Wednesday, 19 December 2012

Ke Mana Humanisme Menghilang?

Kepada para ibu yang melepas anaknya berangkat sekolah tiap pagi, ada pertanyaan yang sungguh berat diutarakan. Apa yang mereka rasakan melihat di televisi anak-anaknya berkelahi?

Pertanyaan ini tentu tidak perlu spesifik ditujukan untuk orang tua SMA 6 Jakarta. Sebab perilaku brutal berpotensi muncul dari siswa di mana pun. Tindakan agresif begitu dekat dengan mereka, jiwa muda yang bergjolak tak ada hentinya.

Hal yang membuat tindak kekerasan sangat menyesakan adalah, kenapa justru terjadi di sekolah? Ya, sebuah tempat yang dalam ingatan kolektif publik sesak terisi relasi asuh penuh asih. Apakah persespsi itu yang sudha terlalu usang atau justru sekolah telah kehilangan eksistensi sosialnya?

Sekolah adalah rumah. Di sanalah anak meunduplikasi perilaku orang lain yang diamatinya. Awalnya duplikasi kemudian modifikasi (Santrock, 2008). Selain mencermati teman, guru, dan karyawan, anak mempelajari pola interaksi di antara mereka. Kultur sekolah menjadi sama penting dengan materi pelajaran yang secara repetitif diajarkan.

Mengingat sekolah punya agenda utama memanusiakan manusia, mestinya humanisme menjadi ruh di lembaga itu. Di sana kasih sayang dipraktikan, tidak sekedar diucapkan. Si kaya memberi, si kuat mengayomi. Tentu saja siswa tidak kerdil oleh beragam justifikasi, bodoh, malas, atau nakal.

Sayangnya, membangun rumah humanisme tak semudah membangun gedung sekolah. Proposal, anggaran dicairkan, tender, proyek jalan, lalu peresmian. Diperlukan landasan ideologis yang matang agar praksisnya tak asal-asalan. Pemahaman filosofis kemudian dirumuskan dalam kerja personal dan institusional. Sebab, setiap pemangku kepentingan memainkan peran yang berbeda.

Humanisme hendak menempatkan siswa sebagai manusia yang utuh. Secara personal siswa adalah bangunan fisik dan psikis yang kompleks, sedangkan secara sosial ia adalah bagian dari sistem kosmos. Prinsip yang hendak dibangun adalah, sekolah hadir karena kebutuhan manusia untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan diperlukan untuk menghadapi kehidupan yang sulit dan menyengsarakan.

Johnson (2008: 163) menyebut tiap anak didik memiliki karakteristik yang unik. Harus dimaklumi jika mereka punya cara masing-masing menghadapi kesulitan. Tindakan massal terhadap pribadi yang beragam berpotensi membuat mereka kehlaingan sebagian jati dirinya. Maka, tugas guru pertama kali adalah mengetahui keberagaman siswa. Mengetahui pribadi macam apa yang akan dihadapi.

Secara sederhana Howard Gardner, mengaketgroikan tujuh jenis kercedasan, yakni naturalistik, intrapersonal, logis matematis, kinetis, linguistik, visual-sepasial, dan interpersonal. Namun pakar multiple intelegence ini tidak menutupp kemungkinan ada puluhan kategori kecerdasn lainnya. Supaya relasi guru dan sewa sedikit beradab, adalah wajib bagi guru mengetahui jenis kecerdasan siswanya. Orang per orang dan bukan kelas per kelas.

Birokratis

Habitus humanisme di sekolah menemui kendala lantaran berbenturan dengan kultur birokratis. Lebih-lebih, belakangan sekolah menjelma jadi tangan panjang penguasa. Lahir sebagai institusi negara, sekolah menerima kutukan bekerja terukur sesuai haluan politis penguasa. Maka tidak heran jika prinsip pedagogik yang paling mendasar sekalipun kerap terabaikan, terganti ritus formal-seremonial.

Agar benturan keduanya dapat dihindari, perlu tafsir baru terhadap sekolah dan eksistensi sosiologisnya. Bagi anak-anak sekolah hanyalah salah satu dari sekian banyak cara mereka belajar mengenali dunianya. Sekolah mengkonversi nilai kehidupan dalam rangkaian aktivitas belajar. Sementara belajar adalah strategi manusia mempersiapkan kehidupan di masa depan. Sasaran paling substansial sekolah adalah kesiapan pembelajar menghadapi masa depan. Nilai ujian, prestasi akademik, dan ijazah hanyalah penanda birokratis.

Dunia belajar adalah dunia yang dinamis. Anak berkembang mengalamai gejolak psikologis tiada henti. Humanisme memandang itu sebagai kensicayaan. Karena itu, sekolah musti luwes, keluar dari pekem birokratis yang ketat. Persoalan yang muncul pada mereka sebaiknya juga dipandang dengan empati, bukan teks aturan yang telanjur ditandatangani.

Ki Hajar Dewantara di Perguruan Taman Siswa yang pernah dipimpinnya menggunakan analogi keluarga untuk membangun kedekatan guru dan siswa. Sapaan “Ki” dan “Nyi” bagi para guru misalnya memunculkan kesan akrab dan bersahaja. Siswa disapa “Nak” bukan “peserta didik” seperti yang lebih populer saat ini.
Rahmat Petuguran

No comments:

Post a Comment