Saturday, 15 September 2012

Belajar dari Monolog Butet

MESKI diakui dunia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar, Indonesia tampaknya belum mampu menunjukkan kedewasaan berdemokrasi. Dua kali menggelar pemilihan umum dan puluhan kali menggelar Pilkada, dunia politik kita harus diakui masih kekanak-kanakan. Tesis itu dapat kita amati pada monolog Butet Kertarajasa saat deklarasi pemilu damai, Rabu (10/6) lalu di Kantor Komisi Pemilihan Umum.

Deklarasi pemilu damai adalah salah satu upaya KPU mewujudkan pemilu damai dan demokratis. Dengan begitu, Pemilu diharapkan bisa berjalan lancar sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Namun ironis, deklarasi pemilu damai saat itu justru diisi aksi kritik ‘membabi-buta’ Butet. Ia menyampaikan kiritikan secara blak-blakan di depan ketiga calon presiden, tanpa tedeng aling-aling.

Kritikan Butet memang tidak dapat dikatakan keliru secara substansi. Apa yang ia sampaikan adalah fakta yang diakui kebenarannya. Yang membuat monolognya tidak wajar adalah karena disampaikan saat deklarasi pemilu damai. Mestinya, semangat pemilu damai tidak ternodai oleh aksi saling serang antarcapres/cawapres. Sedangkan yang Butet sampaikan malam itu dianggap menyerang salah satu pasangan capres.

Mengkritik dengan Damai

Pada peringatan Hari Personal Nasional di Semarang April 2008 lalu presiden SBY mengatakan bahwa kritikan menyerupai obat; menyehatkan jika dikonsumsi secara proporsional namun membahayakan jika berlebihan. Ucapan SBY dalam kesempatan itu terkait dengan kritikan insan pers terhadap pemerintahan yang dipimpinnya.

Ucapan SBY bisa jadi benar. Tak hanya kritikan, segala sesuatu memang harus disampaikan dengan tepat dan proporsional. Kritikan yang terlalu pedas, apalagi bertujuan menyudutkan, bisa mencederai semangat demokrasi. Monolog Butet bisa dikatakan tidak proporsional sebab tidak tepat waktu dan tempatnya. Akibat kritikan Butet suhu politik antar pasangan capres/cawapres sempat memanas, bahkan sampai sekarang.

Meski demikian, kritikan Buet jug bukan sesuatu yang patut dipersalahkan. Sikap kritisnya terhadap pemerintah adalah pelajaran berharga yang harus ditanggapi positif. Sebagai warga negara ia memiliki hak mengungkapkan pendapat. Apalagi kita juga tahu demokrasi yang sehat hanya bisa dibangun dengan kebebasan berpendapat. Tantangan kita ke depan adalah mewujudkan kritikan yang sehat, tanpa tendensi, dan disampaikan dengan semangat perdamaian.

Mengantisipasi Konflik
Benturan politik menjelang pemeilihan presiden adalah sebuah keniscayaan. Namun, konflik yang biasanya terjadi menjelang dan setelah pemilu dapat diantasipisai dengan mengidentifikasi persoalan secara jernih.

Ichsan Malik (2003: 148) mengungkapkan ada hubungan kornologis antara berbeda, sengketa, dan berkonflik. Ketiganya sangat rentan terjadi dalam iklim kompetisi menjelang Pilpres.

Berbeda adalah situasi alami yang terjadi karena kodrat manusia. Tiap calon presiden memiliki perbedaan visi untuk mewujudkan cita-cita diri dan bangsa. Untuk mewujudkan visinya tiap manusia memiliki cara yang berbeda. Dalam percaturan politik perbedaan adalah keniscayaan sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi yang sehat.

Sementara itu, sengketa adalah situasi persaingan antara dua pihak atau lebih yang ingin meletakan haknya atas suatu benda atau kedudukan. Dalam situasi politik yang hangat, sengketa antarkelompok sangat rentan terjadi karena masing-masing kelompok memiliki kepentingan yang beragam di atas kedudukan yang sama. Masing-masing elit politik memperlakukan rakyat sebagai alat (batu loncatan) mencari kekuasaan.

Jika sengketa dibiarkan dimungkinkan akan terjadi konflik, yakni situasi yang menunjukkan praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan. Perbedaan kepentingan dan sengketa jelang Pilpres sangat rentan berkembang menjadi konflik karena besarnya persinggungan. Karena kursi RI-1 yang diperebutkan hanya satu, untuk memenangi pemilu seorang Capres harus mengesampingkan kepentingan kompetitornya.

Sejarah membuktikan politik mampu menghasilkan kekuatan yang luar biasa besar. Kekuatan tersebut bisa menjadi ancaman sekaligus peluang, bergantung pada cara mengelolanya. Banyaknya konstituen yaang disasar capres/cawapres bisa menjadi modal lahirnya kekuatan yang besar. Jika mampu dikelola dengan baik, kekuatan itu bisa menjadi peluang mewujudkan kesejahteraan. Namun sebaliknya, kekuatan yang dikelola untuk kepentingan yang destruktif justru akan menciptakan ancaman yang dahsyat.

Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment