RENCANA kepolisian mengawasi dakwah di bulan Ramadhan terus menuai kritik. Kalangan ulama, bahkan nasionalis Muslim banyak mengkritik rencana tersebut sebagai cara Orde Baru yang represif dan berlebihan. Bahkan, polisi terkesan seperti mencurigai Islam sebagai sumber teroris dan dakwah sebagai sarana menyebarluaskan radikalisme.
Kecurigaan polisi di satu sisi harus dapat diterima sebagai bentuk kewaspadaan. Namun melakukan pengawasan terhadap aktivitas dakwah, terlebih selama Ramadhan, sangat berpotensi menyinggung perasaan umat Islam. Di situlah potensi konflik yang berasal dari perbedaan pedapat sangat rentan muncul. Dengan meningkatkan kecurigaan antara ulama dan polisi teroris sedang mengadu domba bangsa.
Ichsan Malik (2006) mengungkapkan ada hubungan kronologis antara perbedaan, sengketa, dan konflik. Perbedaan adalah kondisi alami yang terjadi karena kodrat manusia. Perbedaan kepentingan atas suatu wilayah juga merupakan sifat yang alamiah selama tidak ada rekayasa sosial. Bersengeketa merupakan situasi persaingan antara dua pihak yang ingin meletakan hak atas suatu benda atau wilayah. Sedangkan konflik bukan merupakan sebuah perbedaan, tapi mulai menunjukkan adanya praktik-praktik penghilangan hak atas pihak lain.
Kecurigaan polisi pada aktivitas dakwah adalah bentuk perbedaan persepsi dengan kalangan ulama. Dikhawatirkan, perbedaan tersebut berkembang menjadi sengketa mengingat ada pihak yang diuntungkan dengan memanasnya hubungan polisi dan ulama, yakni teroris.
Agenda Tersembunyi
Perdebatan panjang tentang pengawasan dakwah juga dikhawatirkan akan menciptakan citra biner antara polisi dan ulama. Jika polisi dianggap benar maka ulama dianggap keliru, dan sebaliknya. Padahal kedua pihak sama-sama bekerja untuk kepentingan umat (masyarakat) walaupun dengan cara berbeda.
Citra biner inilah yang sedang dibentuk teroris sebagai salah satu agenda tersembunyi dari rangkaian kegiatan teror yang direncanakannya. Mereka tidak sekadar ingin menghancurkan objek fisik yang merepresentasikan golongan yang mereka musuhi tetapi menginginkan keretakan sosial sehingga memudahkan kerja teror mereka. Agenda mengadu domba yang dilancarkan teroris menargetkan adanya dukungan dari golongan Muslim jika bisa menggiring persepsi bahwa polisi adalah pihak yang keliru.
Jaringan teroris Noor Din M Top selalu mengidentifikasikan diri sebagai seorang Muslim dengan memanfaatkan atribut ke-Islaman. Ia berpenampilan layaknya Muslim, bergaul dengan para santri, dan memanfaatkan label jihad dalam pergerakannya. Citra itu ia manfaatkan untuk menjajaki kemungkinan pembenaran dan dukungan ideologis dari kaum Muslim yang jumlahnya besar di Indonesia. Lepas dari urusan apakah ia mendirikan sholat atau tidak, telah tercipta citra bahwa pergerakan Noor Din adalah gerakan ideologis sehingga terkesan heroik.
Agar tidak terjebak pada pemaknaan seperti yang diatur teroris, agaknya kita harus merekonstruksi fakta yang telah disajikan media. Fakta-fakta yang ditemukan media harus diterjemahkan dengan lebih cermat agar tidak tergiring pada pembenaran ideologis atas gerakan teroris. Jika pada sebuah penggerbekan teroris selalu ditemukan buku-buku anti Amerika bukan berarti mereka memusuhi Amerika. Jika ia bergaul dengan para santri bahkan menikahi keluarga Kyai bukan berarti ia seorang Muslim. Fakta-fakta parsial itu bisa jadi telah direkayasa untuk mencitrakan gerakan mereka dilandasi ideologi.
Media dan Teroris
Teroris menganggap dirinya sedang terlibat dalam sebuah perang. Sebagaimana strategi perang modern, mereka memerlukan dukungan publikasi untuk mengokohkan pergerakannya sebagai gerakan yang benar. Mereka tidak sekadar menebar ketakutan, tujuan mereka juga mengendalikan publikasi isi pemberitaan agar mengarah pada pembenaran atas pergerakan mereka.
Haryatmoko dalam Logika Terorisme dan Media (2009) mengatakan, teroris adalah golongan minoritas. Agar persoalan mereka dimengerti, mendapat simpati, atau dibela maka cara spektakuler perlu ditempuh dengan media. Meski secara umum masyarakat Indonesia mengutuk tindakan teroris, masih ada kelompki kecil yang bersimpati atas aksi mereka.
Karena itulah para teroris memerlukan dukungan media sebagai alat mempublikasikan gerakannya. Mereka ingin masyarakat tahu bahwa gerakan mereka didukung oleh orang-orang ‘suci’ yang siap mati, dengan dukungan dana melimpah, dan kekuatan yang masif. Dengan begitu teroris berharap akan tercipta teror baru berupa ketakutan massal. Bahkan dengan membangun citra bahwa personil mereka berasal dari kalangan Muslim teroris menghendaki terciptanya kecurigaan antargolongan.
Pemanfaatan media dalam kerja komunikasi teroris dapat kita lihat dengan mencermati kasus penculikan direktur Marcedes Benz pada November 1975 di Montoneros, Buenos Aires. Waktu itu, teroris melepaskan korban setelah mereka meminta korban mengiklankan di surat kabar Eropa, Washington, dan Meksiko tentang imperialisme ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional di negara berkembang. Jadi jelas, bahwa tujuan utama teroris tidak bukan semata menciptakan krusakan, tetapi juga berusaha untuk menguasai dan mengarahkan publikasi.
Harus diakui, kerawanan sosial antargolongan Indonesia masih sangat tinggi. Isu ras, agama, suku, atau golongan masih sangat sensitif dan memiliki potensi besar berkembang menjadi konflik. Kondisi ini dimanfaatkan teroris untuk melemahkan sendi sosial dalam masyarakat. Inilah alasan mengapa jaringan teroris memilih Indonesia sebagai wilayah medan perang mereka.
Lantas mengapa teroris memilih polisi dan ulama sebagai pihak yang diadu domba? Itu karena polisi dan ulama, sejauh ini, adalah penghalang utama yang merintangi kerja teroris di Indonesia. Selama ini polisi adalah pihak yang paling agresif melawan teroris dengan kekuatan hukum dan kemasifan personil yang dimilikinya. Sedangkan ulama dianggap menjadi penghalang karena dianggap mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat. Kaum ulama dianggap berbahaya karena gencar mengecam tindakan teror.
Memanasnya hubungan polisi dan ulama sebenarnya kondisi yang dikehendaki teroris. Karena itulah, baik polisi maupun ulama, perlu mendudukan masalah kembali dan membahasnya secara proporsional agar tidak terjadi kesalahpahaman. Toh, baik polisi dan ulama sama-sama mengidamkan terciptanya kondisi yang kondusif, tenang, dan aman bagi masyarakat.
Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Saturday, 15 September 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment