DERING telfon genggam membangunkanku saat berlahan mulai tertidur. Aktivitas yang padat membuatku begitu mudah tertidur, bahkan hanya beberapa saat setelah merebahkan badan. Namun sepekan terakhir, tidurku selalu terganggu oleh dering telefon genggam yang sengaja kuletakan di meja kecil dekat ranjang.
Yang sering membuatku kesal, dering itu terdengar dari nomor yang sama dan pada saat yang sama; pukul 00.30. Tiap kali aku mengangkatnya, siapapun orang yang berada di ujung telefon itu selalu mematikannya. Sedangkan aku tak berinisiatif untuk menonaktifkan telfon genggamku karena aku harus bersiap setiap saat jika ada rekan yang memanggilku untuk suatu kepentingan.
Pekerjaanku sebagai seorang jurnalis TV menuntutku tak mengenal waktu. Kapanpun sebuah peristiwa menarik terjadi, saat itulah aku harus siap meliput walau sendirian. Deadline tak ubahnya anak panah yang terus menerus mengejarku agar segera menyelesaikan tugas. Pekerjaan semacam ini memang tidak terlalu menyenangkan, terlebih bagi seorang pria beristri sepertiku.
Sering kali panggilan tugas membuatku harus mengakhiri pergumulanku justru hanya beberapa saat setelah kami memulai. Untung Dina, istriku, sadar betul resiko bersuamikan seorang reporter sepertiku, sehingga ia tak perlu marah-marah jika kutinggal semalaman. Seperti pekan lalu, dua hari aku tak pulang, pemred kantor berita tempatku bekerja memintaku meliput kecelakaan mobil yang menimpa seorang aktivis gereja.
Udara kota tetap hangat walau angin malam kerap masuk ruang kerjaku lewat lubang ventilasi. Saat coba merampungkan sebuah laporan, rasa kantuk terasa begitu berkuasa atas diriku. Berulang kali aku menguap, tapi aku paksakan hingga laporan itu selesai dan siap tayang besok pagi. seperti malam-malam sebelumnya, saat masuk kamar, kulihat Dina telah terbuai mimpi terlebih dulu. Kurebahkan badanku di samping wanita muda yang baru delapan bulan kunikahi itu. Kami begitu dekat hingga kulit kami serasa menempel jika saja istriku tak mengenakan piyama.
Segera saja alam sadarku hilang tergantikan mimpi yang datang berlahan-lahan. Namun dering telfon genggamku kembali menyadarkan aku. Hampir saja aku kaget dan membantingnya jika aku tak segera sadar bahwa telfon itu adalah pemberian atasanku.
Sesaat kupandangi nomor yang muncul dalam layar aku semakin heran saat sadar nomor itu sama dengan nomor yang menghubungiku kemarin atau beberapa hari sebelumnya. Kubiarkan dering itu lama, hingga aku benar-benar terjaga.
“Halo, siapa ini?” sapaku bernada membentak. Dan seperti hari-hari sebelumnya, telfon itu segera mati. Aku mulai yakin ia akan mengulangi kejailannya esok.
“Teman-teman apa kalian kenal dengan nomor ini?” tanyaku pada teman sekantor, esok harinya. “Hampir tiap malam ia mengganggu tidurku. Gila!” Namun tak seorangpun tahu, lebih tepat lagi, mereka tak mau tahu. Mereka tak mengerti betapa terganggunya aku oleh ulah orang jail yang satu ini.
Matahari mulai meninggi, mengganti rona kuning keemasannya dengan kuning tua saat atasanku menyuruhku meliput. Kasus kecelakaan aktivis gereja beberapa saat yang lalu masih menyisakan tanda tanya besar bagi polisi, masyarakat dan tentu saja jurnalis sepertiku. Apapun informasi yang masyarakat minati, itulah tugasku untuk meyajikannya secara akurat dan proporsional.
Beberapa saat aku datang kembali ke lokasi kecelakaan yang telah aku datangi beberapa kali itu. Belakangan tempat ini berubah menjadi tempat rekreasi. Banyak sekali orang yang datang, setelah mereka tahu korban kecelakaan adalah pendeta yang dulu dikenal getol memperjuangkan kaumnya dari arogansi pemimpin. Untuk sementara polisi hanya dapat mengambil satu kesimpulan ; kecelakaan itu tak wajar!
Bersama jurnalis lain, siang itu juga aku kembali ke rumah sakit tempat mayat pendeta itu disimpan. Sungguh bukan sesuatu yang menyenangkan jika harus menatap tubuh yang hangus terbakar itu berulang kali. Namun aku bisa menghibur diri dengan berujar; ini adalah tuntutan tugas. Agar dapat memberikan informasi yang jelas, aku bukan saja harus melihat mayat yang tak lagi berujud itu, tapi juga harus mengamatinya dengan seksama. Akh! Batinku.
Setelah dialakukan pemeriksaan lebih lanjut, polisi tahu mayat itu adalah pendeta Hendardus, intelektual kristen yang dikenal masyarakat karena opininya di media masa yang lugas tak pandang bulu. Berulang kali pejabat pemerintah dibuatnya kalang kabut karena opini pendeta muda ini. Entah darimana sumber informasinya, Pendeta Hendardus selalu mengungkapkan fakta kebobrokan para pejabat yang justru baru terbukti setelah kasusnya padam dan luput dari perhatian masyarakat. Rasa memelas dan prihatin menghampiriku saat kuperhatikan tubuh hitam pekat itu begitu lama. Dan aku tersentak, saat aku melihat tanggal lahir yang ditulis dengan angka pada kantong pembungkus mayat. 13 02 76 atau 13 Februari 1976. Entah mengapa aku merasa begitu kenal dengan angka-angka itu, “tapi dimana?” pikirku.
Liputan hari ini kelar dan siap naik tayang. Seperti biasa, sore menjelang senja aku teronggok di depan televisi untuk menanti laporan yang kubuat sendiri. Kebiasaan ini rutin kulakukan agar tahu hasil laporanku setelah mengalami proses editing di meja redaksi. Paling tidak, dengan cara seperti ini aku bisa menilai karyaku tanpa harus banyak beropini.
Saat gambar mayat pendeta Hendardus benar-benar terlihat dalam televisi, angka-angka yang tercantum pada kantong mayat pun terlihat. 13 02 76, nomor apa ini? Beberapa saat angka-angka itu terus terbayang. Bahkan masih kuingat dengan jelas saat aku beranjak tidur. 13 02 76.
Seperti malam-malam sebelumnya, istirahatku terganggu oleh dering telfon genggam. Kulihat nomor itupun masih sama dengan nomor yang muncul kemarin atau beberapa malam lalu. Nomor dari sebuah operator seluler terbesar dan …Dan, Ya! Nomor itu, nomor itu! Enam digit terakhir nomor itu sama dengan nomor yang kulihat di kantong mayat; 130276. Aku tersentak beberapa saat, bulu kudukku berdiri saat angka-angka itu mengingatkanku pada sesosok tubuh pendeta Hendardus di rumah sakit. Seketika itu pula rasa kantuku hilang. Rasa takut, ngeri, dan rasa bersalah tiba-tiba saja hinggap. Semuanya berbaur hingga tidak karuan. Sungguh, aku belum pernah merasa tak senyaman ini berada di rumah sendiri.
Kokok ayam jantan terdengar, sedikit demi sedikit semburat sinar matahari muncul. Katakutanku baru benar-benar hilang saat kumandang adzan Shubuh terdengar. Begadang sepanjang malam, hanya dengan kepulan asap rokok, benar-benar tak menyenangkan. Seluruh badanku terasa pegal. Tapi aku tak berniat cuti. “Hari ini akau akan ke gereja”
Pagi-pagi sekali, bahkan lebih pagi dari kebiasaanku berangkat ke kantor, aku sudah meninggalkan rumah. Entah mengapa aku merasa begitu perlu menyelidiki 130276 yang berlahan-lahan mengendalikan pikiranku. Aku begitu terobsesi untuk mengetahui rahasia 130276, “bagaimanapun caranya!”
Saat aku datang ke rumah keluarga pendeta Hendardus, satu hal yang ingin aku ketahui; benarkah 13 Februari 1976 adalah hari kelahiran pendeta moderat itu? Tak lama bagi jurnalis sepertiku untuk segera tahu identitas pendeta itu. Dan angka-angka itupun valid, bahkan korelatif dengan angka nomer telfon yang hampir tiap malam menggangguku.
“Itu memang tanggal kelahiran Pak Pendeta. Sebenarnya Pak Pendeta orangnya pelupa, bahkan nomor telfonnya sendiri ia sering lupa, karena itulah beliau berinisiatif memesan nomer telfon sesuai tanggal kelahirannya agar lebih mudah diingat” tutur kerabat Pendeta Hendardus, saat kutemui setelah pemakaman.
“Apa nomor itu masih aktif?” tanyaku.
“Tidak Pak, kabarnya telfon genggam Pak Pendeta hangus dalam kecelakaan”
Jawaban itu membuatku semakin tak mengerti. Bagaimana mungkin nomor telfon yang telah hangus bisa menghubungiku tiap malam? Bagaimana seseorang yang sudah mati bisa menggunakan telfon genggamnya? Apa ini sebuah kejailan yang disusun dengan teknologi informasi tingkat tinggi atau..? atau apa sebenarnya semua ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menjejali benakku, merujuh seperti rintik-rintik hujan yang jatuh di atas tempurung kepala. Akhirnya aku putuskan datang ke kantor polisi untuk menanyakan kasus ini lebih lanjut.
“Kasus ini memang sangat rumit, hampir semua barang dalam mobil Pendeta Hendardus terbakar sehingga tidak ada satupun yang dapat kami jadikan barang bukti” tutur salah seorang polisi yang menangani kasus itu saat aku mendesaknya.
“Bagaimana dengan telfon genggamnya?”
“Kami tak menemukan apapun, anggota kami memang menemukan lelehan barang menyerupai chasing ponsel, tapi tak ada gunanya, karena tak ada hal apapun yang dapat kami ketahui dari lelehan itu”
Jawaban itu hampir saja membuatku putus asa. Namun sekali lagi angka-angka itu begitu memotivasiku untuk tahu lebih dalam. Malam harinya saat insomnia dadakan kembali menyerang aku putuskan untuk mengambil jalan pintas, jalan yang sbelumnya tak pernah terpikirkan. Sama sekali tidak.
Diam-diam dengan perangkat IT yang kantor miliki aku menelusup ke sebuah website operator selular. Perlu banyak pengorbanan dan kerja keras untuk dapat menembus kode keamanan perusahaan selular raksasa itu. Baru keseokan harinya aku mampu menyusup dalam jaringan mereka. Dengan cara itu aku akan mencari data transaksi terakhir yang dilakukan Pendeta Hendardus.
Akhirnya aku bisa bernapas lebih panjang saat data nomor telfon yang menghubungi Pendeta dapat aku sadap. Bahkan dengan cara yang sama aku juga mendapat isi pesan singkat yang pendeta Hendardus kirim atau terima. Untuk semua itu, aku mendapat satu nomor telfon yang dalam salah satu pesan singkatnya berisi ancaman untuk segera menghabisi pendeta.
Untung saja nomor pengirim ancaman itu masih dapat dihubungi. Siang harinya aku mengajak pemilik nomor ini bertemu untuk wawancara. Saat itulah aku tahu, ternyata dia seorang petugas sebuah lembaga peradilan negeri. Setelah aku yakini semua itu, aku membawa seluruh data yang aku sadap itu pada polisi. Tentu saja polisi segera bergegas menangkapnya. Dalam pengakuannya, ia nekat menghabisi pendeta Hendardus agar kebrobrokan instansi tempatnya bekerja tak bocor.
Sayang, akhir segalanya tak terlalu menyenangkan. Dengan cara itu aku memang bisa menyeret pembunuh Pendeta Hendardus ke dalam bui. Tapi ulahku menyusup dan menyadap data menyeretku dalam perkara hukum. Karena itulah aku terancam hukuman, namun bukan hal itu yang menyita pikiranku.
Aku justru tak puas dengan kasus ini lantaran tak mendapat jawaban, bagaimana nomor 130276 yang telah hangus terbakar bersama Pendeta Hendardus bisa menghubungiku tiap malam? Bagaimana bisa?
Banjarnegara, 20 Mei 2008
No comments:
Post a Comment