PESONA dataran tinggi Dieng yang masyhur memang bisa memukau siapapun. Bukit berjuluk-juluk berlomba menggapai langit, meninggalkan ngarai yang curam dan hijau. Danau yang membiru memalsu bias terhampar luas, mengepul bagai uap yang memanas.
Arjuna berdiri kokoh menyaingi Bima yang perkasa di atas landscape. Bersama hamparan rumput yang mengijau, onggokan batu tua itu seolah ingin bercerita tentang renta usianya. Mereka bukan lagi ksatria yang berperang membasmi durjana, hanya artefak asset wisata.
Pagi ini negeri pewayangan berkabut, menyapu pandangan ngarai yang curam dan bergelombang. Udara yang memang terlanjur dingin berubah menjadi sangat dingin. Memaksa tiap penduduk untuk tetap diam dalam kamar atau berpangku di depan tungku. Samar-samar, saat suasana mulai hidup, terlihat pemuda berpakaian kumal namun bermahkota.
Sebersit sinar matahari yang kadang menembus kabut membuat mahkota emas seperti yang dikenakan Puntadewa itu berkilauan. Warna kuning emasnya memantulkan kemegahan dan kemakmuran negeri atas angin yang tersohor. Kilaunya menyilaukan bagai merah tua mentari yang menjumbul di atas bukit timur kota.
Pemuda bernama Wisnu menggeliat memandangi langit yang tertutup tirai kabut, lantas dialihkannya pandangan pada hamparan tanah yang tergelar begitu luas. Reliefnya yang kasar dengan pola tanam beragam membuat ekspresi beragam. Sepanjang mata memandang tergelar boga mentah yang segar berwarna-warni. Adapula buah siap santap yang masih setia menggantung di ketiak dahan. Membuat Wisnu menarik napas panjang lantas menghembuskannya begitu pelan.
Dalam kecintaannya pada tanah air, Wisnu coba berpikir tentang keadilan bagi anak negeri. Keadilan sosial yang terpasung di dada seekor garuda emas.
Perlahan bibir tipis yang senantiasa lembab itu berucap. Melahirkan rangkaian kata-kata yang tak lain adalah wujud atas perasaannya.
“Pak Alwi Shihab, kini negeriku bertabur rizki, beralas pualam dengan guratan ukir, berjujuh rintik hujan saat pagi, tumbuh juga onggokan kerikil yang membiji, mengapa hingga kini masih kudengar penderita marasmus bertebaran di tiap pelosok negeri. Seperti tikus yang mati di lumbung padi” ucap Wisnu.
Ketidakrelaannya atas kematian anak negeri yang mati krena kekurangangan gizi tercitrakan dalam guratan kulit kening yang mengerut.
“Pak Alwi Shihab, kau kirim saja anak-anak yang perutnya buncit dan berkulit legam itu pada kami. Biar kupapah mereka menuju negeriku yang kaya oleh makanan lezat dan menggiurkan. Biarkan mereka menyantap kentang Dieng yang empuk dan bulat, segarnya kubis Dieng yang besar merekah atau sekedar menyantap sup sawi di negeri mereka sendiri”
Alunan kebisingan teriakan simpati terus bergejolak membahana melewati ngarai. Menjajah kepedihan anak negeri yang saudaranya berteriak minta makan lantas mati sebelum pintanya terpenuhi.
Wajah Wisnu mulai terisi dengan citraan ambisi dan strategi. Terlihat benar ari lensa matanya yang tergerak kenan kiri lantas mencekung dan kembali mencembung. Tangan perkasanya coba meraih benda penuh kilau yang sejak tadi kokoh berdiri di atas kepalanya.
“Pak Alwi Shihab, kulepas kilau emas yang memancar dari atas kepalaku, kau tukarkan saja benda ini dengan sekarung beras rajalele agardaging yang membalut tulang anak negeri kembali ada. Atau kau gadaikan mahkotaku agar mereka bisa kau belikan sekaleng susu” ucap Wisnu kembali dengan mahkot dalam genggaman. Keraguan besar yang telah lama membayang kini menendang jitu persis di kening sebelah kiri.
“Pak Alwi Shihab, Jika ku lepas simbol kekuasan ini, apa Bapak dan sahabat Bapak yang berdiam di sekitar istana mau mengikutiku? Melepas sebagian kemuliaan dunia dunia untuk sekedar berbagi dengan anak negeri. Kau tukarkan saja Volvo yang negara berikan padamu lantas kau kirim ke NTB, Papua atau daerah manapun yang kekurangan gizi. Biar mereka mencicipi beras rajalel Cirebon yang empuk dan wangi”
Sekali lagi, keraguan memasung wajah Wisnu. Ia tak begitu yakin dengan harapan atas situasi dunia yang tak pernah terduga. Angan Wisnu buyar dalam harapan semu yang rasanya akan sulit sekali terjadi. Saat itulah muncul kembali sosok ksatria dari curamnya parit Jalatunda. Tubuhnya ringan seperti daun kering yang terbang terhempas angin. Berlahan ksatria bernama Siwa itu mendarat pada rerumputan hijau yang masih basah oleh titik-titik embun. Langkahnya berwibawa menghampiri wisnu yang hatinya tengah menderu. Siwa berdiri di atas sebongkah batu persis di hadapan Wisnu.
“Tak usah membual di negeri ini, di sini sudah terlalu banyak tukang bual yang kerjanya berjanji tanpa tahu hal yang sedang dijanjikannya. Kini Arjuna, Bima dan Gatutkaca hanya bungkahan batu hitam asset pariwisata, mereka tak akan bangkit membawa keperkasaan lantas mengunyah kebatilan. Tidakkah kau tahu, rumput-rumput tempatmu berpijak mulai muak dengan buaian yang terlalu banyak” ucap Siwa.
Nasihat Siwa terdengar begitu dalam bagi Wisnu. Bukan hanya menggema dari sela-sela bukit tapi juga dalam gendang telinga Wisnu.
“Tidakkah kau ingin memberi kamu harapan Siwa? Kau terlalu asyik bersama bidadari Jalatunda hingga tak pernah kau sadari penderitaan anak negeri ini. Bahkan dari delapan tanganmu, tak satupun kau gerakan untuk menolongnya. Takkah kau tersentu melihat tulang kering hanya terbalut kulit legam dan bersisik. Padahal kau tahu Siwa? Mereka yang kelaparan adalah anak negeri agraris yang kesehariannya sibuk membicarakan perkembangan agribisnis dan inovasi tani. Takkah kau peuli itu?” Mata Wisnu berkaca. Hampir saja setetes air mata terjatuh dari pelupuk matanya. Siwa yang coba tersadar atas apa yang sesungguhnya terjadi hanya terdiam, namun sekali lagi harapan itu buyar dari benak Siwa.
“Ah, omong kosong! Kau labuhkan saja kapal mimpimu di pantai mati! Atau kau kayuh terus biar suatu saat akan hancur menerjang karang. Wisnu, dunia berubah dengan begitu cepat bahkan tak sempat diketahui para dewa. Sekarang tak jamannya lagi Volvi ditukar dengan beras atau sekaleng susu, ego manusia justru mengubah raskin menjadi mersi atau menukar palawija dengan Sukhoi atau MI-1”
Untuk kesikan kalinya Wisnu tertegun mendegar fakta yang baru didengarnya. Ironi. Kebudayaan telah menjadikan sneata enjadi prioritas utama dan menomor duakan pangan. Gumam Wisnu kembali membahana dalam relung logika yang tak dapat dimengerti.
“Ini akibat atau tujuan? Anak negeri perlu beras, susu atau sepotong roti. Tanyakan pada mereka, maukah mereka disuapi amunisi? Maukah mereka mengunyah serbuk mesiu? Atau tank baja barangkali? Nyatanya mereka perlu makanan agar perut mereka tak membusung sedang rangkanya hanya terbalut epidermis saja”
Wisnu bergolak seperti tengah berkaca pada nyatanya derita anak negeri. Semangatnya membara, memanas seperti duta pangan WHO yang hampir dua tahun sekali menggeler konferensi di Bali. Sedangkan Siwa hanya tersenyum sini, melempar pandangan pada hamparan tanaman sawi yang menghijau menutupi lereng pegunungan.
Dalam benak Siwa pun mulai terasa ironi globalisasi. Di tanah air yang memiliki satu kesepahaman, kontras kemakmuran begitu nyata tanpa basa-basi gradasi. Antara putih dan hitam nyaris tanpa kelabu. Seperti itupula antara anak negeri di NTB dan anak negeri yang berkantor di gedung seperti keong tiada garis toleransi.
Perbincangan Siwa dan Wisnu terhentu seketika seperti sebuah permainan yang di pause. Keduanya beralih perhatian pada kabut di negeri pewayangan yang berlahan mulai menghilang.kabut terusir tergantikan langit biru agar burung-burung dapat segera bergegas mencari mangsanya.
“Siwa, jangan kau tikam harapan anak negeri dengan pesimis membabi buta. Salahkah kita jika berharap akan datangnya pemimpin bangsa yang dapat menampik kebatilan dan mengusung kesejahteraan?”
Isnu tampak nyolot, ada greget dari setiap kata yang diucapkannya.
“Kau ingin Gatotkaca kembali tampil sedangkan Sangkuni berjejal di setiap sudut negeri ini? Negeri ini terlalu penuh dijejali oleh pejabat yang munafik, memasang wajah manis nan elegan. Bangsa kita telah dipenuhi Sangkuni muda , terlalu banyak pejabat yang menggeliat, menjilat merampas uang rakyat. Kemunafikan berjejal memenuhi setap celah moralitas, sedangkan keadilan terjajah, terhempas dari kontek bacaan anak negeri”
Siwa mulai terbawa pada pembicaraan dengan intonasi mengalun, naik turun. Wajahnya yang bercahaya pada tersiram geram, mengeluh kecewa pada derita anak negeri yang nyaris tak berujung.
Wisnu yang ambisinya tengah bergejolak meninggi menyaingi tebing berlahan mendatar membentuk hamparan emosi yang rata menutup muka tanah. Panangannya terbuang dari wajah ksatria bernama Siwa.
“Siwa, tak ingatkah kau ketika kita menyemai kesuburan merata di seluruh tanah bekas jajahan Belanda ini? Tak sejengkalpun kita lewatkan, bahkan hingga tercebur pada laut yang membiru. Tanah ini kaya dengan berbagai hiasan lidah yang senantiasa mengundang selere, tapi mengapa banyak anak negeri ini yang perutnya membuncit seperti sasando?”
Ambisi Siwa yang tengah terhempas datar kembali menggulung dalam saputan udara dingin Jalatunda.mengalun pelan merajai negeri pewayangan yang kaya. Tahu gundah hati teman bicaranya ksatria kembali bertutur dalam intonasi rata.
“Aku ingat benar kala itu, bersama rama Brahma kita menebar kesuburan di ladang ilalang hingga tumbuh jagung dan pisang. tapi kala itu anak negeri masih sibuk menggunakan rencong untuk mengiris lontar, tak seperti kini, mereka gunakan rencong untuk menodong teman sejawat atau menikam kerabat hanya sekedar memenuhi hasrat. Tapi kala itu…doran dan linggus masih mereka gunakan untuk mencangkul di sawah, tak seperti kini, dorna dan linggis justru banyak beterbangan dalam sebuah pertunjukkan kolosal berjudul demonstrasi”
Wisnu tahu benar makna tia kata yang diucapkan siwa. Keemuanya mengejawantahkan kekecewaan sang penggembala atas binatang piaraannya,
Mendadak raut wajah Wisnu berubah kosong. Dalam benaknya tengah ada buih yangmenghempas begitu kencang menjilati karang. Kegundahan yang tergambar pada wajahnya terkikis oleh rasa bersalah. Ketakutan besar merajai hati, jikalau semua yang terjadi pada anak negeri bukanlah ujian melainkan hukuman atas kesalahan yang begitu fatal. Dalam hening hati Wisnu, Siwa kembali membaca gelagat pemuda berpakaian kumal dengan mahkota dalam genggaman ini.
Dalam denyut nadi Wisnu yang berjalan satu persatu, terpampang jelas untaian huruf hieroglip yang terbaca sempurna. Semuanya menunjukkan penyesalan dan ketakutan akan datangnya petaka yang lebih nista. Bibirnya bergumam, gemetar mengucap kalimat istighfar yang terucap tepat bersama rasa hina yang tertancap persis di dada sebelah kirinya.
Banjarnegara, 23 Juni 2005
No comments:
Post a Comment