Bukan Jalan Setapak
; hadiah pernikahan Mba Atun
Kenangan masa kecil masih terukir jelas dalam benakku. Ketika aku minum dari puting susu ibu. Ku sedot yang satunya, sedang yang satunya mainkan layaknya mainan.
Kini, saat alur kehidupan berjalan seperti semilir angin yang tak pernah berhenti mengantarku hingga dewasa. Membuatku menjadi wanita yang merasa perlu atas hadirnya manusia lain yang berbeda denganku.
Tak terasa, beberapa hari lagi akan ada pria dewasa yang akan memperlakukanku sama seperti aku memperlakukan ibuku, dulu. Pria yang belum lama ku kenal akan tidur bersanding bersamaku, meraba setiap bagian tubuhku, atau melumat bibirku hingga tubuhku menggelinjang. Seberapapun ia akan memperlakukanku, toh ia suamiku yang telah halal atas setiap jengkal kehidupanku, juga setiap jengkal tubuhku.
“Qobiltu, qobiltu nikahaha…” kalimat itu ia ucapkan tadi siang persis di depanku, juga di hadapan kedua orang tuaku. Beberapa hari belakangan ini kalimat itu terus terngiang dalam telingaku. Akupun masih suka tersenyum saat teringat wajahnya yang nervous saat mengucapkan kalimat itu di depan penghulu yang menikahkanku dengannya. Wajahnya lucu sekali.
Namun kalimat itu pula yang menjadi lompatan terpanjang yang pernah aku lakukan. Aku melompat dari batu pijakan bernama ‘lajang’ hingga menginjak batu bernama ‘isteri’. Sungguh, kebahagiaan itu jauh lebih besar dari apa yang pernah aku bayangkan sebelumnya. “Kini aku telah menjadi isteri dari seorang pria yang selama ini mengisi setiap sekat hatiku”
Selepas itu, aku seperti dihadapkan pada perjalanan panjang di medan yang belum pernah ku jamah sebelumnya. Melihat rona langit yang padam warnanya, juga beberapa merpati yang hinggap persis di depanku. Sesaat kulihat jalan lurus yang indah dikelilingi berbagai wewangian bunga. Bersamanya, kutapaki setiap jengkal jalan yang semerbak wanginya kian menggoda.
Beberapa langkah di depanku, untaian bunga itupun berakhir, berganti dengan jalanan tanah yang kotor. Ingin ku teriakkan “Tidak!”saat kaki kananku mulai menapak di atas jalan tanah itu. “Mengapa perjalanan indah bersama tebaran bunga harus berakhir?” Namun apapun itu, aku harus tetap melangkah, melanjutkan perjalanan panjang yang aku sendiri tak tahu kapan akan berujung.
Aku tak mungkin berubah haluan atau berjalan mundur agar bisa kembali di jalanan yang wangi. Beberapa saat angin datang dari sela-sela rumput ilalang dan menerpa kulit wajahku. Kurasakan kesejukan itu walau tak lama terasa. Aku berharap, akan kujumpai kembali jalan yang wangi beruntai tebaran melati. “Pasti!”
Beberapa butiran keringat menempel di ujung hidungku. Mentari yang tadi datang bersama siluet merah kekuning-kuningan berlahan berubah menyengat. Kurasakan panas di sekujur tubuhku yang masih terbalut kebaya merah. Ingin ku lepas sanggul ini, namun hanya akan membuatku terlihat semakin berantakan. Kuurungkan niatku. Begitupun saat perhatianku tersita di bawah ujung kaki.
Telapakku terasa panas karena temperatur debu yang kuinjak meningkat. Ku coba lepaskan pandangan sejauh mungkin, ya, sejauh yang dapat ku pandangi. Di sekitarku sama sekali tak ada pohon untuk tempatku berteduh. Yang ada hanya hamparan rumput liana yang makin layu dan membiru karena sengatan matahari.
Optimisme membumbung memenuhi setiap sudut relung hati. Kupikir perjalanan ini akan segera berakhir hingga dapat ku temui genangan air yang membiru. Yang tergenang diantara bebatuan, yang dapat kulihat dasar kolamnya karena begitu jernih. Tapi tidak, aku keliru. Aku justeru dihadapkan pada perbukitan gersang tanpa sehelai lianapun. Aku ragu. Tidak. Aku harus tetap melangkah agar dapat mengakhiri perjalanan panjang ini. Mungkin akan ku temui danau di balik bukit itu. Ku coba bertahan, lepas dari apapun yang kurasa.
Bukit itu berlalu, telapak kakiku membiru. Jemariku yang lentik dengan kuku merah yang kuhiasi kutek kini kotor oleh debu kosmik. Aku takut lama kelamaan debu itu akan membuatku keriput. Membuatku jauh lebih tua. Namun itu perjalanan waktu yang tak mungkin ku hentikan sekehendakku. Harapanku palsu. Kusadari itu saat tak ku ketemukan danau di sana, yang ada hanya batu hitam yang menggunung. Harapanku terasa pupus, tak mungkin kudaki gunung batu yang di tumbuhi lumut hijau itu. Ya, perjalananku terhenti.
Yang kurasakan hanya hawa panas yang menyengat dan menembus pori-pori. Kulihat sekujur tubuhku berkeringat, kulitku berubah kusam. Sengatan matahari itu tak mau berhenti hingga membuatku jatuh tak sadarkan diri. Tubuh lunglaiku terkapar di bawah gunung batu. Terpanggang dibawah teriknya matahari yang semakin meluap-luap.
Ketika aku terbangun dari semayam panjang, yang kulihat adalah taman Firdaus. Yang di setiap sudutnya kudapati wewangian bunga atau gemericik air yang jatuh . Beberapa tanaman buah tumbuh di sekitarku, juga rumput beludru yang membuatku geli karena begitu lembutnya. Aku tersentak dalam kubangan tanda tanya. Terlebih ketika aku tahu busana yang ku kenakan berubah putih. Nyaman sekali, tak pernah senyaman ini sebelumnya.
Aku kembali terkejut saat sesosok pria datang menghampiriku. Ia membawa seikat mawar merah yang dipersembahkannya untukku. Oh bahagianya ketika aku tahu pria itu adalah suamiku, ya suamiku. Pria itu yang memberiku nafkah lahir batin kapanpun aku kehendaki. Tanpa banyak berucap ia membimbingku melangkah melewati bantaran curug. Angin yang berhembus dari curug berulangkali menerpa sekujur tubuhku. Kurasakan kesejukan itu juga menerpa kalbu, hingga aku tak ingin beranjak kemanapun.
“Ya Allah, mengapa wanita ini ada di surgaMu?” tanya malaikat.
“Lantas untuk siapa lagi Kuciptakan surga? Ku haramkan tiap jengkal tubuhnya tersentuh api neraka.”
“Mengapa Ya Allah?”
“Tidakkah kau tahu, wanita ini telah bersedia dipersunting seorang lelaki hingga ia benar-benar menjadi istri sebagaimana Aku kehendaki. Aku membuatnya menjadi wanita terhormat sebagaimana ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya.”
Banjarnegara, medi0 Juli 2008
No comments:
Post a Comment