Thursday, 8 March 2012

Psikoanalisis di Balik “Walikota Bodoh”

TIDAK disangka, rencana pembangunan mall di bekas pabrik es PT Sari Petojo mengerucut pada adu pendapat dua pimpinan daerah daerah itu. Pernyataan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dengan menyebut Joko Widodo sebagai walikota bodoh telah menyinggung publik Solo. Elemen masyarakat Solo, seperti  Forum Komunitas Masyarakat Solo (FKMS) bahkan menyatakan tidak mengizinkan sang gubernur menginjakan kaki di kota mereka. Mengapa situasi ini bisa terjadi?
Pernyatan anggota fraksi PDIP Solo, Honda Hendarto, bahwa statement Bibit adalah bentuk ketakutannya terhadap Jokowi, sebab sang walikota memiliki daya tarik yang lebih besar dibanding Bibit untuk memimpin Jawa Tengah (Joglosemar, 28/6), bisa menjadi landasan analisis kebahasaan yang menarik.
Tuturan, dalam bentuk paling diafan hingga yang paling metafor, adalah representasi kondisi batin penutur. Unsur kebahasaan seperti diksi dapat dicermati untuk memetakan kondisi batin seseorang. Dalam kondisi tutur tertentu, unsur suprasegmental seperti tekanan dan tempo bahkan sangat terasa menggambarkan suasana.  Kadang, diksi dan tekanan bahkan mampu mewartakan maksud yang lebih dalam daripada makna leksikal sebuah tuturan. Sebab, keduanya hadir dari ketidaksadaran.
Sigmund Freud dalam The interpretation of Dream menyebut setidaknya terdapat tiga kondisi yang mempertautkan sebuah tindakan dengan kesadaran penuturnya. Pertama, conscious thoughtyaitu alam sadar, terepresentasi dalam tindakan yang terencana. Umumnya bahkan telah dipertimbangkan, sekalipun secara sederhana, untung rugi yang mungkin mengikutinya.
Kedua,  pre conscious, yaitu ide-ide yang tidak kita sadari namun bisa kapan pun muncul saat dibutukan.  Ketiga, unconscious atau bawah sadar adalah wilayah lain dari pikiran yang sangat dalam, banyak, dan tersembunyi.
Menurut Freud sesuatu yang terjadi di masa lalu dan tertekan dalam alam bawah sadar akan menghasilkan respon yang sangat kuat sehingga tidak bisa diungkapkan secara terbuka, dan keluar dari jangkauan mental. Semua ini dideskripsikan oleh Frued dengan istilah ”neurosis”. Mimpi, menurut bapak psikoanalisa ini, termasuk gejala neurosis manusia.
Meski demikian, kondisi psikologis bukan faktor tunggal yang mempengaruhi produksi tuturan. Kondisi psikologis hanyalah salah satu bagian penting. Faktor lain, yang dominasinya terhadap tuturan tak bisa diabaikan, adalah mitra tutur dan suasana. Mitra tutur jamak disebut lawan bicara, adapun suasana adalah situasi ketika tuturan itu dihasilkan (Chaer dan Agustina, 1995:61).

Sadar
Adalah keputusan berani bagi Bibit Waluyo mengatakan Joko Widodo sebagai walikota yang bodoh. Sebab, rekam jejak Jokowi mewartakan hal sebaliknya. Memperoleh gelar sebagai walikota terbaik di tanah air, kapabilitas personal Jokowi telah mendapat legitimasi publik. Masyarakat Solo mengukuhkan ia sebagai pimpinan yang patut diharapkan dengan memperoleh suara 89,96 persen pada Pilkada April tahun lalu.
Sebagai pejabat publik, Bibit Waluyo tentu sadar bahwa ucapannya memiliki implikasi sosial politis yang luas. Terlebih, “walikota bodoh” dilontarkan di depan wartawan  sehingga akan terpublikasi. Maka, kita patut mengira “walikota bodoh” terlontar dengan sengaja. KoranTempo yang kemudian menjadikan ucapan itu sebagai headlinehanya menangkap bombastisitas ucapan itu.
Cara bertutur Bibit memang khas, setidaknya dibanding pejabat publik lain, karena blak-blakan. Dalam istilah Jawa, karakter demikian kerap disebut cablaka atau blokosutho. Media mencatat, sang gubernur jarang menggunakan eufimisme untuk mengungkapkan pesannya. Ketika melantik Walikota Semarang misalnya, ia berpesan “wani korupsi, masuk neraka”. Ketika melantik bupati dan wakil bupati Kendal, pria kelahiran Klaten ini bahkan mengucap “gratis mbahe sangkil” untuk mengingatkan bahwa janji sekolah dan berobat gratis adalah janji yang ngoyoworo.
Gaya komunikasi demikian memang enak didengar. Tidak hanya satu-dua kali ucapan mantan Pangkostrad ini menjadi judul berita lantaran dinilai kemedol. Sayangnya, ucapan semacam ini justru berisiko memperburuk komunikasi. Terbukti, dalam tiga tahun kepemimpinannya Bibit kerap direpotkan miskoordinasi bawahannya. Beberapa kali ia harus ngonen-oneni bupati dan walikota lantaran mangkir dari rapat yang dipimpinnya.

Transisi
Dibesarkan dalam tradisi militer Bibit Waluyo agaknya terbiasa dengan gaya komando. Perintah pimpinan hanya patut dijawab “siap, Ndan”. Padahal, kondisi di jabatan sipil tidak demikian.
Dialog atasan dan bawahan adalah keniscayaan. Bukan tidak mungkin keduanya terlibat adu wacana lantaran keduanya memiliki perspektif yang berbeda. Ucapan ”walikota Solo itu bodoh,” kemudian diikuti “kebijakan Gubernur kok ditentang. Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana?” menujukkan ia belum sukses bertransisi pada dua medan yang berlainan.
Besar kemungkinan, perasaan wenang mrentah Bibit didasari asumsi bahwa bupati dan walikota secara struktural berada di bawahnya. Gubernur, sebagaimana disebut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertugas melakukan pembinaan, pengawasan, dan koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Selain itu, kenyataan bahwa pemerintah provinsi masih menyalurkan sejumlah dana kepada kabupaten dan kota membuat gubernur berada pada kondisi psikologis dominan.
Publik tentu tak mempersoalkan fakta yuridis tersebut. Begitupun publik sebenarnya tidak terlalu tertarik menjadi “juru sorak” bagi dua pimpinan yang bersebrangan paham. Substansi persoalan ini perlu didudukan kembali supaya tidak melebar dan dipolitisasi. Sebab, harapan warga Solo sebenarnya sederhana. Mereka tidak ingin mall (kembali) didirikan di sekitar mereka karena khawatir mematikan pasar tradisional. Sederhana dan belajar dari pengalaman.

No comments:

Post a Comment