Litos. Itu istilah Milan Kundera untuk menggambarkan situasi kesadaran manusia atas kondisi chaos lingkungannya, namun malas untuk bergerak. Keprikhatinan atas kondisi negara yang berantakan tak menyulut perlawanan. Tiap-tiap orang bergerak menyelamatkan diri, dengan cara yang bisa mereka bisa.
Narasi ini barangkali tepat menggambarkan situasi batin anak-anak muda Indonesia. Mereka (kami?) terjebak dalam kegamangan ambisi dan realitas. Mendapat dorongan untuk bergerak lantaran mendapati ketidakberesan pada pengelolaan negara, namun tak memiliki cukup keberanian melakukan dobrakan. Kutukan yang tampaknya belum akan segera berakhir.
Masa pergerakan mahasiswa telah menjadi romantisme. Masa itu dikenang dalam museum ingatan yang asing dan tak tersentuh. Alih-alih memantapkan gerakan baru, mahasiswa kini memilih jalan eskapis, melarikan dari beban moral dan bebean stigma asebagai “agen perubahan”.
Demikian picik kah jalan hidup mahasiswa kini?
Baik di dunia akademik maupun sebagai individu, mahasiswa menerima sugesti dari lingkungan. Entitas-entitas kebudayaan di luar dirinya, berusaha menghegemoni, bahkan mendominasi kalau perlu. Agama melancarkan serangan dengan dalil aqli, leluhur mengikat dengan mitos, dan sains menggoda pikiran dengan ide objektivitas, ilmiah, juga kebebasan individual.
Tidak ada yang keliru dengan nilai-nilai yang berkelindan itu. Sebab, seperti kerap disebut para pemikir postmodern, tidak satu senti pun ruang di muka bumi ini yang bebes nilai. Tempat publit, ruang privat, atau ruang di antara keduanya senantiasa menjadi medan “tempur” nilai. Perebutan legitimasi kebenaran terus terjadi.
Di tengah realitas macam itu, risiko mahasiswa, adalah terjerambab pada pilihan keliru. Apa yang saya sebut “keliru”? Tidakah klaim dan stigma keliru selalu probelmatik, debatable, dan cenderung serampangan?
Keliru adalah pilihan tidak tepat. Sebuah sikap yang ditunjukan bukan oleh kehendak dan elan, melainkan keterkondisian. Kekeliruan bersikap menjebak pelakunya selalu dalam kegamangan, atau, keyakinan yang rapuh.
Pilihan anak muda Indonesia untuk bergabung dengan kaum radikal Islam, misalnya, ternyata tidak dilandasi pemahaman yang dalam. Mereka terkondisikan oleh doktorin yang dating siang malam. Bahkan saya yakin, keputusan untuk merelakan diri menjadi pengebom, tidak didasari kajian cukup soal dalil yang digunakannya.
Kondisi gamang, keragu-raguan, dan tak tahu harus berbuat apa lah yang membawa mahasiswa kini akhirnya memilih lari. Lari dari tanggungjawab moral dan sejarah. Mereka (kami?) memilih menyibukan diri, menghindari agenda perjuangan, pergerakan, pemberentoakan yang mestinya dipikul kaum intelektual.
Mengapa harus repot memprotes pemerintah, kalau para pejabat ternyata tuli? Mengapa harus berpanas-panas membentangkan spanduk, jika pejabat ternyata buta? Atau, mengapa harus membakar diri di depan istana, jika presiden ternyata tak punya mata?
Ya. Bukankah lebih menyenangkan berbisnis, menghasilkan banyak uang, dengan sedikit berbuat curang, agar terus menggelembung itu tabungan?
No comments:
Post a Comment