Wednesday 19 December 2012

Loncatan Budaya Banyumas

KEHADIRAN film Sang Penari, tafsir visual atas novel Ronggeng Dukuh Paruk menambah kekayaan pustaka tradisi Banyumas. Film ini berharga secara dokumentatif karena merekam selintas masa warga panginyongan. Masa yang kelam dan ”berdarah”.

Secara diakronis film itu juga menunjukkan terjadinya loncatan budaya warga Banyumas dan sekitarnya. Dikatakan meloncat sebab film ini menunjukkan warga daerah itu siap memasuki gerbang tradisi audiovisual. Padahal mereka baru saja meninggalkan tradisi lisan dan belum purna menghabiskan tradisi tulisan. Orang tua seperti belum rela kehilangan masa keemasan dalang jemblung, begalan, dan lengger, sementara anak muda kelewat antusias menyambut era film.
Loncatan budaya warga Banyumas dapat dibaca melalui sejumlah tanda. Pertama; terdapat renggang lebar antara anak muda saat ini dan orang tua satu atau dua generasi di atasnya. Jarak tersebut tidak hanya dapat diamati dari citra visual mereka, tapi juga berkaitan dengan selera. Apresiasi seni misalnya, menunjukkan konfrontasi selera yang sangat nyata.

Kedua; perbedaan selera mempertemukan dua generasi dalam perdebatan panjang. Bahkan, perbedaan yang terlalu mencolok kerap memicu ”pertengkaran”. Pilihan hidup misalnya, anak muda lebih akomodatif terhadap sugesti media dan orang asing. Sementara orang tua berpegang teguh pada keyakinan lama. Soal pilihan hidup, anak muda lebih cair mengusung ide-ide urbanisasi, sedangkan orang tua tetap yakin bahwa bertani adalah salah satu jalan terbaik mencapai kesejahteraan.

Inilah bukti bahwa komunikasi lintas generasi mengalami kemampatan. Dialog sebagai jalan pewarisan nilai tidak teretas dengan baik. Dulu, warga Banyumas senang merefleksikan sikap dan pilihan hidupnya pada tokoh-tokoh spiritual. Bawor, salah satu tokoh punakawan, bahkan dijadikan kaca diri. Namun karena loncatan budaya yang terlalu cepat, tokoh spiritual digantikan oleh tokoh imajiner dari layar kaca. Artis, tokoh politik, dan superhero menjadi idola baru meski tidak pernah dapat dijadikan teladan.

Trianton dalam Menimbang Purbalingga lewat Film (2008) menegaskan peran mutakhir film bagi masyarakat di Purbalingga. Film tidak lagi menjadi tontonan. Oleh pegiatnya film dijadikan media refleksi yang mencoba memetakan berbagai persoalan hidup. Film tampak menjadi dokumentasi sinkronis yang patut dipertimbangkan faktualitasnya. Festival Film Purbalingga (FFP) Mei 2010 menunjukkan tren terhadap media audiovisual terus berkembang. Mahasiswa dan pelajar menjadi agen publikasi yang sangat kreatif.

Vulgar

Di luar alasan itu, film mudah mendapat tempat di hati warga Banyumas karena tiga alasan. Pertama; secara historis masyarakat lekat dengan tradisi bertutur. Mereka lebih senang mendengar informasi lisan daripada mengurai simbol-simbol grafis. Pilihan ini juga terkait erat dengan stigma warga Banyumas sebagai kaum pidhak pidarakan yang bersahaja. Informasi lisan dianggap lebih sederhana ketimbang informasi tertulis.

Kedua; film mampu menyajikan simbol-simbol semiotis secara lugas dan bahkan vulgar. Informasi lisan yang didukung oleh visualisasi memberi kesempatan kepada siapapun untuk mengonsumsi pesannya. Adapun simbol bahasa yang terangkai dalam ungkapan konotatif tidak mudah diterima oleh masyarakat yang berkultur cablaka (Priyadi, 2003).

Bisa jadi watak inilah yang membuat sastra aliran Banyumas tidak pernah booming di daerahnya. Meski sejumlah perguruan tinggi di Banyumas memiliki fakultas sastra, jarang sekali ada perdebatan berarti. Diskusi tentang teks hanya mengalir dari lokus-lokus diskusi yang sangat terbatas.

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari misalnya, meski diterima pembaca nasional dan internasional, justru tidak membumi di daerah sendiri. Ketika ditulis ulang dalam Bahasa Banyumasan tahun 2004, sambutan pembaca tidak lebih baik dari sambutan terhadap versi Bahasa Indonesia. Ini berbeda dari Sang Penari, yang akan diminati penonton Banyumas mengingat ini bukan karya fiksi yang semata-mata ditonton demi hiburan melainkan karya dokumentasi yang mengingatkan pada sebuah era. Film membantu warga mengeja kembali karakter komunalnya yang suka berontak, vulgar, sekaligus senang meloncat.

Rahmat Petuguran
Wacana Lokal Suara Merdeka,  15 November 2011

No comments:

Post a Comment