LAMPU utama kamar perawatan telah lama padam, hanya lampu kecil di atas meja yang masih setia menyinari tubuh lemah Ridwan yang terkulai di atas ranjang. Keremangan juga menyergap kamar jaga perawat yang nyaris tanpa aktivitas. Ridwan terjaga. Ia merasa aneh saat kembali dari alam bawah sadar.
Berlahan pria dengan busana putih ini tersadar. Pipa oksigen, infus dan slang pembuangan urin malang melintang memenjarakan geraknya, namun ia sendiri sama sekali tak merasa sakit. Bahkan saat ia coba melepas perban yang membalut kening dan sekujur kakinya, ia sama sekali tidak merasakan sakit.
“Untuk apa benda-benda ini jika aku sendiri tidak sakit?” gumam Ridwan. Berlahan pria bertubuh sedang ini bangkit dari pembaringan. Mencabut semua pipa yang mengekang langkahnya. Langkahnya gontai, berlahan menuju pintu keluar.
Ditengah keremangan koridor rumah sakit yang memanjang menyerupai gerbong kereta api, Ridwan berjalan setengah lari. Bersama malam yang begitu rakus menyantap setiap suara hingga keheningan terasa begitu sempurna. Tak ada suara apapun yang dapat Ridwan dengarkan kecuali jeritan lantai marmer yeng bercumbu dengan telapak kakinya.
Ridwan berjingkat menuju gebang utama rumah sakit yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sejenak perhatiannya tersita pada lampu taman yang meremang menyinari ikan Mas di kolam hias dekat gerbang. Namun perhatiannya segera beralih pada dua satpam yang tengah asyik bermain catur. Keduanya benar-benar khusu’ hingga tak berkenan mencicipi kopi di samping mereka yang mulai mendingin. Makanan kecil yang terbungkus plastik hitam juga dibiarkan begitu saja.
Ridwan berjalan setapak demi setapak mencoba mendekati kedua petugas jaga malam ini. Dengan suara lirih, Ridwan coba menyapa kedua satpam yang ada dihadapannya.
“Selamat malam Pak?” namun kedua satpam itu tak bergeming, sama sekali tak memberikan respon.
“Permisi Pak…, Selamat malam Pak?…, Pak Satpam, Permisi Pak” berulang kali Ridwan mengulang sapa, namun nihil hasilnya. Kedua pria berseragam putih itu seperti tak melihat keberadaan Ridwan.
“Mengapa mereka tak menyahut?” pikir Ridwan. Merasa tindakannya sia-sia, Ridwan membalikkan badan menuju jalan raya yang sunyi senyap nyaris tanpa aktivitas.
“Oh.., dimana aku sekarang?” bibir kering Ridwan mulai berucap. Tempat itu begitu asing bagi pria yang dulu pernah aktif di sebuah LSM ini.
Pria ini terus berjalan menyusuri hamparan jalan hotmik hitam tanpa ujung. Hanya lampu jalan yang berjejer memanjang sepanjang jalan yang menemani langkahnya. Ridwan merasa jalan ini dibangun memang hanya untuknya.
Dalam langkah tanpa arah, Ridwan tetap berharap agar ia bisa berjumpa seseorang yang dapat ditanyai tentang keberadaanya. Namun dia tak begitu optimis dengan harapannya, tak ada hal yang mengisyaratkan tentang keberadaan manusia. Tak sebegitu lama, langkah pelan Ridwan membawanya pada persimpangan jalan. Satu arah adalah jalan raya, sedangkan arah lainnya adalah gang sempit yang kotor dan gelap.
“Kemana aku harus berjalan?” hatinya bergumam mengisyaratkan keraguan. Langkahnyapun terhenti sejenak, terpaku ragu. Namun tiba-tiba kegaduhan terdengar dari arah gang sempit dihadapannya.
“Suara apa itu? Ramai sekali”
Kegaduhan itu memang luar biasa, menyerupai teriakkan ribuan orang secara bersama. Suaranya satu padu, menggelegar.
“SBY selamatkan kami!” teriakan itu semakin keras saat Ridwan coba mendekati gang kecil itu. Suara itu terdengar begitu keras untuk satu saat, lalu hilang kemudian kembali membahana memecah gendang telinga. Berlahan teriakkan itu berubah menyerupai suara tangisan masal. Tangisan itu begitu keras dan ramai untuk satu saat lalu menghilang, kemudian kembali membahana.
Ridwan terus menelusur, mendekati sumber suara yang menggaduh. Bahkan tak ia sempatkan untuk memperhatikan bahwa diatas gang kumuh itu adalah komplek rumah dinas militer. Semakin jauh Ridwan melangkah, suara itu semakin keras. Gemanya melebihi sound efek di bioskop.
“Apa yang sedang mereka kerjakan ditengah malam seperti ini?” tanya Ridwan dalam gaya retorik. Gang kecil itu berujung juga, tembus pada lorong besar yang semakin gelap. Hanya seberkas sinar pudar yang menembus dibalik celah lorong. Kehampaan membimbing langkah Ridwan menyusuri lorong ber-rel itu. Satu demi satu, besi yang menjulur sepanjang jalan itu dilaluinya hingga suara itu terdengar begitu dekat. Ada lubang sebesar peti mati yang menganga di samping kanan lorong itu. Lorong itulah yang menjadi sumber kegaduhan. Ridwan melongokkan kepalanya.
“Ya Tuhan !!!” Ridwan tersentak, ketika menyaksikan sesuatu yang sedang terjadi di luar lorong.
“Sungguh menakjubkan, sama sekali aku tak menyangka dengan hal yang sedang kusaksikan” gumam Ridwan. Dibalik lorong ada kota besar dengan segala gegap gempitanya. Ribuan orang berkumpul ditanah lapang dekat istana kepresidenan. Mereka berteriak lantang sambil membawa beragam poster bertuliskan berbagai tuntutan, ada pula hujatan kasar yang tertumpah dalam lembaran kain dan kertas. Semuanya berteriak “SBY selamatkan kami. SBY selamatkan kami!” secara serentak.
Muda-tua, pria-wanita, bahkan anak-anak dan balita yang bersandar dalam gendongan orang tuanya juga turut beraksi. Ditengah kerumunan juga terlihat lansia tak berdaya juga garang meneriakkan kalimat itu berulang kali. Mereka tak peduli ada ratusan polisi dan tentara dengan atribut M16, tameng, water canon, gas air mata dan pentungan, kesemuanya bersiap menghadang langkah demonstran yang terus berteriak. Suara itu semakin keras, mereka seperti tak merasakan lelah atau serak.
“Apa yang sedang terjadi?” gumam itu kembali keluar, mendeskripsikan kebingungan yang merujuh dalam kening Ridwan.
Ridwan tak sadar bahwa ada orang lain yang juga sedang khusu’ menyaksikan peristiwa itu. Pria itu berdiri tenang persis disamping Ridwan. Sekilas Ridwan memandangi pria ceking itu. Tubuhnya kecil, rambutnya setengah ikal mulai beruban, berkumis tipis namun terkesan bersih. Wajahnya memancarkan wibawa walau ia hanya mengenakan selop, celana panjang hitam dan hem bermotif kotak-kotak. Pria itu membuka pembicaraan, memecah rasa bingung pada diri Ridwan.
“Apa yang sedang Anda saksikan?” tanya pria itu.
“Demonstrasi”
“Dimana?”
“Di istana presiden”
“Mengapa Anda tak turut dalam kerumunan orang-orang itu?”
“Bahkan saya tak tahu apa yang mereka tuntut, mengapa Saya mesti ikut”
“Mereka menuntut kehidupan mereka” pria itu berbalik bercerita pada Ridwan.
“Mereka tak ingin kehidupan mereka, keluarga mereka, sahabat dan kerabat mereka dirampas petinggi tanah air”
“Apa maksud Anda?” Ridwan seperti tak paham dengan penjelasan pria ceking itu.
“Banyak keluarga mereka yang mati sia-sia”
“Memang kenapa”
“Militeris bejad menembaki mereka tanpa pandang bulu. Orang-orang militer tak sadar bahwa laras panjang yang mereka gunakan diimpor dengan uang rakyat”
“Kenapa bisa begitu?”
“Rakyat sedang berunjuk rasa saat itu, mereka menuntut agar mereka tetap boleh bekerja di pelabuhan”
“Pelabuhan, pelabuhan yang mana?”
“Pelabuhan yang dulu dibangun oleh leluhur mereka bersama Fatahillah, jauh hari sebelum negeri ini bisa membentuk TKR, BKR atau TNI”
“Tanjung Priok?”
“Ya” pria itu menjawab singkat.
“Kenapa demonstran-demonstran itu ditembaki?”
“Mungkin tentara-tentara itu disuruh oleh komandan rayon mereka”
“Kalau begitu penjarakan komandan rayon saja” Ridwan menggegas.
“Mungkin ia hanya disuruh komandan resortnya”
“Kalau begitu penjarakan komandan resort juga”
“Mungkin ia disuruh komandan daerah”
“Penjarakan juga komandan daerahnya”
“Mungkin ia hanya disuruh Kasad”
“Kalau begitu hukum juga Kasadnya, sered saja ke Mahmilub”
“Mungkin Kasad hanya melaksanakan perintah panglimanya”
“Hukum juga panglima mereka, penjarakan!”
“Mungkin Panglima hanya menuruti perintah presiden”
“Kalau begitu hukum saja …..” kalimat Ridwan terhenti seperti kehabiasan perbendaharaan kata.
“Inilah negari kita” ucap pria ceking itu, bibir keringnya berucap datar tanpa ekspresi.
“Maksud Anda?” Ridwan kembali bertanya, tak paham dengan ucapan pria berkumis tipis ini.
“Seperti pisau, benar-benar seperti pisau”
“Apanya yang seperti pisau?” kebingungan kembali membebeli otak Ridwan. Namun pria itu tak menjawab pertanyaan Ridwan, hanya memegang bahu kanan Ridwan sejenak. Isyarat tangan pria itu terbaca oleh Ridwan; ia meminta Ridwan mengikuti langkahnya. Kaki Ridwan kembali tergerak. Menyusuri bantalan rel kereta api yang mulai berkarat. Namun kali ini Ridwan tak sendiri, ada pria berkumis tipis yang melangkah bersamanya.
Langkah kaki keduanya sama sekali tak berhias kata. Tak ada pembicaraan seperti tadi. Namun keadaan itu tak bertahan lama setelah pria berkumis tipis menghenikan langkahnya. Mereka berhenti di dekat lubang pada dinding lorong. Pria berkumis tipis kembali membuka pembicaraan.
“Anda ingin tahu pisau?”
“Ya”
“Lihatlah pisau dibalik lubang ini, lihatlah…”
Ridwan kembali melongokkan kepalanya.
“Ya Tuhan” untuk kedua kalinya Ridwan tersentak. Ada peristiwa besar yang Ridwan saksikan dibalik lubang lorong itu. Tak kurang dari seribu orang tengah berkumpul membawa poster berisi berbagai tulisan. Langkah mereka tegas sambil meneriakkan berbagai tuntutan. Katanya mereka ingin tetap berdagang di pelabuhan untuk menghidupi anak istri.
Lama mereka berteriak melontar berbagi tuntutan, permohonan bahkan berbagai cercaan, namun tidak ada seorangpun menggubris. Mereka terlalu payah dan kesal, lalu memunguti beberapa batu di jalanan dan melemparkannya pada barisan pria berseragam loreng lengkap dengan laras panjangnya.
Beberapa diantara mereka terkena batu yang terus beterbangan. Kawan-kawannya marah dan berusaha membubarkan para demonstran. Tapi para demonstran justru semakin kalap, mengganas. Ditengah keributan para demonstran dan aparat loreng itu, terdengar beberapa kali bunyi ledakan seperti petasan. Ya, tentara-tentara itu melepas tembakan. Demonstran-demonstran itu langsung lari ketakutan, tunggang langgang berhamburan entah kemana. Namun puluhan demonstran tak dapat lari seperti lainnya karena badan mereka bersimbah darah, tersungkur tertembus peluru. Mati!.
Ridwan menghentikan perhatiannya, menarik kepalanya dari lubang pada dinding lorong itu karena ngiris. Nafasnya terengah, berkeringat, wajahnya pucat, seperti orang ketakutan.
“Itulah pisau Saudaraku, pisau!”
“Dimana perististiwa yang baru saja kulihat”
“Di Tanjung Priok”
“Tanjung Priok yang mana?” tanya Ridwan.
“Tanjung Priok yang dulu dibangun Fatahillah bersama rakyatnya”
“Di Jakarta?”
“Ya, di Jakarta, pembantaian itu terjadi di Jakarta, di Indonesia, di negara kita”
“Lalu kemana?, kemana?” Ridwan bertanya dengan nada histeris.
“Kemana apanya, apanya yang kemana?” pria berkumis tipis itu balik bertanya.
“Kemana 5 sila dan 37 pasalnya?”
“Itulah pisau, pisau Saudaraku”
“Maksud Anda?”
“Pisau yang selalu tajam jika diayunkan ke bawah namun tumpul jika diayunkan ke atas; Pisau, negaraku seperti pisau”
“Betulkah negara kita seperti pisau?” Ridwan menggumam antara percaya dan tidak.
“Anda tak percaya bahwa negara kita seperti pisau?” tanya pria berkumis tipis itu penuh teka teki, “Kalau begitu terimalah kertas ini, tolong kirimkan pada alamat yang tertera di dalamnya” lanjut pria itu sambil mengeluarkan secarik kertas menyerupai post card dari balik saku hemnya. Ridwan hanya dapat menerima kertas itu tanpa mengucap sepatah katapun, sedangkan pria berkumis tipis itu langsung mebalikkan badan berlalu meninggalkan Ridwan sendiri dalam gelap lorong.
Pria itu berjalan pelan menuju ujung lorong yang entah dimana akan ia temukan. Bibirnya terus berteriak mengucap kalimat gumam.
“Pisau, negara pisau, hukum pisau, negeri pisau, aparat pisau, pejabat pisau,………” kalimat itu terus terdengar, berlahan menghilang bersama langkah pelan pria berkumis tipis yang belum Ridwan kenali namanya. Pria itu telah pergi bersama slogan “pisau” yang terus terucap. Hanya meninggalkan secarik kertas entah apa isinya.
Ridwan mulai mengerti dengan “pisau” yang terus diucapkan pria yang baru ditemuinya. Ia tersentak kembali melihat kertas yang digenggamnya. Sekilas terlihat itu memang post card, ada gambar presiden Soeharto di satu sisi, di sisi lain tertulis pesan singkat:
Buat istriku, Suciwati
Jadikan pisau dinegeri ini tajam ke semua sisi.
Suamimu.
Banjarnegara, 18 Juni 2006
No comments:
Post a Comment