Saturday 29 March 2014

Intimidasi Bahasa Politik

Sejak lama bahasa telah menjadi instrumen kekuasaan. Bahasa memungkinkan penaklukan dilangsungkan tanpa kekerasan. Pada era demokrasi, bahasa jadi faktor penting yang menentukan dukungan publik. Bahasa pula yang menentukan elektabilitas partai politik, calon anggota legislatif, atau bahkan calon presiden.


Kondisi ini tak bisa dilepaskan dengan fungsi ganda bahasa, yakni sebagai alat komunikasi sekaligus penanda identitas. Sebagai alat komunikasi, bahasa berfungsi secara pragmatis. Bahasa menyerupai kapal yang mengangkut muatan makna untuk diantar ke benak publik.  Adapun sebagai penanda identitas bahasa melampaui fungsi harfiahnya. Sebagai identitas, bahasa tidak sekadar kurir, melainkan pesan itu sendiri.

Fungsi ganda demikian telah membuat para pemburu kekuasaan berupaya keras memberdayakan bahasa dalam ikhtiarnya. Bahasa dipelajari secara khusus untuk kepentingan kekuasaan. Dari proses itu lahirlah sebuah varian baru yang kita kenal sebagai “bahasa politik”. Bahasa politik berbeda dengan bahasa keseharaian, berbeda dengan bahasa sastra, juga berbeda dengan bahasa akademik.

Bahasa keseharian adalah bahasa makna pertama. Pada bahasa tipe ini, tidak ada jarak semantik antara tuturan dengan maksud. Kalaupun ada penyimpangan makna, itu dilakukan untuk kepentingan etika, melalui proses ameliorasi, eufimisme, atau kiasan. Dalam jagat sastra bahasa yang digunakan adalah bahasa tingkat kedua (secondary language system) yang bersifat intepretatif.

Pada sastra, makna tidak dicari dengan mencocokkan bentuk tuturan dengan makna leksikal yang melekat padanya. Makna pada karya sastra justru diperoleh melalui penghayatan terhadap simbol, rasa, dan intertekstualitas. Adapun bahasa akademik lahir untuk memenuhi dahaga kejujuran. Maka, kejelasan dan ketuntasan jadi tujuan yang diidamkan. Sebagaimana bahasa hukum, bahasa akademik tak memberi ruang taksa dan makna ganda.

Makna Terselubung

Bahasa politik punya kekhasan karena lahir dari rahim berbeda. Bahasa politik lahir dari masyarakat terpelajar yang sedang berupaya memperoleh kekuasaan. Tujuan bahasa politik tidak sekadar menyampaikan pesan, melainkan menggerakan publik untuk mengambil keputusan. Keberhasilan bahasa politik tidak dapat diukur begitu saja saat tuturan selesai dituturkan, tetapi harus diendapkan, bersifat akumulatif, dan melalui proses reflektif yang panjang.

Bahasa politik adalah bahasa lapis ketiga, keempat, kelima, dan bahkan ke-n (tak berhingga). Dalam bahasa politik makna tidak bisa diperoleh hanya melalui simbol tuturan karena tersimpan di ruang terselubung. Bahkan, dalam bahasa politik intertekstualitas dan kontekstualitas dapat mengubah makna sebuah tuturan hingga sama sekali berbeda dengan wujud leksikalnya.

Untuk memahami bahasa dalam konteks demikian, Dell Hymes (Foundation of Sociolinguistics, 1974) menyarankan rumus “Speaking”. Ia berargumen, upaya mengungkap makna tuturan harus diimbangi dengan upaya mengungkap setting (latar fisik dan batin), participant (aktor), ends (tujuan akhir), act squences (urutan tindakan), keys (nada), instrument (saluran), norms (norma), dan genre (jenis tutur).

Dalam konteks politik di Indonesia saat ini saran Hymes bisa digunakan masyarakat calon pemilih untuk memverisikasi informasi politik yang diterimanya. Upaya tersebut penting dilakukan agar pemilih dapat mengindari jebakan bahasa (language traped) yang ada di sekitarnya. Lebih dari itu, masyarakat juga dapat melakukan penilaian kualitas dan integritas politisi yang akan didukungnya melalui bahasa.

Bahasa politik memang tak selalu berlumur kebohongan. Ada banyak informasi yang faktual dan dapat dipercaya hadir dalam wacana politik kita. Namun, yang perlu diwaspadai, baik kebohongan maupun kejujuran dalam bahasa politik selalu berorientasi pada kekuasaan. Oleh karena itu, upaya verivikasi bahasa politik tidak boleh berhenti pada pemilahan jujur-bohong atau faktual-fiktif, melainkan pada motif penuturnya.

Penjelasan hingga Intimidasi

Kaum praktis-realis, salah satu tokohnya adalah Ludwig Wiittgenstein, menganggap bahwa bahasa adalah cermin realitas. Makna dianggap sebagai gambaran atas apa yang ada dan apa yang terjadi. Cara manusia memahami hal-hal di sekitarnya juga hanya dimungkinkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa juga dipercaya sebagai gambaran dunia (imagomundi).

Namun, bagi kaum idealistis, fungsi bahasa adalah mengungkapkan gagasan. Menurut pandangan ini, bahasa adalah realitas subjektif yang eksis di dunia pemikiran. Maka, tidak pernah ada realitas dalam bahasa, sebab bahasa telah mendekonstruksi realitas menjadi realitas aksen yang telah dikonstruksi. Apa yang diungkapkan seseroang melalui bahasa tidak pernah sama dengan realitas karena bahasa bersifat simbolik, rekonstruktif, dan kreatif.

Melalui dua pandangan itu, dapat dipilih bahwa bahasa politik bisa hadir ke ruang publik dengan berbagai bentuk, antara lain penjelasan, propaganda, intimidasi, bahkan ilusi.  Sebagai penjelasan, bahasa politik berupaya merekonstruksi realitas melalui sumbol bunyi, aksara, dan rupa kepada publik. Data, statistik, kalkulasi, dan estimasi sering dihadirkan sebagai penjelasan. Komunikator sukses memberi penjelasan jika pesan normatif tersampaikan kepada publik.

Sebagai propaganda, bahasa politik tidak sekadar memahamkan publik tentang sebuah realitas atau konsep. Pada proses ini bahasa hadir sebagai “pramuniaga” yang bertugas meyakinkan publik bahwa sesuatu yang didepannya adalah baik. Bahasa memberikan sugesti, dorongan, dan energi agar publik yakin sesuatu yang didepannya adalah sesuatu yang baik bagi dirinya.

Sebagai ilusi, bahasa politik dapat menghadirkan sesuatu yang tidak ada sebmenjadi sesuatu yang tampak nyata. Pada proses ini tugas bahasa adalah merekayasa pemahaman publik tentang reelitas. Dengan begitu, sesuatu yang sejatinya sangat imajiner diyakini nyata dan ada. Kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran misalnya dihadirkan sebagai cita-cita yang realistis, possible, dan bahkan bisa terwujud esok hari.

Sebagai intimidasi, bahasa politik tidak sekadar menciptakan ilusi. Bahasa politik menciptakan sensasi batin seolah-olah publik adalah bagian yang sangat penting dalam proses demokrasi. Sesudah itu, bahasa menciptakan kegelisahan, rasa bersalah, rasa tidak berguna, atau bahkan rasa berdosa jika tidak mengambil sikap sesuai anjuran politisi. Dengan cara ini public mau tidak mau haru mengambil keputusan, bukan karena kesadaran intelektualnya, melainkan karena keinginannya untuk lepas dari rasa takut itu.

Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Versi lebih lengkap dari tulisan "Intimidasi" Bahasa Politik di Wacana Suara Merdeka, 28 Maret 2014

No comments:

Post a Comment