SEKARAN Kesulitan Sumber Air, demikian headline Semarang Metro Suara Merdeka (10/2) kemarin. Ini tentu saja paradoks, mengingat Sekaran nyaris tak berjarak dengan sebuah perguruan tinggi yang lama mendeklarasikan diri sebagai universitas konservasi. Inikah bukti, perguruan tinggi telah menjadi menara gading?
Kehadiran Unnes di Sekaran dimulai sekitar tahun 1992. Dulu Sekaran adalah kampung kecil yang sulit dijangkau. Warga bahkan harus berjalan kaki melewati jalan becek berkilo-kilo meter jauhnya untuk ke pasar di Jatingaleh. Wajah Sekaran berubah setelah salah satu kampus terbesar di Jawa Tengah ini “boyongan” dari Kelud. Sekaran yang terasing menjadi ramai, bahkan cenderung metropolis.
Kehadiran Unnes membawa dua konskuensi. Pertama, potensi-potensi ekonomi di daerah ini tergali. Bisnis kos-kosan, rumah makan, dan laundry menjamur. Dengan asumsi sekitar 15 ribu mahasiswa yang tinggal di Sekaran-Banaran dengan rata-rata pengeluran bulanan Rp500 ribu, total transaksi di sana bisa mencapai 7,5 milyar. Sangat besar.
Namun, eksploitasi ekonomi juga berujung pada eksploitasi alam. Kos-kosan makin marak, berdiri mengabaikan pertimbangan tata ruang. Sampah yang dihasilkan mahasiswa tak terkelola dengan baik. Bahkan air kini mulai langka karena terus disedot dengan berbagai cara. Ya, akhirnya Sekaran langka air.
Gigantis
Kondisi ini memprikhatinkan sekaligus menggelikan. Kondisi Unnes dengan kondisi Sekaran jauh bertolak belakang. Jika kampus eks IKIP itu kini ijo royo-royo hingga menuai banyak pujian, Sekaran kini gersang. Jika kampus Unnes kini rapi, Sekaran justru tumbuh tak terkendali, tanpa rencana, hingga akhirnya berantakan.
Maka, patutlah jika publik dan civitas akademika bertanya-tanya, di mana pertanggungjawaban kampus konservasi ini terhadap masyaraat sekitarnya? Padahal, kita pernah mendengar, Unnes berkomitmen menghijauakn Indonesia, menanam pohon hingga jauh di Wonosobo juga di Pacitan. Benarkah kampus ini tumbuh menjadi menara gading, terlihat megah dari kejauhan namun tak mengalirkan manfaat bagi publik sekitar?
Pertanyaan bernada menggugat ini, dapat dipastikan, mudah menuai bantahan, lengkap dengan statistik yang menggiurkan. Namun, persoalannnya terletak pada pendekatan. Penting bagi publik mempertanyakan will perguruan tinggi terhadap lingkungan terdekat. Sebab, kepedulian mestinya tak selesai dengan seremonial yang rutin itu.
Saya kira, paradoks demikian, terjadi lantaran perguruan tinggi terjebak pada impian-impian gigantis sehingga lupa pada tugas-tugas mendasarnya. Merasa memiliki sumber daya yang linuwih, dosen bergelar doktor dan profesor, dana operaisonal besar, PT berhasrat tampil di dunia internasional. PT kemudian menggulung batas negara dengan menjalin komunikasi intensif antaruniversitas di belahan dunia lain. Maka tidak aneh jika pimpinan PT kini kerap terlihat perjalanan dinas ke luar negeri, Paris atau Beijing, setidak-tidaknya pada akhir tahun anggaran.
Pada saat yang sama, perguruan tingg kerap mengabaikan tugas-tugas dasarnya. Menyebut sekadar contoh, bisakah PT memastikan alumninya bekerja secara layak saat eksploitasi tenaga kerja menjamur akibat relasi industri yang tidak adil? Pertanyaan ini masih relevan diutarakan karena rasio pengangguran tertinggi ternyata berlatar belakang sarjana.
Pada contoh di bidang lingkungan, mengapa berambisi mengijaukan Indonesia, jika “halaman” kampus sendiri masih gersang? Bukankah masyarakat yang pertama kali harus merasakan spirit konservasi adalah masyarakat di mana beton-beton kampus ditancapkan?
Maka, berpijak pada pemikiran Myles Horton (Wa Make The Road By Walking, 2001) pendidikan tinggi harus membangun fondasi awal sebelum melompat pada tingkat global. Perubahan sosial tak bisa meninggalkan dua kunci, yakni kualifikasi intelektual dan kesadaran. Intelektual berkaitan dengan kacakapan akademik, sikap ilmiah, juga nalar sedangkan kesadaran berkaitan dengan elan, subjektifitas, dan motif.
Horton membuat model yang baik dengan mendirikan Highlander Folk School dalam usahanya membebaskan rakyat dari kekangan pemerintah. Cita-cita itu Horton lakukan dengan cara bersahaja, jauh dari pamrih mendunia. Dan itu berhasil.
Dalam konteks itu, ada baiknya PT meredam ambisi go internasionaluntuk sementara fokus pada persoalan lokal dan sangat lokal. Meski tidak gemerlap, cara ini menjauhkan PT dari kesan klise dan latah. Meski tak akan tercatat pada lembar-lembar publikasi, justru cara ini akan lebih mengena pada hati publik.
Dua Jalan
Konskuensinya, PT perlu meninggalkan tradisi lama, mengurangi kerja seremonial dan mengalihkan energi pada kerja kultural. Sekalpun sebagai lembaga underbow pemerintah PT tetap akan menempuh jalur formal, berpretensi pada hasil, bahkan gemar menggunakan statistik, kerja kultural membantu civitas akademika meredefinisi diri, peran, dan hasil kerjanya.
Kedua, pola komunikasi PT dengan masyarakat (sekitar) perlu ditata kembali supaya lebih setara. Sebab, diam-diam kampus telah melakukan kesombongan, menganggap diri intelektual sehingga memisahkan diri dari kelompok lain. Dosen tak harus merasa lebih hebat dari guru, pun demikian mahasiswa tak harus merasa lebih digdaya daripada pemuda desa. Semoga.
No comments:
Post a Comment