Para pendidik membumbungkan optimisme bawah korupsi dapat ditebas melalui pendidikan. Namun baru-baru ini, para dosen justru menyadari perguruan tinggi ternyata bukan tempat suci, blepotan, bahkan kotor. Korupsi juga bersemi di perguruan tinggi.
Benih-benih korupsi setidak-tidaknya melalui tiga cara. Pertama, melanggengkan pragmatisme. Perguruan tinggi menjadi tempat transaksi antara anggota masyarakat yang memerlukan legitimasi keilmuan dengan lembaga yang memiliki kewenangan di bidang itu. Yang terjadi adalah mahasiswa menempuh aneka cara supaya memperoleh penialain baik, cum laude.
Kedua, pragmatisme mengubah relasi kultural dosen mahasiswa pada seremoni akademik. Perkualiahan adalah pertemuan seseorang yang punya kewajiban mengajar dengan anak-anak muda yang dibebani kewajiban belajar. Dalam relasi ini, asah, asih, asuh lesap dan relasi personal menjadi romantisme.
Ketiga, birokrasi kampus dikelola dengan pendekatan formal. Dalam pengelolaan keuangan misalnya, keabsahan surat pertanggungjawaban diukur berdasarkan kelengkapan adminsitrasi. Nyaris tidak pernah ada audit substansial ketika lembaga kemahasiswaan mempertanggungjawabkan dananya. Watak birokrasi kita yang korup pun terwariskan.
Ketiga sebab tersebut barangkali masih ditambahi oleh absennya tauladan yang memadai di kehidupan kampus. Pengakuan Asep Iwan Iriawan, mantan hakim agung yang memilih pensiun dini dan menjadi dosen (Kompas, 6/2), cukup menggambarkan kondisi tersebut. Dosen dan mahasiswa, dalam skala kecil, ternyata telah lama mempraktikan suap menyuap. BPK, pada 2010, juga telah merilis, sejumlah perguruan tinggi ternyata memiliki rekening liar.
Pengusaha dan Birokrat
Kesempatan perguruan tinggi untuk menghasilkan koruptor atau pejuang antikorupsi sama besarnya. Kecenderungan pada dua hal biner tersebut bergantung pada cara para pendidik mengkomunikasikan korupsi bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga pengingkaran terhadap hati nurani. Selebihnya, kecenderungan akan berpulang pada masing-masing individu, setelah para sarjana melakoni karirnya.
Di Indonesia, sarjana digadang-gadang menempati posisi strategis sebagai pejabat dan pengusaha. Keduanya, baik pejabat dan pengusaha, memiliki potensi korupsi sama besar. Seperti dikatakan Rose-Ackerman (1999), apabila seorang pejabat pemerintah memiliki kekuasaan penuh terhadap pendistribusian keuntungan atau biaya kepada sektor swasta, maka terciptalah peluang penyuapan.
Kondisi demikian terjadi lantaran pejabat dan pengusaha “terjerat” relasi transaksional yang saling memerlukan. Mekanisme pembelanjaan keuangan negara memungkinkan pejabat dan pengusaha terlibat dalam hubungan yang dalam. Pada proses pengadaan barang misalnya, pejabat menjadi panitia sedangkan pengusaha menjadi rekanan. Pejabat memiliki otoritas mengambil keputusan, pengusaha menjadi pelaksana pengadaan.
Persekongkolan pejabat dan pengusah belum akan usai. Pasalnya, uang negara dalam APBN masih menjadi penggerak ekonomi yang dominan. Negara, diwakili pemerintah, membeli dan menjual barang dan jasa, membagi-bagikan bantuan, mengatur swastanisasi BUMN, dan memberikan konsensi. Bahkan, pemerintah kerap menjual barang dan jasa di bawah harga pasar.
Dalam relasi demikian, diprediksi Rose-Ackerman, korupsi dapat terjadi dalam empat bentuk. Pertama, sebuah perusahaan mungkin akan membayar agar dimasukan dalam daftar penawar yang mmenuhi syarat. Kedua, penyuapan dilakukan agar para pejabat mengatur syart-syarat penawaran sehingga perusahaan menjadi satu-satunya penawar yang memenuhi kualifikasi. Ketiga, sebuah perusahaan akan membayar supaya terpilih sebagai pemenang tender. Keempat, jika sebuah perusahaan telah terpilih, ia mungkin membayar untuk memperoleh harga yang telah di-mark up.
Simulasi Korupsi
Hubungan yang korup diawali itikad mengambil keuntungan melebihi haknya. Dalam teori klasik, korupsi dapat terjadi karena kebutuhan (need) dan keserakahan (greed). Kedua faktor psikologis tersebut dapat muncul karena kesempatan (chance) akibat longgarnya hukum dan keculasan yang telah menjadi kebiasaan.
Di perguruan tinggi, kebutuhan yang berubah menjadi keserakahan tumbuh dalam pola pendidikan tranksaksional yang mengabaikan empati. Diawali dengan biaya masuk yang besar, mahasiswa ditempatkan pada situasi bahwa uang mengambil peran sangat besar dalam kehidupan. Uang menjadi juru tawar yang ampuh dalam berbagai negosiasi. Uang berperan melebihi nilai nominalnya lantaran sistem birokrasi memberi tempat yang istimewa.
Publik kerap bertanya, mengapa biaya berobat pada dokter begitu mahal. Juga, mengapa jasa pendampingan hukum para pengacara juga mahal luar biasa? Perguruan tinggi punya tanggung jawab moral, karena telah memungut biaya masuk yang besar ketika mereka kuliah. Jika “modal” tidak dapat dikembalikan dengan wajar, peluang berbuat korup terbuka semakin lebar.
Transaksi semacam ini terus berlanjut ketika mahasiswa belajar di perguruan tinggi. Relasi tidak sehat mahasiswa-dosen juga mahasiswa-kampus menjadi simulasi tindakan korup. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) misalnya, telah lama melatih mahasiswa cerdas untuk berbuat korup. Dana penelitian besar yang diterima dari Dirjen Dikti kerap diselewengkan untuk keperluan pribadi. Asal laporan pertanggungjawaban (LPJ) disusun rapi perbuatan itu jarang sekali diketahui apalagi diungkap.
Para aktivis mahasiswa juga terlibat dalam simulasi semacam ini. Dana kegiatan organisasi misalnya, dapat dengan mudah diselewengkan asal bisa menyusun laporan dengan rapi. Ini sebuah otokritik yang menyesakan dada.
Rahmat Petuguran
Wednesday, 19 December 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment