Ketika kasus Nazaruddin mulai terungkap, publik khawatir lantaran membuktikan praktik politik kotor telah meresap dalam sistem politik negeri ini hingga demikian dalam. Korupsi merongrong moralitas panggawa politik dari tingkat terendah hingga puncak tertinggi. Namun ketika Nazaruddin diberitakan ditangkap, kekhawatiran ini terkurangi karena muncul harapan skandal korupsi yang melibatkan dirinya , Partai Demokrat (PD), juga aktor lain akan terbongkar.
Berkat “kiprahnya” selama buron, Nazaruddin memang berhasil membangun persepsi publik bahwa dirinya adalah “orang penting”. Jabatan strategis sebagai Bendahara Umum partai terbesar di Indonesia sekaligus anggota Komisi Hukum DPR membuatnya tahu banyak hal. Terlebih, tudingannya terhadap pembesar PD dan pimpinan KPK yang awalnya dinilai sekadar ocehan perlahan terbukti.
Namun, harapan yang dibawa pulang Nazaruddin menyisakan tanda tanya besar. Mengapa kita justru menumpukan harapan di atas pundak Nazaruddin? Bukankah, jika tuduhan ia terlibat korupsi Wisma Atlet terbukti, ia juga koruptor? Dalam relasi hukum dan kewargaan Nazaruddin adalah bagian dari “mereka, bukan bagian dari “kita”?
Biografi Nazaruddin penting dibaca kembali untuk memprediksi langkah yang akan ditempuh untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sekalipun selama buron ia bertindak menjadi whistle blower, sikapnya di depan pengadilan nanti bisa berubah 180 derajat. Sebab, “nyanyiannya” selama pelarian bukan muncul atas kesadaran personal, tapi ekspresi emosional untuk menaikan daya tawar politis. Ia mencoba bernegosiasi supaya memperoleh pembelaan publik.
Dalam kasus yang melibatkannya, Nazaruddin memang memiliki banyak peran. Publik pun berhak menafsirkan peran itu sesuai perspektifnya. Pertama, peran sebagai penjahat, antara lain karena ia disangka terlibat korupsi wisma atlet dan beberapa kasus korupsi lain. Tindakan tidak ksatria lain yang memantapkannya sebagai antagonis dalam drama yang dibuatnya adalah ia kabur. Alih-alih menghadapi tuduhan, ia melarikan diri dan menyerang lawan-lawannya dari persembunyian.
Mekanisme Politik
Meski demikian, Nazaruddin juga seorang korban. Muda, cerdas, dan kaya, Nazaruddin justru terseret mekanisme politik yang buruk dan kotor. Kalaupun ia terlibat korupsi, itu lantaran terseret lingkaran setan yang melancarkan sugesti terus menerus. Mengingat kiprah politiknya yang belum terlalu lama, sulit untuk tidak mengatakan jika “kejahatannya” dilakukan bukan karena pengaruh lingkungannya.
Menurut Michael Johnston (Korupsi dan Ekonomi Dunia, 1999) korupsi bukan kejahatan individual, melainkan kerja resiprokal, bahkan massal. Tipisnya batas antara negara dan masyarakat, kepentingan umum dan pribadi, serta pemerintahan dan politik memberi akses pada elit melakukan manipulasi. Di tengah kekacauan sistem hukum, pengawasan lembaga negara yang lemah, elite membangun kesepakatan tersembunyi supaya kejahatan mereka tidak diketahui. Seperti yang Nazaruddin “tuduhkan”, korupsi yang dilakukannya ternyata melibatkan anggota DPR, pengusaha, dan pejabat kementerian negara.
Prinspi tiji tibeh (mati siji mati kabeh) telah ditunjukkan Nazaruddin selama pelarian. Ia menyeret begitu banyak nama, termasuk koleganya di DPR. Namun, situasi emosional seperti itu agaknya tidak akan terulang ketika Nazaruddin tertangkap. Posisi tawar hukum dan politisnya kini rendah sehingga ia harus mencari sokongan politis, bahkan dari kolega yang pernah dituduhnya. Karena itu, kecil kemungkinan ia mampu bercerita lantang saat menghadapi pemeriksaan seperti saat ia masih dalam pelarian.
Kekacauan Hukum
Dari perspektif lain, harapan yang ditumpukan kepada Nazaruddin menunjukkan ketidakpercayaan publik pada lembaga hukum yang ada. Polri, Kejaksaan, bahkan KPK dinilai tidak akan perkasa menghadapi skandal korupsi Nazaruddin karena melibatkan kekuatan politik yang sangat besar. Karena itu, publik mengalihkan harapan pada Nazaruddin untuk tampil sebagai ksatria.
Ketidakpercayaan publik demikian muncul karena dalam beberapa tahun terakhir penegakan hukum tidak mampu memberi jejak gemilang mengatasi skandal yang melibatkan kekuatan politik. Kasus Bank Century misalnya, tidak mengalami perkembangan bermakna, dan dikhawatirkan beku dalam kegamangan politik. Sementara pada kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI, KPK belum mampu menyeret aktor intelektualnya.
Kondisi semacam ini tidak tercipta oleh lemahnya lembaga penegak hukum semata. Mekanisme politik yang tidak sehat, pengawasan lemah, dan dorongan kekuatan-kekuatan reformis yang masih lemah, terakumulasi menciptakan kekacauan. Demokrasi yang baru diartikan sebagai arena perebutan kekuasaan melabrak konstitusi, membuat lembaga negara bimbang, kelompok mana yang harus dibela. Dalam kondisi semacam ini rakyat adalah abstraksi yang ada namun tidak bermakna.
Jauh hari sebelum Nazaruddin muncul, Antonio Gramsci memperingatkan kita dengan pesan yang cemerlang. Di tengah kekacauan akan lahir seorang pahlawan. Bisa jadi pahlawan lahir dari tempat suci, tapi “pahlawan”juga lahir karena berhasil mempersepsi publik bahwa dirinya suci. Sama seperti yang Machiavelli katakan, menjadi pemimpin baik tidak harus benar-benar baik, tapi cukuplah terlihat baik.
Pilihan menjadi baik atau sekadar terlihat baik itulah yang akan dibentangkan di hadapan Nazaruddin saat menghadapi peradilan nanti. Publik berhak memberi penilaian sendiri-sendiri di luar proses hukum yang berjalan. Namun menumpukan harapan pada Nazaruddin rasanya hanya akan memantik kekecewaan lanjutan.
Surahmat, Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Opini Harian Joglosemar, 13 Agustus 2011
Opini Harian Joglosemar, 13 Agustus 2011
http://harianjoglosemar.com/berita/mengapa-berharap-pada-nazaruddin-51580.html
No comments:
Post a Comment