Friday, 14 September 2012

Pemilihan Rektor, Ironi Demokrasi


PEMILIHAN rektor perguruan tinggi negeri (PTN) menyisakan aib dunia akademik. Masyarakat kampus, yang menanggung ekspektasi sebagai miniatur demokrasi, justru gagal memberi teladan. Dunia akademik berlepotan oleh motif politik dan ekonomi.

Kondisi demikian bermula oleh hasrat pemerintah, melalui Kemendiknas, untuk mencampuri ”urusan rumah tangga” universitas. Melalui Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010, Kemendiknas ”meminta” hak 35 persen suara saat pemilihan rektor. Sisanya, 65 persen diserahkan senat.

Ketentuan demikian tentu saja kontraproduktif dengan semangat otonomi universitas yang didengungkan pemerintah memalui UU Sisdiknas. Pada titik tertentu, hak suara Menteri bahkan mencederai demokrasi. Kebebasan akademik, hal yang sangat substansial dalam dunia pendidikan, kemudian tersandera kekuasaan. Senat atau Majelis Wali Amanah (MWA) tersubordinasi oleh kepentingan penguasa.

Bukti paling nyata terjadi pada saat pemilihan rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, 2010 lalu.  Saat itu Majelis Wali Amanah telah menggelar pemilihan.  Prof Ir Priyo Suprobo unggul dengan perolehan 60 suara. Sementara dua kandidat lainnya, Prof Dr Triyogi Yuwono mendapat 39 suara dan Prof Daniel M Rosyid hanya 3 suara. Di luar dugaan, Mendiknas M Nuh justru menetapkan Prof Dr Triyogi Yuwono sebagai rektor ITS periode 2011-2015.

Bisa dibayangkan, betapa rendah wibawa senat universitas jika peristiwa ini terjadi. Kandidat A memperoleh 40 persen suara, kandidiat B memperoleh 7 persen. Dengan argumen tersendiri Kemendiknas bisa melimpahkan suaranya kepada kandidat B sehingga ia memperoleh 42 suara.

Strategis
Intervensi pemerintah terhadap pemilihan rektor bermula di Universitas Cendrawasih, Papua. Dinamika politik Jayapura-Jakarta membuat Uncen memiliki peran politik yang strategis. Uncen menjadi pintu masuk pemerintah untuk menyapa intelektual Papua yang berafiliasi pada Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Di tengah memanasnya hubungan pemerintah pusat dan OPM, mengambil kendali Uncen adalah strategi politik yang cerdik. Melalui rektor, pemerintah dapat membangun dialog dengan tokoh intelektual setempat. Kultur birokrasi struktural di Indonesia membuat jabatan rektor memiliki posisi tawar yang kuat. Dalam banyak hal, rektor bahkan lebih kuat daripada guru besar yang telah diberi kebebasan akademik.

Hasrat pemerintah inilah yang membuat pemilihan rektor Unversitas Indonesia (UI) 9 Oktober mendatang juga menyisakan kekhawatiran. Tak terhindarkan, perebutan jabatan rektor salah satu universitas terbesar Indonesia tersebut akan menjadi pertarungan politik. Alih-alih menjadi wasit yang adil, Kemendiknas justru ingin menjadi pemain.

Peran strategis PTN tidak hanya terletak pada peran sosialnya. Invasi paradigma ekonomi dalam pengelolaan PTN membuat lembaga ini menjadi lembaga ekonomi yang menarik perhatian. Karena itu, perebutan posisi rektor adalah sekaligus ikhtiar sekelompok orang mengamankan aset ekonomi miliaran rupiah.

Darmaningtyas, dkk (2009) mencontohkan, aset ekonomi PTN di Indonesia tak dapat dibilang kecil. Biaya operasional IPB misalnya mencapai Rp 252 miliar per tahun, ITB Rp 246 miliar, UI Rp 415 miliar, dan UGM Rp 548 miliar. Selain memiliki tangible asset, PTN juga memiliki intangible asset yang tak sedikit, seperti kerja sama industrial, hak paten, dan royalti.

Selain itu, PT memiliki peran kultural yang sangat besar. Melalui mahasiswa dan alumninya, PT dapat melakukan intervensi kebudayaan secara massif. Rekayasa kebudayaan kaum intelektual dapat dilakukan melalui kurikulum dan rangkaian program. Tidak dapat dipungkiri, peran rektor sangat besar dalam menentukan haluan kurikulum dan program PT yang dipimpinnya.

Dua Solusi
Hasrat pemerintah memilih rektor tidak lepas dari desakan lembaga multilateral seperti Bank Dunia. Sponsor utama liberalisasi pendidikan itu menghendaki pendidikan menjadi aset industri. Dengan cara tersebut, negara-negara maju, yang memiliki kualitas pendidikan lebih baik, dapat mengeruk keuntungan ekonomi yang tak sedikit. Amerika Serikat, misalnya, telah menghasilkan pendapatan dari jasa pendidikan 10,3 miliar dolar, Inggris 3,8 miliar dolar, dan Australia 2,2 miliar dolar.

Desakan Bank Dunia antara lain dimuluskan pemerintah dengan memilih pejabat rektor yang proliberalisasi pendidikan. Pemerintah agaknya khawatir, jika jabatan rektor dipegang pribadi kritis yang antiliberalisasi pendidikan akan muncul perlawanan yang sengit.

Agar kondisi tak terus terjadi, PTN perlu mendudukkan kembali relasinya dengan pemerintah. Prinsip pengelolaan yang otonom harus dijabarkan secara teknis dalam statuta berdasarkan konstitusi. Pemerintah hanya supervisor. Pemerintah tak perlu terlibat secara teknis dalam pengelolaan rumah tangga institusi.

Relasi demikian memperoleh referensi historis jika melihat sejarah universitas di dunia. Universitas pada mulanya adalah lembaga untuk menghimpun cendekiawan kerajaan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekalipun didirikan untuk menunjang fungsi kerajaan, raja membiarkan lembaga ini indipenden.

Oleh karena itu, masyarakat akademik perlu menguji Permendiknas 24 Tahun 2010 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 6 ayat 2 huruf e yang menyatakan Menteri memiliki hak 35 persen suara harus direvisi. Masyarakat kampus memiliki otoritas memilih pemimpinnya. (24)

Surahmat, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes.

No comments:

Post a Comment