Guru saya semasa SMA, Wasis Sucipto, membuat analogi yang menarik tentang kejujuran. Katanya, kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana pun. Kejujuran juga didambakan siapa pun, bahkan oleh para penipu yang sehari-hari berlaku bohong. Kejujuran bisa membawa seseorang pada puncak derajat keluhuran karena bersanding dengan ketulusan dan tanggung jawab.
Sebagai nilai yang berlaku universal, kejujuran wajib diperkenalkan kepada peserta didik sebagai konsep sekaligus laku. Siswa berhak mendapat pemahaman yang cukup dan referensi model yang memadai. Dari kedua hal itulah siswa termotivasi sekaligus mampu mengatasi kendala untuk bersikap jujur.
Sayangnya, nilai mata uang kejujuran ternyata telah jatuh. Dia tidak lagi didamba. Bahkan, melalui pranata politik, kejujuran terpojok sebagai nilai yang kuno dan tak layk pakai. Ia tersingkir, terstigma kolot, tidak cerdas, lugu, bahkan bodoh. Seolah-olah, parktik kejujuran hanya dilakukan oleh orang-orang yang gagal bersiasat.
Putus Asa
Apa yang terjadi di SD Gadel II Surabaya bukanlah kejadian tunggal yang menunjukkan bahwa nilai kejujuran telah jatuh hingga titik tawar terendah. Para guru tentu merasakan hal itu, terutama ketika mereka harus memasukan nilai ujian sekolah beberapa waktu lalu. Praktik patgulipat nilai dilakukan untuk meluluskan siswa. Nilai direkayasa, entah bagaimana caranya, sehingga siswa dinyatakan lulus.
Di perguruan tinggi praktik bohong-membohongi lebih sering terjadi. Bahkan pada tataran ini, kebohongan tidak lagi sekadar teori. Mahasiswa, dosen, dan pengelola perguruan tinggi terlibat transaksi tidak jujur. Tidak heran jika lulusan perguruan tinggi, selain memiliki keterampilan sesuai bidang yang dipelajarinya, umumnya juga memperoleh “bonus” keterampilan berbuat korup.
Sangat ironis, ketika masyarakat merasakan korupsi sebagai faktor dominan yang menyebabkan kesengsaraan, masyarkat pula yang mengalineasi kejujuran dari praktik kehidupan. Berharap api korupsi berhenti korupsi berkobar, tapi kita menyiramkan minyak di atas percikannya. Kejujuran dikorbankan untuk kepetingan politik ekonomi yang sebenarnya demikian kecil: lulus ujian, naik jabatan, atau menumpuk kekayaan.
Mengapa dua hal yang sangat kontraptroduktif itu bisa dilakukan oleh subjek yang sama? Pada satu sisi, ketika sadar korupsi telah membawa bangsa kita pada jurang penderitaan yang amat dalam, kita memberontak. Namun di sisi lain, ketika hidup jujur ternyata membentangkan banyak tantangan, kita justru tergoda mengakalinya. Kita seperti orang-orang yang putus asa, kehilangan harapan, sehingga memilih bersikap pragmatis.
Faktor lainnya, kegagalan sekolah menyemai kejujuran tidak bisa dilepaskan dengan cara sekolah mengorganisasi diri yang selalu mengukur langkah secara formal. Pilihan ini berakibat pada tersingkirnya hal-hal substansial olah urusan formal administratif. Guru yang berperan menjadi tokoh intelektual gagal menyibak kedalaman nilai dari proses belajar yang dibawakannya.
Kondisi ini membawa konskuensi yang besar. Guru dan para pengelola sekolah menjadi tidak mau menempuh langkah radikal untuk mengajarkan kejujuran secara layak. Mereka lebih memilih “jalan aman” untuk menunaikan tugas mengajar apa adanya demi mengamankan karir keguruannya. Guru merasa tidak perlu mengajarkan nilai kejujuran karena bukan bagian dari tugas yang akan disupervisi.
Padahal, mengajarkan kejujuran bukanlah tugas seremonial yang selesai di kelas. Tugas mengajarkan kejujuran tidak dimulai dan diakhiri di kelas. Anak membangun persepsi kejujuran melalui sejumlah citraan yang ada di sekitarnya. Menurut Bronfrenbenner (2004), lingkungan terdekat (mikrosistem) anak adalah keluarga, sekolah, tetangga, dan teman bermain. Dari sanalah kejujuran dicecap, dipersepsi, kemudian dipraktikan.
Bangkrut
Ketidakmampuan sekolah membelajarkan kejujuran punya akibat panjang. Di samping siswa memperoleh pembenaran melakukan praktik tidak jujur, lembaga bernama sekolah semakin tidak mendapat tempat dalam usaha membangun manusia berkarakter. Sekolah, seperti kecendrungan yang mulai nampak belakangan ini, hanya menjadi “stempel” untuk melegitimasi kompetensi akademik anak.
Kenyataan ini tentu menyedihkan, karena ekspektasi masyarakat terhadap sekolah masih sangat besar. Di tengah kebangkrutan moral sekolah, orang tua masih bersikeras menyekolahkan anak-anaknya. Beberapa di antara mereka bahkan melakukan aksi mengharukan, seperti menjual kebun, sapi, bahkan sumber matapancaharian seperti traktor untuk menyekolahkan anak. Betapa sedih perasaan ornag-orang tua itu jika menyadari anak-anaknya justru tidak memperoleh nilai moral, bahkan yang amat mendasar sekali pun.
Untuk mengubah kondisi ini, diperlukan langkah radikal dengan meremajakan kultur sekolah. Pembelajaran yang selama ini didesain untuk memenuhi tuntuan kurikulum harus diubah dengan memprioritaskan pemerolehan nilai moral. Sebab, jika disimplifikasi dalam ritus akademik justru harganya terancam jatuh hingga titik terendah.
Rahmat Petuguran
Wednesday, 19 December 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment