IDENTITAS lokal sebuah kelompok dalam masyarakat telah lama disadari sebagai kekayaan yang penting dijaga dan dilestarikan. Masyarakat terketuk untuk menjaga kemurnian produk kebudayaan lokal dan berusaha mengklaimnya.
Sayangnya, dalam arena pemilihan kepala daerah (Pilkada), kesadaran akan pentingnya produk lokal justru kerap disalahpahami sebagai kebanggaan tertutup sehingga melahirkan primordialisme.
Primordialisme, sebagaimana diuraikan Mcleland dalam buku Ideology, adalah kebanggaan berlebih terhadap kelompok. Paham ini berkembang sebagai usaha menjaga eksistensi sebuah kelompok dalam peta pergaulan yang lebih luas supaya tetap berada pada posisi superior. Konkritnya, primordialisme dilakukan dengan membangga-banggakan kelompok sendiri dengan menafikan kelompok lain.
Dalam penyelenggaraan Pilkada primordialisme seringkali dimunculkan kubu seorang calon untuk memperkuat posisinya. Umumnya, seorang calon mempersoalkan asal wilayah lawan politik supaya konstituennya mengubah haluan dukungan. Dengan cara seperti ini, konstituen lawan politik diharapkan berpindah untuk memperkuat dirinya.
Meski terbukti gagal, praktik semacam ini pernah terjadi pada Pilkada Banjarnegara 2006 silam. Saat itu ada tiga calon bupati yang satu di antaranya merupakan warga pendatang, dalam arti tidak dilahirkan di bumi Banjarnegara. Asal kedaerahan diungkit lawan politik untuk mempersoalkan komitmennya terhadap daerah. Sebab, berkembang anggapan, sebuah daerah akan jauh lebih mudah berkembang jika dipimpin putra daerah.
Pilkada 2010
Dalam Pilkada di sejumlah daerah di Jawa Tengah yang akan digelar 2010, isu primordial dimungkinkan akan kembali mengemuka. Apalagi belakangan diketahui, bakal calon bupati atau walikota di sejumlah daerah tidak lahir dari daerah bersangkutan.
Selama 2010 setidaknya ada 17 kabupten/kota yang akan melangsungkan pemilihan bupati dan walikota. Kabupaten Kebumen dan Kota Pekalongan dijadwalkan 5 Juni, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal 26 Juni, Rembang, Kota Magelang, Sukoharjo, Blora, Boyolali, Pubalingga, dan Surakarta pada 27 Juni.
Selain itu Pilkada juga dijadwalkan berlangsung di Kabupaten Semarang pada 31 Agustus, Wonosobo 4 September, Wonogiri pada 17 September, Klaten tanggal 24 September, dan Pemalang 27 November.
Dari 17 daerah yang menggelar Pilkada tidak semua calon adalah putra daerah. Partai politik yang berhak mengajukan calon bupati atau wali kota seringkali menafikan asal calon karena lebih mempertimbangkan ketokohan dan peta dukungan. Sebab, putra daerah belum tentu memiliki peluang menang lebih besar dibanding calon dari luar.
Hadirnya calon bupati dan walikota luar daerah juga terkait pemberlakuan UU Nomo 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut mengatur hanya partai politik yang memiliki suara minimal 15 persen pada pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon sendiri. Akibatnya, bakal calon umumnya adalah kader atau kalangan yang dekat dengan partai besar meski mereka bukan putra daerah.
Perspepsi kekuasaan
Munculnya isu primordial yang diikuti penolakan terhadap calon nonputra daerah juga terkait dengan persepsi kekuasaan yang berkembang dalam masyarakat. Sebagian anggota masyarakat masih menganggap posisi sebagai bupati dan walikota adalah penguasa, bukan pemimpin. Mereka khawatir pembangunan daerah akan sulit berkembang karena ‘dikuasai’ orang luar.
Datangnya calon dari luar daerah dapat terjadi melalui beberapa proses. Pertama, calon kelahiran daerah dan tercatat secara adminsitratif sebagai penduduk namun lama bermukim di luar daerah. Bakal calon serta merta pulang saat Pilkada akan digelar sehingga dianggap tidak memiliki ikatan emosional dengan penduduk setempat.
Kedua, calon kelahiran luar kota namun telah lama tinggal daerah dan tercatat sebagai penduduk setempat. Meski mengetahui dinamikan sosial politik penduduk setempat calon ini seringkali dianggap tidak punya ikatan moril dengan daerah yang dipimpin. Ia dianggap sebagai perantau yang suatu saat akan kembali ke kampung halamannya.
Sejauh ini diskursus mengenai sikap primordial memang hanya berada dalam dimensi etis. Sedangkan undang-undang mengatakan bahwa Pilkada bisa diikuti oleh calon dari partai atau perseorangan asal memiliki kelengkapan administrasi. Artinya, siapapun yang memenuhi syarat administrasi bisa mengikuti Pilkada meski selama ini tidak tinggal di daerah bersangkutan.
Meski hanya pada dimensi etis, isu primordial sangat berpotensi memecah belah masyarakat. Gencarnya kampanye hitam yang primordial dikhawatirkan akan mendikotomikan warga menjadi putra daerah dan warga pendatang sehingga berakibat buruk pada ikatan tali sosial masyarakat.
Untuk mencagahnya, calon bupati dan walikota mestinya tidak menggunakan isu tersebut selama kampanye. Selain tidak etis dan berpotensi melahirkan perpecahan, isu kedaerahan sangat tidak substansial dan justru mengaburkan esensi Pilkada. Sebab, kapasitas kepemimpinan seseorang tidak diukur dari asal daerahnya, melainkan rekam jejak, komitmen, dan kapabelitasnya.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara
Saturday, 15 September 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment