DEE suka sekali mendengar syair lagu Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia yang dipopulerkan Ahmad Dhani. Padahal ia tak pernah suka melihat perangai penyanyinya. Dee pikir ia terlalu arogan. Apalagi, sejak awal Dee menentang poligami. Sedangkan pria pencipta lagu itu, yang memanjangkan jenggotnya, pernah mengaku akan berpoligami.
Dee duduk di kursi bambu wulung di rumahnya. Cukup luas untuk Dee gunakan menjulurkan kaki. Sudah dua jam ia duduk di sana. Menatap hambar hortensia di depan rumah sambil mengelus beberapa ekor kucingnya. Hujan gerimis mereda. Bocah-bocah yang telanjang dada bermain air hujan di depan rumah sudah pulang.
Tuga, kekasih Dee, yang baru menyelesaikan masa studinya berjanji datang menjemput Dee lebih awal. Dee menunggu dengan antusias. Ia sengaja bangun lebih awal agar bisa duduk berkaca lebih lama. Meski kemarin ia sudah menyiapkan gaun, Dee tetap mencoba beberapa gaun koleksinya. Ia membongkar isi lemari pakaian mencari yang paling tepat.
Tuga benar-benar datang. Ia mengendarai sedan merah. Dee tahu Tuga sengaja meminjam kendaraan itu dari seorang teman. Tuga tak pernah punya mobil. Sejak kuliah sampai lulus ia hanya punya sepeda motor. Karena itulah Dee sengaja tak membahas mobil. Ia lebih suka menikmati perasaannya yang berdebar-debar.
“Tidak usah tegang,” ucap Tuga ketika keduanya sudah dalam perjalanan.
Tuga menyadarkan Dee dari lamunan. Mobil meluncur meninggalkan rumah Dee. Beberapa menit lagi mereka akan melewati jalan arteri yang menghubungkan Kota Daken, tempat tinggal Dee, dengan Brakara.
“Aku takut, Mas.”
“Kenapa?”
“Kedua orang tua Mas Tuga sudah tahu aku akan datang?”
“Mereka senang aku bawakan calon mantu. Cantik lagi.”
“Aku takut, Mas.”
Wajah Dee pasi.
“Jangan-jangan orang tua Mas Tuga tidak suka denganku.”
“Mereka tidak punya alasan untuk itu.”
Tuga mempercepat laju kendaraan. Jalan arteri yang mereka lewati masih mulus. Baru dua tahun jalan ini diresmikan. Dulu Dee pernah cerita, pemerintah kota Daken menggunakan jalan ini untuk senam masal. Pesertanya puluhan ribu, sampai mendapat anugrah dari Musium Rekor Indonesia.
Dee dan Tuga bertemu dalam suasana yang tak biasa lima tahun lalu. Saat itu keduanya masih kuliah. Dee sedang menggelar demontrasi bersama ribuan mahasiswa lain menentang kenaikan harga BBM. Meski perempuan, ia ada di garda terdepan demonstran. Rombongan mereka dihadang aparat ketika merangsek ke gerbang gedung parlemen. Keributan pun pecah. Petugas menggunakan water canon untuk membubarkan massa. Dee tergopoh-gopoh. Barisanya sempat kocar-kacir.
Di tempat yang sama Tuga sedang melakukan peliputan. Ia mendapat tugas meliput demontrasi dari lembaga pers mahasiswa tempatnya kuliah. Ia memposisikan diri di luar barisan demonstran. Ia berdiri di salah satu tugu gerbang agar bisa mengambil gambar lebih bagus. Dari tempatnya berdiri Tuga melihat Dee yang dengan sekuat tenaga menahan serangan aparat. Ia tiarap. Kawan-kawannya tunggang langgang mencari perlindungan. Suasana amat kacau.
Dua hari berselang wajah Dee terlihat di halaman muka surat kabar kampus tempat Tuga bertugas. Terdapat caption yang menjelaskan mahasiswa mulai berbuat anarkis di bawahnya. Dee yang membaca berita itu tak terima. Ia merasa aparat yang bertindak represif, sedangkan ia dan kawan-kawannya hanya korban.
Sebelum siang Dee menggedor pintu kantor redaksi koran kampus itu. Tuga kebetulan ada di sana saat itu. Dee protes, meminta redaksi menarik peredaran koran kampus itu. Tuga menolak.
“Mestinya kalian bisa menempuh cara yang lebih diplomatis,” kata Tuga membela diri.
“Taik kucing. Pemerintah tidak bakal nggubris kita.”
“Kalian pikir menggoyang-goyang gerbang parlemen adalah pilihan terbaik?”
Dee terdiam. Tuga meyakinkan Dee bahwa koran kampus yang memajang wajahnya tak perlu ditarik. Sejak saat itu Dee mengenal Tuga. Meski ideologi mereka berbeda Dee dan Tuga akrab tak sebegitu lama.
“Mestinya, kalau mau ambil fotoku bilang-bilang dulu. Waktu itu kan make up ku luntur kena water canon sialan itu,” ungkap Dee beberapa hari berikutnya. Dua bulan berikutnya mereka diketahui berpacaran.
Mendengar kabar itu kawan-kawan Dee yang sering turun ke jalan bersama kaget. Tuga beberapa bulan lebih muda dari Dee. Menurut mereka, itu hubungan yang tak lumrah.
“Aku tidak yakin kamu mau terus menerus mengalah menerima keadaanku,” ucap Tuga ketika mereka makan malam bersama di dekat kampus.
“Tidak Mas. Kita punya komitmen, itu yang harus kita jaga.”
“Terlalu banyak hal yang belum kamu ketahui dariku, Dee.”
“Dan lebih banyak yang belum Mas Tuga ketahui tentang aku.”
“Kamu yakin ingin tetap bersamaku. Kamu punya banyak pilihan, aku hanya salah satunya.”
“Aku memilih Mas Tuga. Ini pilihanku.”
Tuga mendekat Dee, membiarkan gadis itu menyandarkan kepalanya di atas pundak.
Kekhawatiran terbesar Tuga adalah latar belakangnya. Ia takut Dee tidak bisa menerima latar belakangnya. “Dee pasti kecewa melihat keadaanku,” desah Tuga ketika ia tak dapat tidur pada suatu malam.
Tuga pemuda desa biasa. Tidak tampak ada yang istimewa kecuali semangat hidupnya yang terjaga. Ia punya cita-cita besar.
Rumah Tuga ada di lereng gunung Prastiti, dua jam perjalanan dari kota. Desanya dekat dengan hutan raksamala. Bahkan jika musim gugur tiba, daun kuning raksamala yang berguguran akan menumpuk di halaman belakang dan sebagian atap rumahnya. Di sekitar hutan itulah Tuga menghabiskan masa kecilnya. Bermain ayunan dari dahan raksamala, memburu bajing dengan ketepel, juga beradu jangkrik dengan taruhan ayam.
Hingga umur 11 tahun Tuga tinggal di desanya. Menghabiskan waktunya belajar di sebuah madrasah sambil bermain di pinggiran hutan. Meski Dee pernah bilang akan menerima Tuga apa adanya, ia masih khawatir. “Apa dia mau menerima keadaanku?”
Setelah jalan aerteri terlewati Tuga membelokan arah. Untuk sampai ke rumah Tuga, setidaknya mereka harus menempuh 2 jam perjalanan. Jaraknya sebenarnya tak terlalu jauh, tapi jalanan yang mereka lewati panjang dan berkelok.. Beberapa kali Tuga harus menginjak setengah kopling mobilnya agar tak mogok.
Dalam perjalanan mereka tak banyak berbincang. Dee masih tampak khawatir. Tuga juga demikian. Ia takut Dee kaget melihat keadaan orang tua, rumah, dan lingkungan tempatnya tinggal.
Pada sebuah pertemuan di akhir pekan Dee pernah mengatakan tak terlalu peduli dengan latar belakang Tuga. “Yang penting aku mengenal kamu. Aku tidak peduli seperti apa latar belakangmu, Mas.” Ucap Dee antusias. Saat itu Tuga lega, tapi dua jam menjelang rumah ia kembali khawatir. “Apa dia mau menerima keadaanku?”
Tuga pernah bercerita pada kawannya sesama anggota pers mahasiswa tentang perasaan seperti itu. Kata temannya, perasaan itu lumrah. Dia bilang, bahkan calon pengantin juga merasakannya. Semua orang akan mengalami perasaan seperti itu. Entahlah. Kawannya terlihat sok tahu saat itu. Padahal Tuga tahu kawannya belum pernah menikah.
Setelah perjalanan panjang yang menegangkan Tuga sampai di depan rumahnya. Keduanya kaku teronggok di jok. Pandangan mereka lurus. Dee menelan lidah perlahan. Ia merasa akan mempertaruhkan banyak hal. Dadanya naik turun perlahan.
Beberapa menit Dee dan Tuga diam. Bocah-bocah tetangga Tuga berumur tujuh tahunan mulai merubung mobil mereka. Mereka tampak kagum seperti tak pernah melihat sebelumnya. Dari velek, bamper depan, hingga kap mobil mereka perhatikan seksama. Mereka tak tahu masih ada orang didalamnya.
Tuga menarik napas panjang lalu melirik Dee. “Kita sudah sampai, Dik.”
Dee belum bisa menanggalkan ketegangan pada wajahnya. “Kita masuk yuk.”
Dee membenarkan gaun sebelum keluar. Sesaat ia melirik kaca spion untuk memastikan make upnya tak berantakan. Dia terus merasa gelisah. Ia seperti ingin lari ulang. Di kamar ia ingin membenamkan wajah di bantal.
Kedua orang tua Tuga keluar. Mereka menyambut Dee. Kedua orang tua itu tersenyum.
Saat itulah ada ledakan besar dalam dada Dee. Ombak pecah menghantam karang. Byar. Buih beterbangan. Amat segar.
Dee menyalami kedua orang tua Tuga. Mereka tampak akrab, berbincang layaknya dua orang yang saling mengenal beberapa tahun silam.
Ibu Tuga sibuk menyediakan makanan. Dee membantunya. Saat semuanya siap, Tuga, Dee, dan kedua orang tua Tuga duduk melingkari meja makan.
“Gimana Nak Dee? Suka?” tanya ibu Tuga melihat Dee menyeruput sayur asem dari mangkuknya. Dee mengangguk.
Rumah Tuga berbentuk joglo. Langit-langitnya terbuat dari anyaman bambu. Karena jarang dibersihkan, di sana banyak tikus berkeliaran. Saat Dee makin lahap menyantap sayur asemnya, seekor tikus yang melompat di atas kolong langit-langit jatuh di sampingnya. Dee kaget. Tiba-tiba perutnya mual. Seisi perutnya keluar.
“Mas, antar aku pulang sekarang,” pinta Dee sambil menarik lengan Tuga. Tuga panik, tak tahu harus berbuat apa. Tanpa pamitan keduanya meluncur. Tidak banyak hal yang mereka perbincangan. Kata Dee, membungkam keduanya dalam kebisuan.
“Mas, kita putus.”
Semarang, akhir 2009
No comments:
Post a Comment