SEJARAH mahasiswa Indonesia riuh oleh cita-cita perjuangan dan selebrasi akademik. Sejak masuk hingga lulus aktivitas mahasiswa tak bisa dipisahkan oleh keduanya. Sebaliknya, dunia spiritual terdesak ke dalam ruang privat yang hening. Sepi.
Fenomena ini dapat diamati dengan menyimak agenda tahunan perguruan tinggi. Dibanding selebrasi akademik, prosentase kegiatan spiritual jauh lebih kecil. Sejumlah mahasiswa yang haus petualangan spiritual harus menelusurinya dalam lokus-lokus diskusi yang sepi. Di masjid dan mushola kampus kegiatan mereka tanpa publikasi, tenggelam oleh seminar, debat, atau lomba penelitian yang lebih semarak.
Adaptasi pola pendidikan Barat yang sekuler patut dimaklumi sebagai sebab kondisi ini. Ciri utamanya, pendidikan di perguruan tinggi memandang ilmu dari perspektif postivistik. Proses dan hasil diukur secara kauntitatif-objektif. Hasil yang ingin dicapai adalah produktivitas dan kemajuan ekonomi. Peradaban diukur oleh pertumbuhan berbasis data makro yang dinamis.
Sistem pendidikan sekuler memandang relasi dosen dan mahasiswa dari kaca mata manajemen. Keduanya terhubung oleh sebuah kontrak yang dibingkai semangat profesionalitas. Pertanggungjawaban dilakukan melalui dokumen pendukung yang dianggap memiliki legalitas. Agaknya benar, kecurigaan bahwa religiositas adalah bidang lain dari akademik. Pasalnya, dunia agama terlahir dengan semangat kepatuhan, taklid, tanpa protes, sedangkan akademik terlahir dengan semangat menggugat, mempertanykan, mencari tahu.
Jargon spiritualitas kini memang tersebar dalam visi dan misi perguruan tinggi. Antara lain, terwujud alam teks berbunyi “iman” dan “taqwa” sebagai tujuan utama lembaga. Namun pada praktiknya, jalan spiritual menuju kondisi tersebut tidak dibangun dengan baik. Di sejumlah perguruan tinggi Pendidikan Agama ditempatkan sebagai mata kuliah umum (MKU), setara Bahasa Indonesia dan Filsafat Ilmu. Pendidikan Agama yang mestinya mengantar mahasiswa pada penemuan nilai kerap berakhir di ranah pengetahuan kognitif.
Kita tentu masih ingat, sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terlibat gerakan Negara Islam Indonesia (NII) beberapa waktu lalu. Di luar justifikasi sebagai tindakan kriminal, keterlibatan mahasiswa membuktikan kebutuhan terhadap aktivitas spiritual yang besar. Pencarian terhadap Sang Pencipta tidak terpuaskan oleh ritus-ritus keagamaan di kampus sehingga perlu mencari jalan lain.
Terlebih, mahasiswa Indonesia lebih banyak menempuh jalan beragama atas tuntunan keluarga. Mereka tidak menempuh tahap demi tahap proses menjadi manusia beriman, yaitu atheis, agnostik, dan beriman, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong. Aforisma agama yang disampaikan orang tua membuat konsep Tuhan mahasiswa tidak diperoleh melalui perjalanan spiritual yang panjang. Akibatnya, keberimanan mudah tergoyahkan dan membuat mereka terus menerus pada keraguan.
Sikap spritual mahasiswa pada dasarnya sama dengan kebanyakan anggota masyarakat (Indonesia). Kitab suci digunakan sebagai dalil teologis utama. Mereka percaya Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta tetapi juga bertindak sebagai pengatur. Tuhan dipersepsi sebagai sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat memberi hadiah sekaligus hukuman yang berat.
Dalam kehidupan spiritual orang Jawa, konsep demikian kerap disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, Tuhan.
Mahasiswa, yang berusia relatif muda, menerima semacam “kutukan” pertanyaan tentang Tuhan. Namun, pencarian jawaban kerap berakhir pada pertanyaan lain yang lebih berat. Pencarian terhadap Tuhan menyajikan perjalanan spiritual panjang, tanpa henti.
Dalam pencarian panjang inilah, sikap sekuler lembaga pendidikan (umum) menemukan tempatnya dalam biografi spiritual mahasiswa. Sikap keagamaan mahasiswa terkondisikan gagasan-gagasan positivistik. Spiritualitas kembali terdesak pada ruang sunyi yang sangat personal.
Gejala ini dapat dimaklumi sebagai pertarungan ideologis agama dan teknologi dalam diri mahasiswa. Desakan kebenaran dua bidang ini sama kuat, menawarkan dalil masing-masing sebagai yang paling terpercaya. Spiritualitas menawarkan mitologi sebagai dasar keberimanan sedangkan sains mendaku otenitisitas argumentasi ilmiah. Baik basis teologis dan sains mengandung titik buta yang berpotensi mencerahkan sekaligus memperdaya.
Ulama besar Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) barangkali bisa menjadi cermin dunia hening pencarian jati diri spritual. Pada masa mudanya, pemburuan HAMKA telah melewati “rimba”. Ia dikukuhkan menjadi intelektual yang linuwih tidak hanya pada pemikiran filsafat Islam, sekaligus filsafat Barat.
Namun ia tidak mengukuhkan diri melalui jalur akademik. Sekalipun ia pernah menjadi rektor, biografi spiritualnya justru dipengaruhi tokoh sepertin Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Tentu saja problem spiritual mahasiswa saat ini jauh beda dengan HAMKA. Pertarungan batin dalam diri mahasiswa tidak ambivalen religius-sekuler semata. Tegangan batin bisa muncul pada aneka tawaran cara hidup hedonis. Lebih-lebih, tiap tawaran hidup kini bisa terselubung oleh dalil agama dan dalil sekuler sekaligus.
No comments:
Post a Comment