Wednesday, 19 December 2012

Menghentikan Kekerasan di Sekolah

Kekerasan yang terjadi di sekolah kian mengkhawatirkan. Bukan ekspresi kenakalan, kekerasn di sekolah telah menjurus ke arah kriminal. Siswa menjadikan sebagai jalan menunjukan eksistensi diri. Harus segera dihentikan.

Media mencatat, selama dua pekan terakhir tawuran pecah di Jakarta. Salah satu siswa SMA 6 tewas akibat bentrok dengan siswa SMA 70. Di Purbalingga seorang siswa ditusuk rekannya hingga meninggal. Kekerasan juga terjadi di SMA Negeri 3 Semarang dalam sebuah kegiatan esktrakurikuler.

Guru dan sekolah tentu saja harus bertanggung jawab. Namun, menimpakan tanggung jawab hanya kepada mereka bukan tindakan bijak. Pasalnya, kekerasan bukan persoalan lokal di sekolah. Virus kekerasan telah menjangkiti masyarakat luas.

Anak-anak kita hidup di komunitas yang hiruk-pikuk oleh ekspresi kekerasan. Adegan memukul, menendang, bahkan menggunakan senjata dipertontonkan setiap hari. Tidak hanya dalam tontonan fiktif seperti game dan film, tindakan brutal juga muncul di televisi setiap hari. Tidak heran jika eskpresi kekerasan mengendap dalam memori anak-anak. Pada saatnya mereka “perlu” meluapkan kemarahan, mereka seolah mendapat pembenaran.

Namun, kekerasan pada anak sebenarnya tidak dipantik oleh sebab laten. Kasus yang kekerasan yang terungkap lebih sering dipantik oleh emosi sesaat. Anak mencoba berjuang atas nama eksistensi diri atau kelompoknya. Oleh karena itu, dengan pendampingan dan strategi komunikasi yang baik kekerasan masih dapat dihilangkan.

Dalam sejarah peradaban, kekerasan adalah eskpresi paling purba. Kekerasan merepresentasikan kehendak seseorang untuk membela diri atau menyerang kelompok lain. Kekerasan adalah buah konflik batin dan sosial, tidak pernah muncul spontan dari individu. Jika para pendidik dapat menemukan konflik batin tersebut, kekerasan dapat ditangkal.

Di Amerika kekerasan pernah mewabah di kalangan pelajar kulit hitam. Tidak hanya diinternal pelajar kulit hitam, sentimen kulit hitam dan kulit putih meningkatkan frekuansi kekerasan secara segnifikan. Eliot Aronson, profesor University of Texas lalu mengembangkan model jigsaw yang memungkinken siswa dari berbagai latar belakang bekerja sama. Kini kesadaran multikultural mulai berkembang baik dan kekerasan antarsiswa reda.

Berbeda dengan Aronson, Menteri Pendidikan M. Nuh termasuk pihak yang mendorong penerapan hukuman bagi pelaku kekerasan. Hukuman diberikan untuk memberikan efek jera (Kompas, 27/9). Tidak hanya sanksi akademik, pelaku kekerasan dapat dipidanakan dengan tetap menjaga haknya sebagai anak.

Regulasi akademik kita memang memungkinkan sekolah bertindak tegas. Namun, memberikan hukuman lebih menyerupai aksi “memadamkan kebakaran”, tidak cukup permanen untuk memutus mata rantai kekerasan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari akar sebabnya.

Nalar Kompetisi

Secara soiologis siswa memiliki kecenderungan berkelompok. Mereka membentuk komunitas berdasarkan hobi, asal wilayah, atau bidang yang digemari. Tidak hanya komunitas “resmi” yang diinkubasi sekolah, kelompok siswa juga terbentuk secara alami sebagai konskuensi proses sosialisasi. Di luar sana ada kelompok yang terbentuk karena memiliki motor yang sama atau suka nongkrong di tempat yang sama.

Terbentuknya kelompok membangkitkan imajinasi identitas. Anak-anak dalam satu kelompok merasa memiliki identitas yang sama. Baik tertulis maupun tidak identitas bersama disepakati sebagai nilai, sesuatu yang berharga dan dilindungi. Terbentuknya identitas dalam imajinasi anak melahirkan kerekatan social.

Kerekatan social pada kelompok, sayngnya, kerap diikuti nalar kompetisi. Kelompok satu merasa menjadi liyan dari kelompok lain. Jika suatu saat bersinggungan, kelompok sendiri harus dibela mati-matian.

Dalam beberap hal, kita (guru dan orang tua) juga khilaf karena mendorong nalar kompetisi pada anak, misalnya dengan mengikutikan siswa di berbagai lomba. Hampir seluruh bidang dilombakan, mulai dari akademik, olahraga, seni, hingga kepribadian. Sekalipun memiliki dampak positif, kompetisi menjebak siswa pada perasaan “keakuan” dan “kekamian” yang dominan.

Perspektif

Kondisi “keakuan” dan “kekamian” nilah yang membuat siswa memiliki perspekstif tunggal melihat persoalan. Siswa tidak dapat menempatkan diri sebagai orang lain dan belajar menghargai mereka. Akhirnya, pergaulan antarindividu dan antarkelompok dipenuhi syak wasangka.

Lousie Derman-Sparks (1989) menyadari prasangka punya andil besar mendorong aksi kekerasan siswa. Ia menyodorkan “kurikulum antiprasangka” yang memungkinkan siswa memahami persoalan dari sudut pandang orang lain. Misalnya, siswa SMA diminta memilihkan buku untuk siswa SMK dan secara timbal balik siswa SMK diminta membuatkan jadwal kegiatan esktrakurikuler siswa SMA.

Global Laboratory Project telah dipraktikan untuk melibatkan siswa sebuah negara pada situasi emosional siswa di negara lain. Proyek ini memanfaatkan teknologi informasi video call untuk menghubungkan siswa dari Moskow dengan siswa dari Texas.

Mereka coba saling menyelami kondisi batin “teman jauh” mereka untuk menemukan persamaan visi dan persoalan. Hal ini penting dilakukan karena selama beberapa dasawarsa Rusia dan Amerika Serikat terlibat perang ideologi yang sengit.

Proyek semacam ini bisa diadaptasi di Indonesia dengan cakupan lebih sempit. Dua sekolah berbeda latar belakang membuat program saling sapa pada jam yang telah ditentukan. Mereka merancang proyek bersama untuk menghasilkan sesuatu yang nyata. Di sana siswa akan terlibat diskusi, beradu argumentasi, belajar memahami jalan pikir mitranya.

Jika berhasil, proyek ini dapat mengantarkan siswa pada kesadaran bahwa setiap orang memiliki tipikal emsoional yang sama meski berasal dari latar belakang berbeda. Setiap orang senang dihargai dan marah jika dicehkan. Jika Anda senang dihargai, hargailah orang lain. Jika Anda tidak senang dilecehkan, hindari ucapan menyakitkan.

Rahmat Petuguran

No comments:

Post a Comment