Wednesday, 19 December 2012

Guru yang )Tak) Patut Ditiru

Tradisi belajar adalah tradisi mengingat dan mengingatkan. Manusia adalah pribadi yang selalu terdorong bereksplorasi mencari kebenaran. Pada saatnya ia harus mengingat supaya kemudian dapat mengingatkan. Dengan cara itulah aktivitas belajar memberi efek sosial yang berarti, bukan semata aktivitas intelektual individual yang selesai pada tingkat konsep.

Jika tesis ini benar maka tugas utama guru adalah mengingatkan. Ia dipercaya -dan karenanya musti bertanggungjawab- memberikan nasihat berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Guru menjadi tempat bertanya sekaligus tempat siswa merefleksikan pikiran, tutur kata, dan perbuatanya.

Dalam permenungan singkat saya kemudian bertanya; sudah layakkah saya menjadi guru? Atau, jangan-jangan, saya harus mencantumkan tanda petik ketika memperkanalkan diri sebagai guru-sebagai cara berkilah menghindari kewajiban moral dan intelektual yang demikian berat?

Pertanyaan itu memang sedikit terjawab oleh uraian singkat Andreas Harefa dalam Manusia Pembelajaran (Indonesia Belajarlah, 343-345). Ia membedakan pembelajar, pemimpin, dan guru berdasarkan peran eksistensial yang dapat dilakoni seseorang.

Tugas pertama manusia adalah pembelajar. Dengan menjadi pembelajar ia akan mengaktualisasikan dirinya sehingga bisa menjadi pemimpin. Kemudian, ketika ia berkembang menjadi pemimpin besar-yang mampu menciptakan learning society-bukankah ia akan menjadi guru?

Peran sebagai pembelajar, pemimpin, dan guru memang tidak disekat oleh batasan formal karena lebih bersifat instingtif. Maka bisa jadi, seseorang yang dalam perspektif sosial menjadi pembelajar sudah mampu menjadi pemimpin bahkan guru. Yang kemudian menjadi masalah adalah jika guru (di sekolah) tidak mampu menjadi ’guru’. Alih-alih mampu menjadi inspirasi ia bersikap layaknya pembelajar atau baru menjadi seorang pemimpin.

Terdapat jarak yang cukup jauh antara guru dalam perspektif formal dengan guru dalam perspektif kultural. Pandangan formal, yang dimotori kaum struktural (pemerintah) mengutamakan indikator kuantitatif, sedangkan pandangan kultural mendasarkan pandangan pada hal-hal yang bersifat empiris. Dari keduanya mana yang patut disebut guru? Guru yang dilegitimasi pemerintah atau guru yang dilegitimasi masyarakat melalui dinamika kehidupan?

Saat ini kita masih mendapati guru (di sekolah) belum mampu menjadi guru kehiduan bagi diri dan lingkungannya. Selain kualitas pendidikan yang minim, tidak sedikit guru yang justru mencederai integritas dirinya dengan melakukan perbuatan kurang terpuji.

Memang, di sekitar kita banyak guru yang mampu mengabdikan ilmu dan hidupnya dalam arus besar upaya memanusiakan manusia. Namun pada saat yang sama masih saja kita dapati guru tidak berintegritas yang mereduksi tugas sebagai guru sekadar pekerjaan. Mereka menjadikan guru sebagai profesi pengajar, tidak jauh berbeda dengan instruktur profesional yang menukarkan per jam waktunya dan per potong ilmunya dengan sejumlah uang.

Totalitas dedikasi seorang guru perlu menjadi perhatian penting karena ia menjadi ujung tombak upaya memanusiakan manusia. Kesemparnaan dalam arti terbatas harus ia miliki. Sudah tidak saatnya guru menggarap aspek kognitif siswa saja dengan mengesampingkan pengembangkan karakter kemanusiaan. Sebab, jika langkah itu-sekalipun dengan terpaksa-dilakukan, pendidikan dipastikan gagal melahirkan manusia bijak yang memiliki kesadaran eksistensial. Siswa akan limbung memaknai peran diri dan peran sosialnya.

Di tengah tuntutan berat itulah guru harus terus belajar mengenali dinamika kehidupan. Guru, lepas dari ada dan tidaknya fasilitas yang disediakan pemerintah, wajib mengeksplorasi dirinya. Sebab jika tidak, jutaan peserta didik akan menjadi korbannya.

Rahmat Petuguran

No comments:

Post a Comment