Wednesday 19 December 2012

Seribu Satu Kemungkinan Mampir

ARA Suhara tak menyangka akan mendapat buruan besar: pimpinan DI/TII S.M. Kartosowrjo. Prajurit pada Batalion Infanteri 328/Kujang Siliwangi itu hanya berniat mampir di sebuah gubuk di Gunung Rakutak saat itu. Ia berencana meminta air minum.


Aneh, dalam gubuk itu ia menemukan dodol garut, jeruk garut, dan susu. Pada masa itu ketiagnya adalah makanan mewah. Melihat keanehan itu, Ara berspekulasi menanyai sang penghuni gubuk. “Pak Karto, ya?” Lelaki tua itu mengangguk, “Iya, Nak.”

Proses penangkapan pimpinan DI/TII SM Kartosuwirjo itu berlangsung cepat. “Prestasi” itu dicapai Ara berkat keterampilannya membaca rumah. Ia memaknai rumah melebihi sebagai tempat tinggal, tapi identitas yang mewartakan jati diri seseorang.

Rumah, atau apa pun sebutan untuk tempat tinggal, mewartakan penghuninya dengan sangat detail. Di rumahlah jejak manusia terekam. Di sana pula angan-angan digantungkan. Membaca rumah adalah membaca tegangan batin manusia. Membaca rumah juga membaca ambisi pribadi, cultural, dan spiritual. Dalam konteks inilah, mampir memiliki arti segnifikan dalam tata nilai bermasyarakat.

Khalayak kerap menyamakan mampir dengan berkunjung sekalipun berbeda. Jika berkunjung hampir selalu mengandung pamrih, mampir tidak. Mampir lebih menyerupai ketidaksengajaan, kegiatan tak terencana, dan tiba-tiba. Karena terjadi serta-merta mampir tak melibatkan hitung-hitungan ekonomi, sosial, dan politik.

Didi Kempot menggambarkan peristiwa serba kebetulan pada lagu “Nunut Ngiyup” (IMC Duta Record, 2011). /Nunut ngiyup, kulo nunut ngiyup/ Udan lali ra nggowo payung/ Teng tritis kulo nggih purun/ Teng emper kulo nggih purun/ Sak derenge matur nuwun.

Sekalipun kebetulan mampir tetap membawa konsekuensi. Bahkan kerap kali mampir menjadi awal dari sesuatu yang besar.

Konon Faisal Tanjung tak pernah menyangka bakal menjadi menteri hingga sebuah panggilan “mampir” di teleponnya. Di ujung telepon Presiden Soeharto bicara, “Kamu siap-siap jadi Menpera ya,”. Terkesiap, Faisal menjawab, “Menpera? Bapak tak keliru? Saya Feisal Pak, bukan Akbar Tanjung.” Presiden barangkali gengsi harus mengakui salah menelpon. Maka ia menjawab “O, kalau begitu kamu jadi Menkopolkam saja.”

Ahmad Tohari pada Kubah (1980) menggambarkan tokoh bernama Karman yang menemukan dirinya ketika tidak sengaja mampir ke masjid. Sekeluar dari penjara setelah 15 tahun mendekam di sana ia linglung tak tahu harus ke mana. Rumahnya terasa jauh, adapun istrinya yang cantik telah diperistri orang lain.

Setelah memutari alun-alun kabupaten hingga dua kali ia berdiri di depan masjid. Dari sana ia mengamati anak-anak kecil berkopiah dan bersarung. Lucu dan menawan.  Mereka berlarian melewatinya. Karman tetap diam  sampai akhirnya seseorang menepuk bahunya dan mengatakan “Sudah hampir ikomah,” katanya. Karman pun mampir dalam “rumah besar” itu dan menemukan jalan pulang bernama pertaubatan.

Dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa mampir ternyata memiliki dasar teologis. Kondisi ini tergambar dari istilah “mampir ngumbe” yang terangkai pada unien-unen “urip iku mung mampir ngumbe”.

Wilonoyudho (2011) menyebut dalam unen-unen itu mampir dipahami sebagai sesuatu yang sementara namun strategis. Sementara karena “mampir ngumbe” tentulah kronik kecil dalam perjalanan yang panjang. Namun mampir juga menentukan keberhasilan sebuah perjalanan. Ke mana seseorang mampir, apa yang dilakukan selama mampir, dan bekal apa yang dibawa dari tempat mampir menentukan kualitas perjalanan.

Mampir mendapat tempat khusus dalam tata sosial masyarakat Jawa. Banyak orang pernah diminta rekan dan saudara untuk mampir ke rumahnya. Dalam perjalan ke luar kota misalnya, dengan sedikit memaksa teman dan saudara kerap meminta kita mampir. Kadang permintaan itu bahkan dilengkapi argumen emosional.

Apa yang memotivasi mereka melakukan itu? Meminjam tesis Maslow yang terangkum dalam maslow’s hierarchy, kebutuhan untuk diampiri masuk dalam kategori kebutuhan tingkat lima. Mampir ternyata wujud penghargaan kepada pemilik rumah. Mereka bahagia seseorang telah mampir ke rumah. Ekspresi kebahagiaan itu dapat ditangkap dari cara mereka menyambut atau menyajikan jamuan.

Rahmat Petuguran
Sang Pamomong Suara Merdeka, 18 November 2012

1 comment:

  1. Ayahanda tidak pernah bertutur untuk mampir minta minum

    ReplyDelete