Wednesday 26 September 2012

Jurnalistik, Pekerjaan atau Gaya Hidup?

ANDA mungkin membayangkan sosok jurnalis sebagai pekerja tetap pada sebuah media. Ia membawa pena, melakukan wawancara, memotret, lalu menulis berita. Tentu saja itu bukan persepsi yang keliru, namun bukan deskripsi terbaik saat ini.

Istilah citizen journalism mengubah definisi wartawan sudah sejak lama. Dan, dengan begitu, berubah pula profil wartawan. Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media yang mamcu partisipasi publik meningkat.

Saya, Jurnalis

Siapa pun bisa menjadi “wartawan” bukan? Wartawan di Facebook, di Blackberry Massanger (BBM), atau twiiter. Jurnalistik telah menjadi gaya hidup. Wartawan Tempo Luwi Ishwara menyebut, “Anda tidak berhenti menjadi wartwan setelah pukul 5 sore. Jurnalisme bukan sekedar pekerjaan, tetapi suatu cara hidup dan selalu mencari gagasan yang baru.

Jika semua orang telah (atau setidak-tidaknya) bisa menjadi wartawan, maka penting kita diskusikan tentang wartawan yang “baik” dan “kurang” baik.

Tom Friedman dari New York Times mengatakan cirit utama wartawan adalah skeptic. Menurutnya skeptis adalah tentang bertanya, meragukan, waspada, tidak mudah ditipu. Seorang yang skeptis akan berkata: “ saya kira itu tidak benar. Saya akan mengeceknya”.

Lain halnya dengan sinis. Orang yang sinis -merasa- suadah mempunyai jawaban tetang seseorang atau peristiwa yang dihadapinya. Ia akan berkata “ saya yakin itu tidak benar. Itu tidak mungkin. Saya akan menolaknya”.

Untuk menolak sifat sinis, kita harus menanamkan sikap skeptis yang kuat. Sebagai wartawan yang bertugas mencari kebenaran, kita harus meragukan, bertanya, menggugat, dan tidak begitu saja menerima kesimpulan-kesimpulan yang umum.

Pengarang Oscar Wilde berkata bahwa sifat skeptis adalah awal dati kepercayaan, sedangkan seoarang yang sinis mengetahui harga segala sesuatu tetapi tidak tahu nilainya. Malah Vartan Gregorian dari Brown University mengatakan bahwa sinis adalah kegagalan manusia yang paling korosif karena menyebar kecurigaan dan ketidak-percayaan, mengecilkan arti harapan dan  merendahkan nilai idealisme.

Wartawan menganggap kebenaran sebagai kiblat yang satu dan kebaikan di kiblat yang lain. Menuturkan hal yang benar adalah kewajiban. Maka mestinya, ia rela jika harus bersusah payah mengejar kebenaran di lapangan; melintasi medan sulit, mengejar narasumber kredibel, dan meninggalkan keluarga di rumah.

Dalam jurnalistik, disiplin verivikasi mutlak dilakukan. Menerima informasi tanpa kroscek adalah kesalahan, sama halnya merasa diri sudah tahu padahal belum.

Ketika perang Vietnam, seorang wartawan muda dari kantor berita menulis cerita didasarkan pada siaran pers pemerintah. Homar Bigart, wartawan perang New York Times, terkejut ketika berita itu dimuat di halaman muka korannya.

Bigert yang pernah terjun ke medan perang Vietnam dan mengenal lapangan mengetahui bahwa pemerintah Amerika telah menggambarkan secara berlebihan pada siaran persnya. Ia menganggap perlu membawa wartawan muda itu ke lapangan untuk membuktikan bahwa tidak ada seperti  apa yang digambarkan pemerintah dalam siaran pers itu.

Pengetahuan Luas

Skeptis saja tentu tak cukup. Saya pernah mengunjungi sejumlah kantor redaksi surat kabar, seperti Wawasan, Radar Semarang, Suara Merdeka, Kompas, National Geographic Indonesia. Semakin banyak buku yang terpampang di kantor mereka semakin tinggi “kelas” karya mereka.

Wawasan dan pengetahuan adalah bahan baku melakoni aktivitas jurnalistik. Wartawan dengan pengetahuan luas bukan hanya diuntungkan karena dapat menulis berbagai masalah, namun tulisannya juga akan terasa lebih hidup.

Jurnalisme adalah seni yang mensyaratkan wartawannya melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik. Tetpai mata itu harus mempunyai fokus, suatu arah untuk mengawali pandangan. Hal ini penting bagi penulis berita untuk menunjukkan arah yang wajar.

Dave Barry, seorang kolumnis, berkata: saya adalah seorang penulis yang baik dan saya pikir itu sudah cukup. Tetapi jurnalisme bukanlah tentang menulis (saja). Anda belajar tentang apa sebenarnya mencari dan bertanya hal-hal pelik dan gigih.

Indipenden
Kepada siapa wartawan bekerja? Relasi industrial telah menjerat banyak wartawan pada kepentingan bisnis dan politik yang tak indipenden. Bisa jadi, setelah Surya Paloh mendirikan Nasional Demokrat (Nasdem) wartawan MetroTV lebih sering mengeluh. Dari berbagai pemberitaan mereka “diharuskan” berpolitik, membela para “juragan media.

Buku Kecap Dapur Tempo menarasikan cerita bagaimana para wartawan mengupayakan diri tetap indipenden di tengah tekanan penguasa pada saat itu. Memberitakan penguasa membuat mereka berhadapn dengan breidel. Tapi pilihan itu tetap mereka tempuh. “Apa bedanya dibreidel sekarang atau besok?” kata seorang pendirinya.

Deni Elliott dalam buku Responsible Journalism menyebutkan bahwa tanggung jawab wartawan dalam tugasnya adalah:

1.                  Jujur dan adil dalm menyajikan berita.
2.                  Berbicara untuk yang tertindas.
3.                  Mendapatkan berita dengan segala usaha.
4.                  Melayani sebagai mata dan telinga masyarakat.
5.                  Peka terhadap kebutuhan individu yang menjadi subyek berita dan sumber.
6.                  Menjadi ‘anjing jaga’ –watchdog- terhadap pemerintah.
7.                  Melaksanakan apa yang diyakini benar.

Mengabdi Kebenaran

Bill Kovach & Tom Rosenstiel dalm bukunya The Elements of Journalism menulis bahwa tujuan dari jurnalisme adalah menyediakan masyarakat dengan informasi yang dibutuhkan untuk menjadi bebas dan bisa menentukan sendiri. Untuk memenuhi ini maka:

1.                  Kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran.
2.                  Kesetiaan utama adalah pada masyarakat.
3.                  Inti jurnalsime adalah disiplin pada verifikasi.
4.                  Wartawan harus mempertahankan kebebasannya dari yang mereka liput.
5.                  Jurnalsime harus berperan sebagia monitor yang independen dari kekuasaan.
6.                  Jurnalisme harus menyediakan suatu forum bagi kritik publik dan kompromi.
7.                  Harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan.
8.                  Harus berusaha agar berita itu komprehensif dan proposional.
9.                  Wartawan harus dibolehkan menjalankan/ mewujudkan suara hati mereka.

Manfaat

Edy Suhardy menuturkan kisah seorang reporter yang bekerja di salah satu majalah. Bulan lalu ia mewawancarai seorang wanita pengusaha. Proses wawancara berlangsung lancar. Tetapi ada satu hal yang membuat reporter kita tercekat hatinya. Itu terjadi saat ia memperoleh jawaban dari pertanyaan: “Dari mana datangnya ide membuat toko”?

“Ide saya membuat toko datang dari tulisan Anda. Dan ternyata, ide itu membuahkan hasil yang baik”, jawab si pengusaha.

Pulang dari wawancara, sang reporter membawa kesan mendalam. Ternyata tulisannya telah memberikan manfaat bagi orang lain. Ia merasa bahagia, sekaligus haru. Sejak itu ia bertekad ingin terus menjadi wartawan. Ada satu kata kunci dari kisah yang harus kita ingat: manfaat.

Dengan demikian wartawan mempunyai tujuan mulia (noble purpose). Paus Johanes Paulus II berkata: Dengan pengaruh yang luas dan langsung terhadap opini masyarakat, jurnalisme tidak bisa dipandu hanya oleh kekuatan ekonomi, keuntungan dan kepentingan khusus. Jurnalisme haruslah diresapi sebagi tugas suci. Wow!

*          Materi disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Dasar (PJD) Mathematic Journalistic Club, FMIPA Unnes, 30 September 2012.
**        Surahmat, penulis lepas, pemimpin redaksi PortalSemarang.Com.

No comments:

Post a Comment