Tulisan Agus Sudibyo berjudul PNS dan Ukuran Kesuksesan(Joglosemar, 18/11) coba menjawab realitas sosial mengapa sarjana begitu antusias menjadi PNS. Menurutnya, selain kesulitan ekonomi akibat krisis global, sarjana banyak yang bermental pelayan karena kurang inisiatif dan tidak berani menghadapi tantangan.
Tentu saja hipotesis itu tidak keliru, namun bukan faktor tunggal. Hemat saya justru kegagalan lembaga pendidikan yang andil dominan. Sekolah dan perguruan tinggi gagal menciptakan manusia yang mampu membaca dan memahami karakter lingkungan sehingga terasing pada nalar yang sama sekali terpisah dengan realitas sosial masyarakat tempatnya hidup.
Kondisi ini diamaklumi Winarno Surahmat sebagai kegagalan lembaga pendidikan berdialog dengan zaman. Menurutnya, lembaga pendidikan banyak yang gagal memenuhi tugas sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan justru terjebak sebagai pengawet ilmu dan pengetahuan. Proses belajar yang tidak didukung dengan tradisi riset mapan hanya proses pewarisan ilmu-ilmu lama sekalipun dilakukan dengan cara dan pendekatan baru.
Waktu belajar selama delapan semester bagi sarjana tentu waktu yang sangat lapang untuk memahami potensi diri. Mestinya dalam rentang waktu itu peserta didik mampu memetakan potensi dan kreativitas yang dimiliki sekaligus mengatur strategi supaya potensi itu dapat dijadikan jalan meretas karir yang ideal. Namun kenyataan berkata lain. Banyaknya sarjana yang berebut kursi PNS membuktikan lembaga pendidikan gagal mempersiapkan manusia muda yang memiliki insiatif.
Mitos Kreativitas
Keadaan ini sesungguhnya kontras dengan propaganda dan mitos yang selama ini dipublikasikan lembaga pendidikan. Hampir seluruh sekolah dan perguruan tinggi mencantumkan “kreativitas” atau kata turunan yang memiliki makna nyaris sama sebagai visi penyelenggaraan pendidikan. Sekolah mengidamkan peserta didiknya menjadi manusia kreatif karena watak ini diyakini mampu menjadi solusi awal untuk mengurai persoalan-persoalan hidup. Sayangnya, “kreativitas” berakhir sebagai mitos karena sekolah gagal merumuskan konsep dan strategi pencapaiannya.
Kreativitas memang menjadi konsep yang paripurna. Sekolah memahaminya sebagai paket yang tidak ada cela. Guru dan siswa pun menjadi konstituen yang setia karena kreativitas telah menjadi dewa baru. Padahal, konsep yang dikonstruksi sekolah sebagai jalan mempersiapkan manusia kreatif berisi beberapa pernyataan yang diragukan. Kreativitas versi sekolah menyisakan pertanyaan karena dimuati tendensi politis.
Rhodes (1961) menyampaikan kratif menyangkut tiga hal yang tidak bisa terpisah satu dengan lainnya, meliputi person, proses, dan produk. Berpikir kreatif, lanjut Rhodes, memiliki lima karakteristik, yakni kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali (redefinition). Konsep ini diajukan sebagai jalan tengah supaya “klaim” kreativitas tidak hanya diukur dengan data-data kuantitatif tetapi juga tidak melulu berdasarkan tafsiran subjektif.
Telaah tentang kreativitas dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu pendekatan psikologis, sosiologis dan sosio-psikologis. Perspektif psikologis meninjau kreativitas dari segi kekuatan-kekuatan pada diri seseorang sebagai penentu kreativitas, seperti inteligensi, bakat, motivasi, sikap, minat dan disposisi-disposisi kepribadian lainnya. Asumsi dasarnya adalah manusia merupakan organisme alloplastis yang mampu mengubah lingkungannya.
Pendekatan sosiologis melihat faktor-faktor lingkungan sosial budaya dalam perkembangan kreativitas. Kreativitas dipandang sebagai fungsi dari faktor-faktor lingkungan. Sedangkan pendekatan sosial-psikologis (pendekatan transaksional) menganggap kreativitas individu sebagai hasil dari proses interaksi sosial. Individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan.
Konsep dan perspektif tentang kreativitas menjadi pelik karena telah berpengaruh besar terhadap paradigma, teori, dan praktik pendidikan di lembaga pendidikan kita. Kekeliruan menerjemahkan kreativitas telah mengakibatkan disorientasi proses pendidikan sehingga hasilnya menyimpang. Apalagi, konsep bergerak sangat lentur mengikuti dinamika zaman. Selama ini sekolah menyandarkan konsep pada undang-undang yang kolot, kaku, dan tidak fleksibel sehingga gagal berdialog dengan dinamika.
Setidaknya ada dua sebab mengapa sekolah gagal mendefnisikan konsep kreatif yang relevan dengan kondisi zaman. Pertama, sekolah menjadi agen propaganda pemerintah yang tidak kritis. Visi, misi, dan strategi yang ditetapkan hampir selalu berupa telaah mentah program pemerintah pusat. Sekolah tidak memiliki keberanian menolak sekalipun konsep yang dipersipakan pemerintah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di tingkat lokal. Program yang dipilih dan dijalankan sekolah hanya salinan doktrin kondisi ideal manusia Indonesia seperti yang dirumuskan dalam berbagai dokumen negara. Proses belajar yang dilangsungkan akhirnya hanya untuk memenuhi “hasrat” negara memiliki warga yang baik. Padahal konsep warga negara baik yang dirumuskan negara hanyalah manifestasi keinginan pemerintah memiliki warga negara yang cerdas dan produktif namun setia.
Sebab kedua, konsep kreatif yang dirumuskan sekolah ternyata telah dihegemoni kepentingan industri. Kreatif diartikan sekadar terampil. Sikap dan sifat kreatif dibanalkan sebagai kemampuan mencipta, mengombinasi, atau memodifikasi produk yang berpotensi mendatangkan keuntungan. Capaian kreativitas diukur oleh pengakuan pasar melalui angka penjualan. Mekanisme pasar menjadi konsesus tunggal yang menentukan keberhasilan. Padahal, kreativitas bukan semata soal produk, tetapi menyangkut sikap, motivasi, minat, gaya berpikir, dan kebiasaan-kebiasaan dalam berperilaku yang sangat subjektif (Supriadi, 1985).
Nalar industri yang digunakan sekolah dalam merumuskan kondisi ideal manusia kreatif menempatkan peserta didik sebagai calon pekerja. Layaknya kodrat industri siswa diarahkan sebagai pencipta produk solutif yang diperlukan anggota masyarakat. Mereka diarahkan berpikir terpusat (konvergen) supaya mampu menciptakan jawaban tunggal sebuah persoalan.
Telaah demikian tentu saja tidak keliru, namun tentu bukan telaah tunggal. Karena itu, sekolah perlu memahami kreativitas dari perspektif lain sebagai landasan memainkan peran sosialnya. Kreatif bukan kecerdasan memilih salah satu dari sekian pilihan (seperti yang disimulasikan dalam soal pilihan ganda) melainkan kemampuan melihat berbagai dimensi yang beragam atau bahkan bertentangan menjadi suatu pemikiran baru.
Terlalu sayang jika proses belajar siswa dan mahasiswa selama bertahun-tahun hanya untuk memenuhi hasrat industri dan pemerintah; menjadi pekerja atau PNS.
No comments:
Post a Comment