asangan calon bupati dan wakil bupati Banjarnegara Sutedjo Slamet Utomo-Hadi Supeno (Tedjo-Peno) dipastikan unggul dalam pemilihan yang dilangsungkan Minggu (24/7) kemarin. Ia memperoleh 39 persen suara, unggul tipis atas kompetitor terberatnya Budhi Sarwono-Kusum Winahyu (Bu Win) yang memperoleh 35 persen suara. Sedangkan Syamsudin-Toto Hadono (ST) memperoleh 02 persen suara, dan Yusri-Najib 5 persen suara.
Kemanangan Tedjo-Peno memang mudah diprediksi. Dukungan partai besar seperti Golkar, PDI Perjuangan, PPP, PKS, Hanura, dan Gerindra membuat langkah keduanya terbantu mesin politik partai. Lebih dari itu, baik Tedjo maupun Peno adalah tokoh yang telah lama dikenal publik Banjarnegara karena sama-sama mencalonkan diri menjadi bupati pada pilkada 2006 silam. Meskipun saat itu kalah, Tedjo dan Peno menanam investasi politik dengan mencatatkan nama pada benak publik Banjarnegara.
Sekalipun pada akhrinya kalah, perolehan calon Bu Win terhitung istimewa. Sebagai calon indipenden ia mampu tampil menjadi “kuda hitam”. Memanfaatkan apatisme masyarakat pada partai ia berhasil membangun jejaring politik yang luas dan dalam. Mengingat perolehan suaranya terpaut tidak begitu jauh, Bu Win bahkan dimungkinkan akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konsitusi. Celah itu ada karena Pilkada Banjarnegara ternyata “tidak bersih-bersih amat”.
Janji Politik
Lepas dari itu, warga Banjarnegara kini bersiap memiliki pemimpin baru. Masa jenuh setelah satu dekade dipimpin Bupati Djasri diharapkan segera berakhir. Publik pun berharap, akan ada terobosan berarti yang dilakukan Tedjo-Peno agar Banjarnegara muncul dalam pentas regional Jawa Tengah. Banjarnegara seperti telah lama hilang dari perbincangan politik-ekonomi regional Jawa Tengah.
Tedjo-Peno, ketika berkampanye, hadir dengan slogan Jono Membara (Tedjo-Peno untuk Banjarnegara lebih Sejahtera). Meskipun publik tahu bahwa slogan hanyalah kosmetika politik, Tedjo-Peno sungguh-sungguh telah berhutang janji yang besar. Kesejahteraan adalah faktor yang sangat fundamental dalam kehidupan sosial. Sulit, bahkan berat, namun janji toh musti ditepati sebagaimana hutang harus dibayar.
Agar tidak berakhir sebagai jargon, Tedjo-Peno punya tugas menemukan relevansi sosial janji politiknya dalam kehidupan warga. Inventarisasi resourches daerah pertama-tama dilakukan bersamaa dengan evaluasi masa pemerintahan sebelumnya. Hanya dengan begitu, “sejahtera” bisa diterjemahkan dalam langkah politik yang strategis.
Sekalipun tidak dapat dinilai buruk, prestasi pembangunan Banjarngara tidaklah istimewa jika dibanding daerah lain di Jawa Tengah. Salah satu persoalan mendasar adalah kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya berkisar pada angka Rp.60 miliar. Akibatnya, sudah beberapa kali APBD mengalami defisit. Tahun 2010 misalnya defisit mencapai Rp 33,300 miliar. Dari APBD yang ditetapkan sebesar Rp 711,374 miliar total belanja ternyata mencapai Rp 745,254 miliar.
Jika “modal” yang dimiliki Pemkab masih cekak, sulit bagi Tedjo-Peno mewujudkan ekspektasi publik yang dibebankan di pundak mereka berdua. Padahal, pekerjaan rumah sudah menumpuk. Jalan-jalan rusak di des-desa terus menerus memantik keluhan, infratsruktur pertanian belum terbangun rapi dari hulu hingga hilir, dan penyerapan tenaga kerja baru rendah.
Maka, agar target “sejahtera” tidak mengambang, prioritas kerja bidang ekonomi perlu diarahkan pada peningkatan nilai tambah, peningkatan lapangan kerja, penganekaragam komoditas, dan peningkatan daya beli masyarakat. Konskuensinya, alokasi anggaran bidang itu perlu ditambah. Alokasi pendanaan bidang ini sebesar Rp.3,43 Milyar belanja langsung dan Rp.25,61 Milyar belanja tidak langsung belum mampu menciptakan kegairahan ekonomi.
Putra Daerah
Memang, adalah naif menagih “kesejahteraan” pada bupati dan wakil bupati. Sejarah hanya mencatat beberapa nama pemimpin daerah yang memiliki legitimasi publik telah menyejahterakan warganya. Justru lebih banyak nama yang tergores dengan tinta hitam akibat korupsi atau perbuatan culas lain yang yang berprospek pada keuntungan pribadi.
Meski begitu, tidak ada salahnya mengawasi proses pemerintahan supaya janji politik ditepati. Apalagi Tedjo-Peno juga memiliki janji lain berkaitan dengan isu putra daerah yang diusungnya. “Putra daerah” tidak hanya memiliki pretensi lahiriah bahwa kedua orang ini lahir di Banjarnegara. Ada makna sosiologis yang harus dibuktikan dengan ikatan emosional kemudian terepresentasi dalam kebijakan.
Sutedjo Slamet Utomo memang lahir di Mandiraja, sebuah kecamatan di bagian barat Banjarnegara, sedangkan Hadi Supeno lahir di Wanadadi, kecamatan lain di utara Banjarnegara. Namun, ketika keduanya menjadi pimpinan daerah, batas geografis ini luluh. Banjarnegara harus dipersepsi sebagai kampung besar tempat satu juta warga hidup dan menggantungkan cita-cita. Tidak peduli di pojok Kalibening atau sudut Sigaluh, warga harus memperoleh haknya.
Surahmat, warga Petuguran, Punggelan, Banjarnegara, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
No comments:
Post a Comment