Sejak lama bahasa telah menjadi instrumen kekuasaan. Bahasa
memungkinkan penaklukan dilangsungkan tanpa kekerasan. Pada era
demokrasi, bahasa jadi faktor penting yang menentukan dukungan publik.
Bahasa pula yang menentukan elektabilitas partai politik, calon anggota
legislatif, atau bahkan calon presiden.
Kondisi ini tak bisa
dilepaskan dengan fungsi ganda bahasa, yakni sebagai alat komunikasi
sekaligus penanda identitas. Sebagai alat komunikasi, bahasa berfungsi
secara pragmatis. Bahasa menyerupai kapal yang mengangkut muatan makna
untuk diantar ke benak publik. Adapun sebagai penanda identitas bahasa
melampaui fungsi harfiahnya. Sebagai identitas, bahasa tidak sekadar
kurir, melainkan pesan itu sendiri.
Fungsi ganda demikian
telah membuat para pemburu kekuasaan berupaya keras memberdayakan bahasa
dalam ikhtiarnya. Bahasa dipelajari secara khusus untuk kepentingan
kekuasaan. Dari proses itu lahirlah sebuah varian baru yang kita kenal
sebagai “bahasa politik”. Bahasa politik berbeda dengan bahasa
keseharaian, berbeda dengan bahasa sastra, juga berbeda dengan bahasa
akademik.
Bahasa keseharian adalah bahasa makna pertama. Pada
bahasa tipe ini, tidak ada jarak semantik antara tuturan dengan maksud.
Kalaupun ada penyimpangan makna, itu dilakukan untuk kepentingan etika,
melalui proses ameliorasi, eufimisme, atau kiasan. Dalam jagat sastra
bahasa yang digunakan adalah bahasa tingkat kedua (secondary language system) yang bersifat intepretatif.
Pada
sastra, makna tidak dicari dengan mencocokkan bentuk tuturan dengan
makna leksikal yang melekat padanya. Makna pada karya sastra justru
diperoleh melalui penghayatan terhadap simbol, rasa, dan
intertekstualitas. Adapun bahasa akademik lahir untuk memenuhi dahaga
kejujuran. Maka, kejelasan dan ketuntasan jadi tujuan yang diidamkan.
Sebagaimana bahasa hukum, bahasa akademik tak memberi ruang taksa dan
makna ganda.
Makna Terselubung
Bahasa
politik punya kekhasan karena lahir dari rahim berbeda. Bahasa politik
lahir dari masyarakat terpelajar yang sedang berupaya memperoleh
kekuasaan. Tujuan bahasa politik tidak sekadar menyampaikan pesan,
melainkan menggerakan publik untuk mengambil keputusan. Keberhasilan
bahasa politik tidak dapat diukur begitu saja saat tuturan selesai
dituturkan, tetapi harus diendapkan, bersifat akumulatif, dan melalui
proses reflektif yang panjang.
Bahasa politik adalah bahasa
lapis ketiga, keempat, kelima, dan bahkan ke-n (tak berhingga). Dalam
bahasa politik makna tidak bisa diperoleh hanya melalui simbol tuturan
karena tersimpan di ruang terselubung. Bahkan, dalam bahasa politik
intertekstualitas dan kontekstualitas dapat mengubah makna sebuah
tuturan hingga sama sekali berbeda dengan wujud leksikalnya.
Untuk memahami bahasa dalam konteks demikian, Dell Hymes (Foundation of Sociolinguistics, 1974) menyarankan rumus “Speaking”. Ia berargumen, upaya mengungkap makna tuturan harus diimbangi dengan upaya mengungkap setting (latar fisik dan batin), participant (aktor), ends (tujuan akhir), act squences (urutan tindakan), keys (nada), instrument (saluran), norms (norma), dan genre (jenis tutur).
Dalam
konteks politik di Indonesia saat ini saran Hymes bisa digunakan
masyarakat calon pemilih untuk memverisikasi informasi politik yang
diterimanya. Upaya tersebut penting dilakukan agar pemilih dapat
mengindari jebakan bahasa (language traped) yang ada di
sekitarnya. Lebih dari itu, masyarakat juga dapat melakukan penilaian
kualitas dan integritas politisi yang akan didukungnya melalui bahasa.
Bahasa
politik memang tak selalu berlumur kebohongan. Ada banyak informasi
yang faktual dan dapat dipercaya hadir dalam wacana politik kita. Namun,
yang perlu diwaspadai, baik kebohongan maupun kejujuran dalam bahasa
politik selalu berorientasi pada kekuasaan. Oleh karena itu, upaya
verivikasi bahasa politik tidak boleh berhenti pada pemilahan
jujur-bohong atau faktual-fiktif, melainkan pada motif penuturnya.
Penjelasan hingga Intimidasi
Kaum
praktis-realis, salah satu tokohnya adalah Ludwig Wiittgenstein,
menganggap bahwa bahasa adalah cermin realitas. Makna dianggap sebagai
gambaran atas apa yang ada dan apa yang terjadi. Cara manusia memahami
hal-hal di sekitarnya juga hanya dimungkinkan melalui bahasa. Oleh
karena itu, bahasa juga dipercaya sebagai gambaran dunia (imagomundi).
Namun,
bagi kaum idealistis, fungsi bahasa adalah mengungkapkan gagasan.
Menurut pandangan ini, bahasa adalah realitas subjektif yang eksis di
dunia pemikiran. Maka, tidak pernah ada realitas dalam bahasa, sebab
bahasa telah mendekonstruksi realitas menjadi realitas aksen yang telah
dikonstruksi. Apa yang diungkapkan seseroang melalui bahasa tidak pernah
sama dengan realitas karena bahasa bersifat simbolik, rekonstruktif,
dan kreatif.
Melalui dua pandangan itu, dapat dipilih bahwa
bahasa politik bisa hadir ke ruang publik dengan berbagai bentuk, antara
lain penjelasan, propaganda, intimidasi, bahkan ilusi. Sebagai
penjelasan, bahasa politik berupaya merekonstruksi realitas melalui
sumbol bunyi, aksara, dan rupa kepada publik. Data, statistik,
kalkulasi, dan estimasi sering dihadirkan sebagai penjelasan.
Komunikator sukses memberi penjelasan jika pesan normatif tersampaikan
kepada publik.
Sebagai propaganda, bahasa politik tidak
sekadar memahamkan publik tentang sebuah realitas atau konsep. Pada
proses ini bahasa hadir sebagai “pramuniaga” yang bertugas meyakinkan
publik bahwa sesuatu yang didepannya adalah baik. Bahasa memberikan
sugesti, dorongan, dan energi agar publik yakin sesuatu yang didepannya
adalah sesuatu yang baik bagi dirinya.
Sebagai ilusi, bahasa
politik dapat menghadirkan sesuatu yang tidak ada sebmenjadi sesuatu
yang tampak nyata. Pada proses ini tugas bahasa adalah merekayasa
pemahaman publik tentang reelitas. Dengan begitu, sesuatu yang sejatinya
sangat imajiner diyakini nyata dan ada. Kesejahteraan, keadilan, dan
kemakmuran misalnya dihadirkan sebagai cita-cita yang realistis, possible, dan bahkan bisa terwujud esok hari.
Sebagai
intimidasi, bahasa politik tidak sekadar menciptakan ilusi. Bahasa
politik menciptakan sensasi batin seolah-olah publik adalah bagian yang
sangat penting dalam proses demokrasi. Sesudah itu, bahasa menciptakan
kegelisahan, rasa bersalah, rasa tidak berguna, atau bahkan rasa berdosa
jika tidak mengambil sikap sesuai anjuran politisi. Dengan cara ini
public mau tidak mau haru mengambil keputusan, bukan karena kesadaran
intelektualnya, melainkan karena keinginannya untuk lepas dari rasa
takut itu.
Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Versi lebih lengkap dari tulisan "Intimidasi" Bahasa Politik di Wacana Suara Merdeka, 28 Maret 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment