padang ilalang yang dihiasi pelangi sembilan warna. Ada sungai kecil yang membelah. Juga aroma lezat dari sublim daun-daun yang kering. Sebuah pertanyaan mengambang keluar. Untuk apa semua ini?
Malam itulah ia bergegas mengejar pertanyaan itu. Hanya bersama Preon, kuda tunggangannya, ia membelah malam menuju savana Balkar. Di langit bintang masih menautkan kerlipan membentuk rasi.
Aroma sublim daun-daun kering tak ia temukan ketika datang. Pelangi hilang, bersama hilangnya uap sungai dua lompatan. Di sanalah pertanyaan itu ia dapati begitu nyata. Saat perlahan rasi-rasi bintang menjadi satu, kerlipnya bertautan menyajikan sebuah lukisan. Wajah ribuan prajuritnya yang mati selama perang seperti mengemuka. Mereka melempar senyum dari ujung horison, lantas menjerit seperti bocah sepuluh tahun yang tak sengaja membangunkan singa betina.
Melihat semua itu Leonidas terjatuh dari punggung kuda. Pekikan suara prajurit-parjuritnya membuat kepalanya terasa luar biasa sakit. Ia terguling di antara ilalang, menjerit.
Dengan sangat tiba-tiba suara itu memaksa Leonidas mengingat puluhan perang yang telah dilampauinya. Ia ingat bagaimana menghunus pedang dan menancapkannya ke tubuh prajurit lawan. Dan saat itulah darah membuncah mengotori wajahnya.
Dengan sangat tiba-tiba Leonidas teringat ketika panglima perang Honduras, imperium kecil yang lama bersitegang denga kerajaannya, melemparkan tombak kepadanya dalam sebuah pertempuran. Ia tak sempat menghindar hingga ujung tombak itu nyaris menghancurkan tulang pelipisnya. Ia nyaris mati jika seorang tabib kerajaan yang dipersiapkan untuk situasi seperti itu datang.
Sedangkan peristiwa yang diingatnya dengan perlahan-lahan adalah pengusiran pada kaum Tauhid yang datang ke kerajaannya. Saat itu mereka mengajak Leonidas dan rakyantny aberhenti menyembah Talot dan meyakini Tuhan Sang Tauhid. Leonidas yang saat itu geram mengusir sebagian dari mereka dan memenjarakan sisanya.
Hari ini di savana Balkar seluruh pertanyaan tumpah. Kata-kata pendatang Tauhid bahwa ada kekuasaan yang tak kasat mata terbukti. Ia melihat ada kekuasaan yang tak bisa ditaklukan dengan pedang. Bahkan ketika Leonidas berusaha melawannya, kepalanya terasa semakin sakit. Ia terus berguling di antara rerumputan, memukul-mukulkan kepalanya di atas tanah sebelum akhirnya terdiam. Ia pinsan oleh sebuah pertanyaan yang mengambang.

***
Ketika terbangun, mata Leonidas persis bertumbuk dengan pandangan cemas Alamaida, istrinya. Bocah berumur sepuluh tahun juga duduk di sampingnya dengan pandangan serupa. Mereka berdua terperangkap kekhawatiran luar biasa.
“Akhirnya kau terbangun. Kami sangat mencemaskanmu,” kata Alaimaida, lirih.
“Di mana aku?”
“Kau di istanamu. Kami sangat mencemaskanmu,” ucap Alaimdia lagi.
Bola mata Leonidas berputar-putar. Ia menatap langit-langit istananya yang terbuat dari pahatan logam. Ia menatap lampu krital di atas tubuhnya terasa begitu menyilaukan.
“Istirahatlah, kau akan segera pulih.”
Dengan sangat tiba-tiba Leonidas bangkit. Ia melepas perban yang membalut luka di kepalanya, lantas meraih sebuah kapak yang terpasang menyilang di dinding istana.
Leonidas berjalan setengah berjingkat menuju kuil tempat Talot, dewanya, berdiri dalam persemayaman. Di sana ia naik melalui tangga yang biasa digunakan para penasihat spiritualnya menaruh persembahan. Alaimaida, putranya, juga puluhan prajurit yang berjaga di istana mengikuti langkahnya setengah heran.
Mereka, yang tak pernah melihat Leonidas geram, tak menyangka Leonidas akan melakukannya. Ia menghancurkan Talot dari kepala hingga ujung kakinya, membuat perunggu, perak, dan emas yang menghiasinya berantakan menjadi puing-puing kecil seukuran kepalan tangan.
“Terlalu beradab bagi kita untuk menyembah benda buatan kita. Di antara kerugian, petaka, dan kebahgiaan kita, bukankah ada kekuatan maha besar yang mengaturnya?”
Leonidas terengah.

No comments:

Post a Comment